Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Tiga bulan yang mendebarkan

Kini, tiba giliran askrindo dihantam rugi rp 400 miliar. dan bertambah lagi pr bagi menteri keuangan mar'ie muhammad, setelah masalah inflasi, taspen, dan kredit macet.

7 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Tiga bulan yang mendebarkan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
TIGA bulan terakhir ini adalah tiga bulan yang mendebarkan bagi jajaran Departemen Keuangan. Semula gagah dan berwibawa, Departemen yang membawahkan 184 badan usaha milik negara (BUMN) itu tak putus disorot oleh DPR dan pers gara-gara isu kredit macet. Juga karena penyertaan dana pensiun pegawai negeri (PT Taspen) ke perusahaan swasta Barito Pacific Timber. Belum lagi kedua perkara itu di-clear-kan secara tuntas, pekan silam geger lagi karena sebuah BUMN yang lain, PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), mengalami rugi sekitar Rp 400 miliar (lihat rubrik Ekonomi & Bisnis). Tahun lalu, perusahaan yang menjamin kredit investasi kecil (KIK), kredit modal kerja permanen (KMKP), dan reasuransi itu masih mampu meraup laba Rp 20 miliar lebih. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahkan menilainya sebagai badan usaha yang sangat sehat. Malang tak dapat ditolak, kredit macet yang dialami pengusaha kecil membuat Askrindo kelimpungan. Dan pekan lalu, Departemen Keuangan dan BI terpaksa menyuntikkan dana segar. Kerugian yang dialami Askrindo hanyalah satu dari beberapa masalah besar yang membuat otoritas moneter berkerut kening. Mereka gusar karena angka kredit macet di enam bank pemerintah mencapai Rp 2,5 triliun atau sama dengan 3,5% dari total kredit bank pemerintah. Dan itu yang benar-benar macet. Yang berpotensi untuk macet tentu lebih besar. Gubernur Bank Indonesia, Soedradjad Djiwandono, mensinyalir bahwa 15% dari total kredit yang disalurkan bank merupakan kredit kurang lancar, diragukan, dan macet. Jika benar, alangkah berat dampak yang akan ditimbulkannya. Kredit macet inilah yang membebani pundak Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, 54 tahun. Sedemikian beratnya, hingga Mar'ie membentuk tim khusus. Langkah cekal, misalnya, menunjukkan kesungguhan Pemerintah dalam menyelesaikan kemelut itu. Namun, tindak cekal yang terbatas pada debitur penunggak Rp 250 juta hingga Rp 30 miliar ini telah membuat masyarakat meragukan efektivitasnya. Mar'ie sendiri mengakui, mencekal debitur tidaklah menyelesaikan persoalan. ''Untuk menyelesaikan kredit macet, diperlukan waktu yang panjang, mungkin lebih dari lima tahun,'' kata Mar'ie. Dampak buruk kredit macet memang tak terhindarkan. Dampak pertama, menurut seorang bankir, adalah komitmen kredit dengan nasabah terpaksa ditunda. Bahkan tidak sedikit kredit yang mengucur setengah jalan, hingga banyak proyek terbengkalai untuk jangka waktu yang tidak jelas. Itulah agaknya yang menyebabkan, mengapa Presiden Soeharto pekan lalu mengimbau agar bank-bank segera melakukan ekspansi kredit. Imbauan yang bagus, tapi sulit direalisasi. Di pihak lain, Bank Dunia telah menganjurkan supaya bank pemerintah mengerem penyaluran kreditnya. ''Sekarang ini bank masih disibukkan masalah kredit macet, sehingga ekspansi kredit menjadi nomor dua,'' kata Mochtar Riady. Hal lain yang juga perlu dengan segera ditangani ialah menurunnya kepercayaan dunia luar kepada bank-bank di Indonesia. Selain karena masalah kredit macet, kepercayaan mereka dan juga nasabah sejak awal telah menukik gara-gara kasus Bank Summa. Bank milik Keluarga Soeryadjaya ini dilikuidasi lantaran menumpuk kredit macet hingga Rp 1,6 triliun. Toh kredit macet di bank-bank pemerintah tak kurang fantastisnya. Apalagi sampai saat ini bank pemerintah masih menguasai 54% pasar kredit nasional. Jadi, kalau keberadaan bank- bank pemerintah ini terganggu, ''kegiatan ekonomi bisa lumpuh. Bahkan akan menimbulkan efek berantai pada dunia perbankan dan sistem keuangan nasional,'' kata Direkur Yayasan Padi & Kapas, Sjahrir. Tampaknya, masalah kredit macet merupakan salah satu pekerjaan rumah (PR) yang tak sempat ditangani Menteri Keuangan lama, J.B. Sumarlin. Dikatakan PR dari Sumarlin karena perusahaan yang menunggak kredit tidak bisa dilepaskan dari kebijaksanaan uang ketat yang ditetapkannya. Langkah yang tidak populer ini, yang dikenal sebagai Gebrakan Sumarlin II, telah memicu naiknya suku bunga pinjaman di atas 30%. Warisan lain yang diterima Mar'ie adalah pembenahan di pasar modal. Di sini, tugasnya bukan saja menyelesaikan penyusunan UU Pasar Modal, tapi juga harus selekas mungkin menata sistem administrasi yang mengandalkan teknologi. Ini perlu dilakukan demi rasa aman para investor dari gangguan saham palsu. Soalnya, dua hari menjelang Lebaran yang lampau, bursa dikejutkan oleh saham palsu. Presiden Soeharto bahkan sempat menginstruksikan agar Mar'ie mengusut tuntas kasus pemalsuan saham tersebut. Kasus ini pun sensasional, karena saham yang dipalsu mencapai 1,7 juta lembar serta uang yang dilarikan mencapai Rp 3 miliar. Pemalsu saham tidak dapat ditangkap, tapi untuk menenteramkan para investor, Mar'ie mengharuskan pialang yang melepas saham palsu itu agar mengganti kerugian. Maka, keresahan di BEJ bisa diredam dalam sepekan, dan indeks harga saham gabungan (IHSG) kembali merayap naik. Penyertaan dana pensiun pegawai negeri (PT Taspen) ke Barito Pacific Timber merupakan ledakan lain lagi, yang kembali mencoreng citra Departemen Keuangan. Penyertaan itu dilakukan semasa Sumarlin, bahkan telah lama direncanakan. Memang, Taspen berencana menempatkan Rp 1,3 triliun dananya di sejumlah perusahaan swasta. Tapi langkah itu oleh sebagian orang dinilai gegabah dan mengandung unsur ''kolusi''. Setelah geger TaspenBarito, Pemerintah lalu mencekal dana Taspen yang belum telanjur lepas. Sedikitnya Rp 450 miliar dana Taspen dapat ''diselamatkan''. Namun, jumlah yang lebih besar sudah telanjur diswastakan, termasuk ke Barito yang milik Prajogo Pangestu (Rp 350 miliar). Selain geger yang berbau skandal, ada dua tantangan besar yang juga harus dihadapi Mar'ie. Pertama laju inflasi yang dalam tiga bulan sudah mencapai 6% lebih. Kedua, kondisi perekonomian yang serba lesu. Mar'ie tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya akan dua ''ancaman'' itu. Menteri Keuangan yang sukses menangani masalah pajak ini tahu benar apa dampak inflasi pada iklim perekonomian. Nilai rupiah yang tidak stabil bukan saja mengurangi kepercayaan masyarakat pada alat tukar itu, tapi lebih buruk lagi dunia usaha bisa mandek dan akhirnya mengancam neraca pembayaran. Dengan kata lain, laju pertumbuhan ekonomi merosot, dan bila hal itu dibiarkan berlarut-larut, akan menimbulkan stagflasi. Kemungkinan seperti ini sangat dikhawatirkan oleh Mar'ie. Stagflasi adalah pertumbuhan ekonomi rendah disertai cengkeraman inflasi. ''Lebih jauh lagi, stagflasi bisa berlanjut menjadi resesi,'' kata seorang pengamat tanpa bermaksud menakut-nakuti. Meredam inflasi yang sudah kadung tinggi memang tak mudah. Salah satu cara adalah dengan melakukan kebijaksanaan fiskal dan moneter secara mendadak, atau lebih dikenal dengan sebutan ''gebrakan''. Langkah seperti itu pernah dilakukan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin tiga tahun silam. Saat itu ekonomi disodok inflasi 9,5% dan kredit yang disalurkan oleh lembaga keuangan naik 200% lebih. Mar'ie meredam inflasi juga dengan kebijaksanaan fiskal moneter. Tapi kali ini minus gebrakan. ''Situasi sudah lain. Yang kita lakukan cuma monitoring mingguan,'' kata Mar'ie. Benar. Inflasi awal tahun ini lebih disebabkan cost push, seperti kenaikan BBM dan listrik, serta banjir awal tahun yang membuat kegiatan pengakutan berjalan tidak lancar. Dan lagi, pertumbuhan kredit awal tahun ini cuma bertambah 9%. Tindakan moneter dan fiskal yang ketat sedikit banyak membantu. Sejak bulan Maret, inflasi dapat ditekan rata-rata di bawah 0,18% sebulan. Tapi bukan tanpa bahaya. Sebab, bila kebijaksanaan moneter terlalu ketat, dampaknya pada kenaikan suku bunga, dan buntutnya memacetkan gerak investasi. ''Pemerintah harus menemukan resep cara menurunkan suku bunga, tapi bukan dengan gebrakan,'' kata Maryanto Danusaputro, bekas Direktur Pengawasan Bank Indonesia. Pada bulan Maret, misalnya, rupiah yang dapat dikerangkeng BI mencapai Rp 23 triliun. Jika rupiah sebanyak itu tidak dilepas, bukan mustahil suku bunga akan tetap tinggi. Untuk menangkal menaiknya suku bunga, Mar'ie bekerja sama dengan Menko Eku dan Wasbang serta Gubernur BI. Seiring dengan itu, diluncurkan Paket Deregulasi Mei 1993, yang memberi kelonggaran bagi bank dalam menyalurkan kreditnya. Dalam paket ini, bank diberi kelonggaran dalam pencapaian capital adequacy ratio dan loan to deposit ratio. Hasilnya? Bunga kredit investasi dan modal kerja di bank-bank pemerintah turun menjadi 17% dan 19% setahun dari ketinggian 22% dan 23%. ''Karena suku bunga tinggi, bank sangat hati-hati. Sekarang kami bisa bernapas lega,'' kata seorang direktur utama bank pemerintah. Tapi selain penurunan suku bunga, menurut Mar'ie, Pakmei 93 juga menghendaki agar bank membiasakan diri untuk melakukan sindikasi. ''Agar risiko lebih tersebar,'' ujarnya. Tingkat inflasi dan suku bunga yang kini terkendali boleh dibilang merupakan sukses Mar'ie dan timnya di Departemen Keuangan dalam menangani PR Sumarlin. Namun, kalau dikaji lagi kasus-kasus berskala besar seperti kredit macet, Taspen, dan Askrindo, ada pengamat yang mencetus, jangan-jangan Mar'ie Muhammad mewarisi ''kotak Pandora.'' Kalau benarlah demikian, siapkah Mar'ie? Siapkah kita? Bambang Aji dan Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus