Pada prinsipnya, saya mendukung UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 14/1992. Sebab, bagaimanapun, orang yang salah memang perlu dikenai sanksi. Namun, saya masih memiliki sedikit unek- unek tentang pelaksanaan dan materi UU baru itu. Yakni yang berkaitan dengan subjektivitas petugas di lapangan dan nilai denda maksimum yang ''mengerikan'' itu. Ada semacam pemeo, ''pelanggan selalu benar''. Tapi bagi petugas jalan raya, tampaknya, yang berlaku sebaliknya, ''pelanggar selalu salah''. Ini saya pikir tak lepas dari minimnya sarana para petugas untuk membuktikan kesalahan pelanggar, sehingga terpaksa mengesampingkan saja asas praduga tak bersalah. Repotnya, ini sering ''ditunggangi'' oleh unsur- unsur subjektif dan kreatif seperti sering kita baca dari keluhan para pengemudi di berbagai media massa. Kedua, nilai denda maksimum ini tampaknya masih kurang realistis dan ''manusiawi'', kalau kita lihat dari kondisi para pengemudi yang mayoritas berpenghasilan pas-pasan. Pendapat Ismail Saleh, mantan menteri kehakiman, nilai denda itu sengaja dibesarkan agar tetap relevan untuk puluhan tahun mendatang, saya kira kurang benar dan cenderung ''melecehkan'' nilai mata uang kita sendiri. Mengapa denda itu tak disesuaikan (diturunkan) saja agar lebih realistis dan demi kewibawaan UU ini sendiri? Bukankah kita hidup di masa sekarang? Toh, nantinya denda itu dapat dinaikkan secara bertahap kalau tak lagi relevan besarnya? Banjirnya reaksi atas UU baru itu, tampaknya, karena memang ada beberapa pasalnya yang masih kurang sejalan dengan Sila ke- 2 dan ke-4 dari Pancasila. Usul saya, sebaiknya UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu dijadikan objek uji coba penerapan hak Judicial Review Mahkamah Agung. Nama dan Alamat pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini