KETIKA Jerman menurunkan tingkat suku bunganya, Maret lalu, Eropa geger. Terjadi arus perpindahan modal yang sangat cepat, nilai dolar terguncang, dan Italia sampai mendevaluasi mata uangnya (lira). Jerman lalu diimbau agar meninjau kembali tingkat suku bunga itu, sesuatu yang lebih merupakan pendekatan politis, sementara masalahnya murni bisnis. Apa yang dilakukan Jerman adalah upaya untuk menggerakkan industrinya yang tidak kompetitif, karena biaya modal terlalu tinggi. Yang menarik hanya satu, bahwa selain perpindahan modal merupakan ciri khas sebuah ekonomi global, uang itu sendiri menjadi komoditi yang tidak lagi bisa dikendalikan oleh para pejabat pemerintah. Uang hanya patuh pada para pemiliknya, dan akan lincah mengalir ke tempat-tempat di mana komoditi ini bisa berbiak lebih banyak dalam tempo lebih cepat, tanpa mengenal ibu pertiwi. Sampai di sini masalahnya menjadi tidak sederhana, karena kita terbiasa membaca gejala ekonomi dengan lensa ekonomi nasional. Mungkin karena itu, capital outflow yang terlihat dalam investasi para konglomerat Indonesia di RRC dianggap sebagai pelarian modal. Padahal, kalau dilihat dengan lensa ekonomi global, gejala itu harus ditafsirkan sebagai arus uang yang mengalir ke lahan-lahan yang lebih subur. Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad berada di tengah lalu lintas uang dan kesimpangsiuran penafsiran itu, tanpa sedikit pun kehilangan orientasi. Terus terang ia mengatakan, dalam menarik investasi asing, Indonesia kalah bersaing melawan RRC dan Vietnam. Kemelut Bank Summa dinilainya ikut menambah country risk kita di mata bankir internasional. Dia dengan jernih menegaskan bahwa dalam globalisasi ekonomi, tidak semua industri dari hulu sampai hilir harus ditangani sendiri. Dia condong agar dalam menggelindingkan pembangunan ekonomi, Indonesia bersikap realistis. Mar'ie, yang dikenal cerdik itu, tidak terpancing ketika bicara tentang kelesuan ekonomi yang kita hadapi kini. ''Dua tahun lalu kita mengalami ekonomi yang overheated, sekarang malah overcooled,'' katanya. Dia tidak bicara tentang kekeliruan, kegagalan, ataupun keserakahan. Ada semacam pendulum, katanya, sekadar untuk menggambarkan bagaimana bandul ekonomi berayun dari kutub penuh gejolak ke arah yang agak lesu. Barangkali dia mencoba menarik benang tanpa menumpahkan tepung, barangkali saja dia ahli siasat ulung. Tapi di atas semua itu, yang penting Mar'ie bisa melihat gejala dan perubahan dengan lensa ekonomi global, hingga tak pernah terbuang waktunya untuk rencana yang muluk-muluk, yang terlalu boros dana, dan hanya menguntungkan sektor modern. Dia lebih suka menengok ke negeri seperti Thailand, yang memperhatikan sektor agrobisnis, yang tidak terlalu makan biaya, dan bisa mengangkat kaum pengusaha menengah dan kecil ke peringkat yang lebih atas. Dia, seperti juga para seniornya yang sudah meninggalkan pentas pemerintahan, lebih tertarik untuk menjalankan roda perekonomian Indonesia dalam batas-batas yang prudent, yang berhati-hati. Laporan Utama kali ini diturunkan ketika Departemen Keuangan sekali lagi dibikin pusing oleh kerugian besar, kali ini yang menimpa PT Askrindo. Bagian I mengidentifikasi berbagai masalah yang bertubi-tubi menghadang Mar'ie Muhammad semenjak ia menempati kursi Menteri Keuangan, Maret silam. Bagian II mempermasalahkan wewenang seorang Menteri Keuangan, yang oleh seorang pakar dinilai terlalu luas, hingga bisa menimbulkan masalah rentang kendali sang menteri. Bagian V mencoba meneropong kebijaksanaan Pemerintah di bidang keuangan di masa depan yang dekat. Adapun bagian III dan IV berupa wawancara khusus dan biografi singkat Mar'ie Muhammad, yang kami tokohkan pekan ini. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini