ALUNAN simfoni karya Beethoven terdengar pelan ketika Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad menyilakan tim wartawan TEMPO masuk ke ruang kerjanya. Tidak banyak yang tahu, barangkali, menteri yang suka jogging ini termasuk penggemar musik klasik, juga dari Bach dan Schubert. Di tengah suasana yang tenang itu, di ruangan kerja bekas Menteri Keuangan J.B. Sumarlin yang tidak banyak berubah, wawancara khusus Mar'ie dengan TEMPO berlangsung selama hampir dua jam, pekan silam. Petikannya: Anda termasuk yang tidak suka gebrakan. Apa karena suasananya sudah lain? Ada beberapa masalah besar ketika saya mulai menjabat Menteri Keuangan. Pertama, tingginya tingkat inflasi. Kedua, ada semacam pendulum yang bergerak ke arah sebaliknya: dari ekonomi yang overheated dua tahun lalu, ke ekonomi yang lesu. Ketiga, adanya distorsi, seperti trauma kasus Bank Summa yang gaungnya cukup kuat secara internasional. Ini terutama bila dikaitkan dengan country risk. Keempat, daya pikat PMA sudah berkurang dengan tampilnya pendatang baru RRC dan Vietnam. Kalau dibiarkan terus begini, bisa kedodoran kita. Apa suhu inflasi ketika itu sudah gawat? Gawat sih tidak. Tapi ibarat orang sakit, suhunya mencapai sekitar 39 derajat Celsius. Karena itu, pekerjaan rumah besar yang harus segera saya lakukan adalah bagaimana secepatnya menurunkan inflasi. Tingkat inflasi tinggi kok disertai pasar yang lesu. Itulah dilemanya. Tingkat inflasi cukup tinggi, tapi pasar agak slow. Ini yang justru berbahaya. Kalau keadaan seperti ini dibiarkan terus, bisa terjadi stagflasi. Apa akibatnya bila terjadi stagflasi? Kalau ekonomi menjadi lesu atau stagnan, sementara tingkat inflasinya tinggi, harga-harga jadi membubung, ekonomi pun mengendur, yang biasanya bermuara ke suatu keadaan resesi. Tapi kita juga perlu berhati-hati kalau melihat situasi yang terjadi di Jerman sekarang. Di sana, inflasinya cuma empat persen tahun lalu, tapi toh terjadi suasana resesi tanpa harus melewati stagflasi. Jadi, perlu dilakukan pemantauan terus. Benar. Dan pemantauan itu saya lakukan setiap minggu, bersama Menko Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan, dan Gubernur Bank Sentral. Cara mengobatinya juga tidak boleh main pukul sekaligus. Cara ini akibatnya bisa berbahaya. Cara yang tepat bagaimana? Kenaikan inflasi tadi didorong oleh naiknya harga atau cost push. Jadi, bukan disebabkan karena naiknya permintaan alias demand pull. Maka, yang paling tepat dilakukan pada bulan-bulan pertama adalah menerapkan kebijaksanaan fiskal dan moneter secara ketat. Caranya adalah melalui operasi pasar terbuka dengan menjual SBI dan membeli surat berharga pasar uang. Langkah tersebut rupanya berhasil, dan suhu inflasi mulai mereda. Itu terjadi pada bulan Maret hingga Mei lalu. Dan setelah itu? Setelah itu baru kami luncurkan Pakmei 93, yang melonggarkan kendali Pakfeb 91. Harus diakui, paket deregulasi bulan Februari 1991 belum berfungsi sebagai pendulum dari paket-paket deregulasi sebelumnya. Sejak deregulasi perbankan diluncurkan melalui Pakto 88, bank baru pun bermunculan di mana-mana, yang akhirnya membuat BI sulit mengendalikannya. Lalu Pemerintah mencoba mengatasinya melalui Pakfeb 91. Akibatnya? Anda lihat sendiri. Bank-bank menghadapi kesulitan berekspansi. Beberapa bankir ketika itu berkomentar, Pakfeb 91 lebih keras dari persyaratan pemberian kredit oleh Bank for International Settlement (BIS). Jadi, dengan adanya Pakmei 93, Indonesia sudah tidak mengikuti standar BIS? Pelonggaran itu masih dalam batas-batas yang prudent, yang berhati-hati. Tapi apa ya realistis Indonesia mendadak harus mengikuti semua aturan BIS? Beberapa negara berkembang, seperti Thailand, belum sepenuhnya menerapkan standar BIS. Lewat Pakmei 93, Anda telah membatasi pemberian kredit dari 30% menjadi 20%, baik untuk perorangan maupun grup perusahaan. Ada yang menilai pembatasan itu tidak realistis. Memang, banyak juga yang komplain. Soalnya, dengan legal lending limit (L3), berarti bank yang sudah melampaui ketentuan Pakmei harus menjual sebagian kreditnya. Kalau barangnya bagus, tidak ada persoalan. Tapi kalau barangnya tidak bagus, bagaimana? Maka itu kami ingin melihat dulu perkembangannya. Para pengusaha masih mengalami kesulitan dalam perizinan. Apa tidak bisa dipermudah untuk merangsang investasi? Mereka sebaiknya bersabar sebentar. Tidak lama lagi, akhir bulan Agustus atau awal September, kami akan meluncurkan lagi paket deregulasi, khususnya tentang perizinan itu. Saya sering bicara dengan para investor. Di pusat (Jakarta) mereka tidak menghadapi masalah. Berhadapan dengan gubernur beres, dengan bupati juga tidak banyak soal. Tapi kalau ada seorang kepala desa tidak setuju, untuk perizinan tanah, misalnya, bisa tidak jalan semuanya. Sehingga kadang-kadang timbul pertanyaan: Siapa sih yang sebenarnya memerintah? Soalnya karena perizinan itu lebih terpusat di Jakarta? Barangkali masalah ini berkaitan dengan sumber penerimaan daerah. Jadi, harus kita lihat APBD mereka. Selain itu, BKPMD kan berada di bawah pemda. Dan tangan Bappenas sendiri tidak sampai ke sana. Makin ke daerah, penyimpangannya makin besar. Pemantauannya juga sangat sulit. Apakah ini termasuk salah satu rencana paket deregulasi di sektor riil? Betul. Itu termasuk yang akan kami benahi. Yang tak kalah pentingnya, kami berusaha menurunkan tarif-tarif bea masuk. Dalam Pakjun 92, misalnya, Pemerintah telah menurunkan 200 tarif pos. Dalam jangka panjang, pola bea masuk juga akan diturunkan secara bertahap, hingga ke tingkat yang merata (leveling off), yakni 5% sampai 10%. Tapi dalam peraturan pelaksanaan sering terjadi distorsi, seperti penurunan bea masuk kacang kedelai. Bagaimana ini? Yang Anda maksudkan makanan ternak, kan? Begini. Selama ini makanan ternak dikenai bea masuk 5% plus 35% bea masuk tambahan (BMT). Sekarang, BMT telah dihapus, tapi dengan syarat 60 persen kacang kedelai harus dibeli dari dalam negeri, dan sisanya yang 40% boleh diimpor. Namun, ketentuan yang seperti ini, bagaimanapun, masih lebih baik daripada dikenai BMT yang 35% tadi. Dengan adanya regulasi baru atau keharusan membeli produk dalam negeri sampai 60%, bisakah produksi dalam negeri bersaing di pasar internasional? Dengan dihapuskannya BMT, diharapkan barang-barang dalam negeri bisa kompetitif dengan harga pasar internasional. Setiap produk yang dibuat di sini, baik itu di bidang pertanian, industri, maupun jasa, harus memperhitungkan juga berapa harga pasar internasional. Bisa kompetitif atau tidak? Mereka tidak boleh kompetitif karena diberi perlindungan tarif yang terlalu tinggi. Kebijaksanaan umum kita, pertama adalah dari adanya perlindungan nontarif menjadi perlindungan tarif. Yang kedua, secara bertahap perlindungan tarif akan diturunkan. Kenapa harus bertahap? Bukankah industri dalam negeri di Indonesia, seperti otomotif, sudah lebih dari 20 tahun menikmati proteksi? Kami memberi waktu kepada industri dalam negeri yang selama ini sudah kadung tinggi harga produksinya untuk bisa melakukan penyesuaian. Terus terang saja, industri dalam negeri kelihatannya bisa kompetitif di sini karena Pemerintah mengenakan bea masuk yang tinggi terhadap barang-barang impor. Kalau barang impor lebih murah, itu kan baik buat konsumen. Jika barang impor lebih murah, jelas orang akan memilihnya. Memang, bagi konsumen, juga buat industri hilir, ini sangat baik. Tapi, dalam ekonomi, tidak semua kebijaksanaan bisa membuat orang ketawa, kan? Ha-ha-ha.... Kembali ke upaya untuk merangsang masuknya PMA, ada yang beranggapan bahwa instrumen tax holiday (masa bebas pajak) perlu dihidupkan kembali. Menurut Anda? Terus terang saja, Pemerintah tidak akan kembali ke rezim tax holiday. Insentif seperti ini tidak menyelesaikan persoalan, malah menimbulkan masalah baru. Mengapa? Kalau kita beri insentif tax holiday, yang akan menikmati adalah sektor modern. Itu berarti kami dengan sadar memperbesar jarak antara sektor modern dan sektor pedesaan. Padahal, Pemerintah harus mengembangkan industri menengah kecil. Ini kalau kita mau menciptakan kelas menengah yang solid, yang bisa mandiri. Perkembangan pengusaha menengah kecil di Thailand lebih solid daripada di Indonesia. Itu salah satu kunci keberhasilan Thailand di sektor agroindustri, misalnya kebun anggrek dan peternakan ayam. Modalnya pun tidak perlu gede. Ada komentar yang menganggap Indonesia harus meninggalkan era ''tukang jahit'', supaya tidak ketinggalan kereta. Saya tidak sependapat bahwa semua industri hulu dan hilir harus kita tangani sendiri. Sebab, kita harus realistis bahwa dunia ini makin lama makin menyatu: globalisasi. Jadi, lebih baik kita berpikir efisiensi sebagai competitive advantage. Anda tidak usah berpikir akan membuat sepatu dari awal hingga jadi. Harga minyak turun terus. Apa ada pengaruhnya bagi APBN, yang mematok harga rata-rata US$ 18 per barel? Sampai saat ini penerimaan minyak kita rata-rata masih US$ 18 per barel. Jadi, belum begitu mengkhawatirkan. Tapi kita tetap harus ekstrahati-hati. Karena itu, sejak semula sudah saya sampaikan, tidak mau pagi-pagi (April- Mei-Juni) sudah membagi- bagikan anggaran belanja tambahan. Ini bagian dari prudent fiscal policy yang kami jalankan. Sekarang saya ingin menanyakan ihwal kredit macet di bank- bank pemerintah. Apakah salah satu sebabnya karena proyek yang diajukan debitur sering digelembungkan? Memang, ada proyek yang di-mark-up. Misalnya begini. Si debitur mengajukan kredit proyek A yang seharusnya Rp 30 miliar menjadi Rp 40 miliar. Dengan kata lain, debitur tersebut tidak mengeluarkan equity. Inilah yang saya sebut dengan zero equity. Kemungkinan lain, baik debitur maupun kreditur kurang profesional. Tidak adil kalau penerima kredit (debitur) saja yang disalahkan, tanpa melihat juga kekurangan dari sisi kreditur. Kapan masalah tersebut bisa diatasi? Gubernur BI juga sudah mengatakan, kredit bermasalah (kurang lancar, diragukan, dan macet) jumlahnya 15%. Angka ini bukan main-main. Secara jujur saya katakan, kami akan berusaha mengatasai semaksimal mungkin, tetapi itu tidak mudah. Mungkin paling tidak kami memerlukan waktu lima tahun, bahkan bisa lebih dari itu, untuk bisa menyelesaikan masalah itu. Itu berarti Anda butuh waktu lebih dari satu Pelita.... Jangan lupa, sampai sekarang ini negeri semaju Jepang juga masih dipusingkan dengan masalah kredit macet. Apalagi kita? Fikri Jufri, Isma Sawitri, dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini