SOEHARTO punya mimpi, Abdurrahman Wahid punya Timor. Begitulah tampaknya perjalanan nasib mobil Timor. Setelah ''tutup warung" gara-gara tekanan Dana Moneter Internasional (IMF) dan vonis Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Timor, yang semula digagas Soeharto sebagai proyek mobil nasional (mobnas), seperti bangkit dari kubur. Dalam kunjungannya ke Korea Selatan dua pekan lalu, Presiden Gus Dur ingin agar proyek yang separuh jalan itu dihidupkan lagi.
Dengan fasilitas mobnas? Itu belum jelas. Yang pasti, pemerintah tak akan menyetor tambahan modal baru dan proyek ini akan segera menggelinding setelah hitung-hitungan utang Timor kepada pemerintah bisa dibereskan. Menurut Menteri Perdagangan dan Perindustrian Jusuf Kalla, PT Timor Putra Nasional (TPN), pemilik proyek Timor, masih berutang US$ 300 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun kepada pemerintah, dan macet tak terbayar. Rencananya, utang itu akan diselesaikan secara tukar guling. Maksudnya, pinjaman itu akan dibayar dengan aset Timor. Dan karena itu, pemerintah bakal berganti peran dari pemberi utang menjadi pemilik Timor.
Berapa besar porsi pembagian saham antara pemerintah dan Tommy Soeharto, pemilik lama TPN, masih belum jelas. Semuanya masih menunggu hasil audit Ernst & Young, yang disewa Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), akhir Maret nanti. Menurut seorang pejabat tinggi Timor, untuk divisi usaha manufakturing, yang sebagian fasilitas pabriknya sudah dibangun, pemerintah akan mendapatkan 25 persen saham. Tapi itu dengan catatan: utang Timor yang US$ 225 juta ke Bank Bumi Daya (BBD), yang dipakai untuk mengimpor mobil built-up, tidak ikut diperhitungkan alias akan diselesaikan TPN sendiri (lihat: Tommy, Serahkan Hartamu, Dong…).
Dengan formasi pemegang saham baru (pemerintah plus Tommy) itu, Timor akan menjalin kerja sama baru dengan Kia. Rencananya, paling lambat akhir April, pabrik mobil Korea yang sempat kembang-kempis tersapu krisis itu akan menginjeksi tambahan modal US$ 100 juta. Ini jumlah yang lebih dari cukup karena, menurut perhitungan penasihat keuangan BPPN, proyek Timor bisa jalan lagi dengan suntikan US$ 80 juta.
Menurut sumber TEMPO, kelahiran Timor Baru kabarnya didorong niat Gus Dur memanfaatkan proyek yang puso itu. ''Ketimbang mubazir," katanya. Bayangkan: di jalan, sudah meluncur 40 ribu sedan Timor. Lalu, di Cikampek, ada fasilitas perakitan dan komponen yang sudah separuh jadi. Bahkan, menurut pejabat TPN, pemasangan peralatan dan mesin-mesin berkapasitas 70 ribu mobil setahun itu sudah mencapai 86 persen. Jangan lupa juga, bank-bank pemerintah sudah kadung memberikan kredit US$ 300 juta. Lalu, mengapa dibiarkan mangkrak menjadi besi tua?
Terusik pertanyaan itu, Abdurrahman Wahid lalu melobi Presiden Korea Selatan, Kim Dae Jung. Pertemuan ini dilanjutkan dengan kunjungan Menteri Perdagangan Korea Selatan ke Jakarta akhir tahun lalu. Dan yang terakhir, dua pekan lalu, Gus Dur langsung mengajak chairman Kia Motors, Chung Mong Koo. Bukan cuma setuju, Chung bahkan berjanji menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan mobil Kia di ASEAN. Tentu saja nama Timor akan dibuang jauh-jauh. ''Nanti digugat Xanana Gusmao," kata Gus Dur menirukan permintaan Presiden Kim.
Sampai di sini, niat Gus Dur tak kendur lagi. Presiden kabarnya malah sudah menyiapkan tim kelahiran kembali Timor. Kiai Nahdlatul Ulama (NU) itu sudah pula menunjuk Mustafa Zuhad, operator bisnis NU, sebagai pemimpin proyek Timor. Dan jika semuanya sesuai dengan rencana, akhir November nanti pabrik Timor Baru itu sudah beroperasi. Pada awalnya, pabrik itu hanya akan menjadi pusat perakitan. Komponennya akan dipasok dari pabrik-pabrik komponen lokal skala rumah tangga di Klaten atau Tegal. ''Mereka kebanyakan warga nahdliyin," kata Mustafa, yang sepertinya sudah siap dengan cetak biru Timor Baru.
Bahkan, Mustafa sudah pula memutuskan, Timor Baru ini tak akan membuat komponen, tapi menyerahkannya ke vendor-vendor kecil di seluruh negeri. Dengan siasat seperti ini, persyaratan yang diminta Gus Dur agar Timor sebanyak-banyaknya memakai komponen lokal akan lebih cepat terpenuhi. Dus, cita-cita memiliki industri mobil yang mandiri, insya Allah, bisa juga terlaksana.
Cuma, masalahnya: mudahkah membangun basis industri komponen mobil yang tersebar seperti itu? Jawabannya sederhana saja: gampang, asalkan pasarnya cukup untuk sebuah produksi yang komersial. Sebuah mobil membutuhkan jutaan komponen dan subkomponen. Setiap item komponen itu harus diproduksi semurah mungkin agar bisa bersaing dengan produksi sejenis dari luar negeri. Maka, diperlukan skala produksi yang cukup besar untuk menjadikannya murah dan kompetitif.
Di sinilah cita-cita Gus Dur mungkin bakal kepentok. Saat ini, pasar mobil kita terlalu kecil. Tahun lalu, penjualan mobil jatuh sampai di bawah 100 ribu, setelah hampir mencapai 400 ribu unit—sebelum krisis. Tahun ini, denyut pemulihan ekonomi mungkin akan melambungkan permintaan mobil sampai 160 ribu atau 200 ribu. Dan dalam jangka panjang, harapan memang terbuka lebar. Kelak, ketika perekonomian stabil, pertumbuhan permintaan mobil bisa mencapai 15 persen setahun. Cukup melegakan.
Tapi, ini soalnya, pasar yang terbatas itu dikuasai merek-merek raksasa yang sudah teruji puluhan tahun dalam industri mobil, seperti Toyota, Mitsubishi, Daihatsu, dan Suzuki. Pemain baru seperti Timor tidak cuma harus menawarkan harga yang kompetitif, tapi juga mesti membuktikan kelas mutu yang setara. Ini tidak mudah. Apalagi Mustafa cuma mengandalkan komponen rakitan rumah tangga yang tingkat presisi, mutu bahan, dan kualitas pengerjaannya belum teruji.
Ekspor? Sama saja. Sebagian besar (44 persen) pasar mobil ASEAN telah dikuasai raksasa Toyota dan Proton Saga (turunan Mitsubishi). Selebihnya dibagi rata oleh merek Jepang, Eropa, dan Amerika. Korea sendiri hanya kebagian 13 persen. Dengan posisi seperti itu, jelas sulit buat Kia untuk masuk ke Indonesia ataupun ASEAN—kecuali jika Gus Dur mau memperlakukan Timor secara spesial, persis seperti ketika Soeharto memberikan insentif pajak pada mobil nasional.
Tapi, di zaman perdagangan bebas seperti sekarang, apakah siasat subsidi seperti itu masih bisa digunakan? Sebenarnya, di masa lalu, fasilitas khusus seperti itu lazim diberikan negara untuk melindungi industri mobil. Malaysia, misalnya, menghadiahkan insentif pajak sehingga Proton bangkit dan menguasai pasar. Daewoo, Hyundai, dan Kia juga tumbuh hebat berkat perlindungan pemerintah Korea Selatan. Cuma, masalahnya, dengan adanya WTO saat ini, jurus insentif khusus seperti itu hampir mustahil dilakukan. Beruntunglah Korea Selatan. Negeri ginseng ini berkesempatan mengistimewakan industri mobil di dalam negeri berkat beking Amerika Serikat. Ketika itu, dalam suasana ''perang dingin", Amerika berkepentingan agar perekonomian Korea Selatan tidak keok melawan musuhnya di utara. Tapi, sekarang, bargain politik apa yang bisa ditawarkan Indonesia agar dunia internasional bersedia membeking Timor?
Menyadari sulitnya menggaet insentif khusus, Mustafa seperti jadi tahu diri. Ia tak mau menjadi pungguk yang merindukan bulan, tak ingin membiarkan mimpinya ngelantur terlalu jauh. Untuk sementara, ia cuma ingin Timor bisa mengisi kebutuhan instansi pemerintah. ''Kalau perlu mobil, lembaga pemerintah harus memakai Timor," katanya seperti sudah memimpin pabrik mobil itu. Dengan cara itu, Mustafa yakin, Timor bisa menggaet porsi pasar yang lumayan. ''Kami ini tak mau buru-buru. Targetnya nanti tahun 2004, ketika Gus Dur lengser, sudah ada sesuatu yang diwariskan," kata Mustafa.
La, kalau targetnya cuma ingin meninggalkan sesuatu, untuk apa mesti berbisnis mobil segala? Buat saja banyak monumen atau patung seperti di zaman Bung Karno dulu. Beres, kan?
Kalau mau pabrik Timor tidak mubazir, itu bisa saja tanpa harus melibatkan pemerintah. Gus Dur bisa saja menawarkan proyek Timor kepada swasta. Yang mesti dilakukan hanyalah merestrukturisasi utang pabrik mobil itu. Setelah beres, setelah beban finansialnya tak terlalu berat, Timor bisa dijual kepada investor yang berminat—persis seperti yang diberlakukan pada perusahaan lain yang punya utang macet di BPPN. Dengan memasuki ladang usaha, dengan bermain sebagai pengusaha, pemerintah harus siap menanggung risiko kerugian.
Dan repotnya, risiko itu peluangnya cukup besar.
Dwi Setyo, M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini