Untuk membangun pabrik Timor, Tommy menarik utang dari Bank Dagang Negara US$ 108 juta (Rp 750 miliar). Selain itu, Tommy juga ngutang ke Bank Bumi Daya US$ 225 juta (Rp 1,6 triliun) guna membeli 39 ribu sedan Kia Sephia secara utuh dari Korea Selatan. Menurut Menteri Kalla, sekitar US$ 300 juta utang Tommy untuk Timor itu kini macet tak terbayar. Pertanyaannya, jika Timor diambil alih pemerintah, apakah utang Tommy otomatis lunas terbayar?
Tunggu dulu. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang mengelola tagihan kepada Timor, kini lagi menghitung: jika utang-utang itu dibayar dengan aset Timor, apakah cukup? Bersama TPN, lembaga keuangan pemerintah itu sedang merancang cara penyelesaian utang dengan cara tukar guling: pinjaman itu dibayar dengan aset. Masalahnya, berapakah nilai aset Timor yang tersisa?
Agak sulit menjawabnya. Pertama, status hukum kepemilikan aset Timor, belum lagi jelas. Tanah tempat pabrik itu berdiri, misalnya, masih disengketakan. Beberapa pekan lalu, Mahkamah Agung memenangi gugatan pengusaha Budi Prakosa dan kawan-kawan melawan Tommy Soeharto sebagai pemilik TPN. Menurut keputusan MA, Budi dan kawan-kawan berhak atas tanah seluas 300 hektare lebih di pinggir Jalan Tol Cikampek itu. Sumber TEMPO yang mengetahui seluk-beluk sengketa ini mengatakan, tanah ratusan hektare itu semula dibebaskan Budi untuk pembangunan pabrik mobil Lamborghini. Budi memang tak membayar ongkos pembebesan tanah itu dengan uang, tapi menawarkan pembagian saham atas pabrik yang akan berdiri di atasnya. Konon, para pemilik tanah itu setuju.
Ternyata proyek Lamborghini batal. Sebagai ganti, Tommy membawa Timor ke lokasi itu. Pergantian ini sama sekali tidak memberikan keuntungan apa pun bagi para pemilik tanah. Bukan cuma pembagian saham yang tidak mereka dapatkan, pembayaran ganti rugi pun tidak. Karena itu, MA memutuskan hak atas tanah itu bukan berada di tangan Tommy. Saat ini, Tommy bersama TPN sedang mencoba mengajukan bukti-bukti untuk peninjauan kembali (PK) keputusan MA itu.
Selain tanahnya masih dalam sengketa, isinya pun tidak meyakinkan. Jika melihat isi pabrik sebagai cermin aset Timor, mau tak mau perasaan kita jadi makin miris. Bayangkan saja. Kawasan raksasa yang katanya disebut pabrik itu tak lebih dari sekelompok gudang tak terawat. Di tengah ganasnya sergapan rumput liar, sebuah bangunan segede lapangan bola penuh berisi kotak-kotak kayu dekil. Katanya, sih, kotak-kotak kayu itu berisi mesin-mesin dan komponen mobil yang siap dirakit. Berapa jumlahnya, memang tidak jelas. Tapi, jika mencatat izin impor dan jumlah Timor yang laku terjual, ''bahan rakitan" itu diperkirakan tak akan lebih dari 6.000 unit.
Satu bangunan besar lain, juga segede lapangan bola, malah tampak kosong melompong. Padahal, di tempat yang disebut dengan Machining Shop ini akan dibangun fasilitas perakitan, casting, dan machining Timor. Tapi, toh semua peralatan dan fasilitas pabrik tak tersedia sama sekali.
Selain kedua bangunan raksasa itu, ada beberapa bedeng karyawan, satu kantor tiga lantai yang sepi tak berpenghuni, dan sebuah lapangan parkir untuk menampung Timor yang siap dijual. Lainnya? Tidak ada apa-apa. Lalu, di mana letak pabrik yang kabarnya sudah 80 persen beres itu? Entahlah. Yang pasti, seorang ekonom menilai seluruh kekayaan TPN, tanah di Cikampek itu, bangunan di atasnya, mesin-mesin, komponen, dan stok Timor yang ada jika ditotal nilainya tak akan lebih dari Rp 600 miliar. Artinya, tak sampai seperempat dari utang Timor. Jadi, kalaupun mendapatkan 100 persen saham TPN, pemerintah masih rugi berat.
Tapi, seorang pejabat TPN mencoba meyakinkan bahwa nilai seluruh aset Timor jauh lebih besar. Tommy saja, katanya, sudah mengeluarkan US$ 300 juta dari kantongnya sendiri. Artinya, total investasi untuk membangun pabrik mobil berkapasitas 70 ribu unit per tahun ini sudah mencapai US$ 413 juta. Dan karena investasi lebih banyak dilakukan dengan membeli mesin-mesin yang dibayar dengan dolar, nilai investasi itu mestinya tidak menyusut. ''Jika dihitung ulang," katanya, ''harganya bisa lebih mahal." Kalaulah nilai kompleks pabrik itu cuma US$ 400 juta, pemerintah, yang sudah menyetor pinjaman US$ 108 juta untuk kredit pembangunan pabrik, cuma mendapatkan bagian 25 persen.
Kalau demikian, yang menjadi soal adalah pengembalian utang yang dipakai mengimpor Timor. Kepada TEMPO, Direktur Utama TPN, Soeharto, pertengahan Januari lalu mengakui, pinjaman ke BBD itu dinilai dengan kurs Rp 7.500 per dolar. Padahal, pada masa-masa awalnya dulu, mobil Timor dijual dengan perhitungan kurs Rp 2.300 per dolar. Baru belakangan ini saja bisa dilepas dengan patokan kurs baru Rp 6.000 per dolar. Karena itu, bagaimanapun hitung-hitungan dilakukan, ''Untuk membayar pinjaman ke BBD itu, Timor pasti nombok banyak," katanya.
Jika tombokan modal ini tak bisa dilakukan, Tommy mestinya akan berurusan dengan aparat hukum. Soalnya, menurut dokumen yang diterima BPPN, pinjaman Timor ke BBD ini disertai jaminan pribadi Tommy dan kakak sulungnya, Sigit Harjojudanto. Dokumen ini dibenarkan bekas Direktur Kredit BBD, Abdul Hadi. ''Seingat saya," katanya, ''semua kredit besar kala itu memakai jaminan pribadi."
Dengan jaminan ini, Tommy dan Sigit tak bisa berkutik. Mereka berdua akan dikejar terus sampai harta pribadinya. Kesimpulannya, Gus Dur mestinya tak perlu repot mencarai jalan keluar bagi Timor. Jika memang tidak ekonomis, ngapain proyek ini diteruskan dengan memberi risiko rugi di pundak rakyat. Kejar saja pengemplang utangnya biar melunasi kewajiban. Gitu lo, Gus, kok mau-maunya Anda ini repot-repot….
M. Taufiqurohman, IG.G. Maha Adi, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini