POTRET Bung Karno membaca naskah proklamasi, atau rakyat yang
berjubel di Lapangan Ikada di bawah ancaman bayonet Jepang yang
terhunus, kini sudah memudar kecokelatan. Sedangkan pemotretnya,
Alex Impurung Mendur, sudah tiada. Bahkan kantor berita foto
yang berdiri setahun kemudian kini nyaris menjadi museum.
Dengan maksud mengabadikan sejarah perjuangan bangsa, Alex dan
adiknya, Sumarto Frans Mendur, serta juru potret lainnya,
seperti Njong Frederich Umbas, Just Kopit Mendur, dan Alexander
Mamusung, Maret 1946 mendirikan sebuah biro foto pers. Pada 2
Oktober 1946 biro itu diresmikan sebagai Indonesian Press Photo
Service (Ipphos).
Nama Ipphos kemudian muncul menyertai setiap foto berita yang
menyangkut perjuangan republik. Sejak itu hingga kini, 37 tahun
kemudian, Ipphos-lah satu-satunya kantor berita foto yang pernah
ada. Tapi, usaha partikelir yang pernah berjaya itu kini tak
berdaya. Bukan lantaran termakan usia, tapi karena tak pernah
mengandalkan subsid.
Memang aneh bahwa pemerintah tak pernah memberi subsidi.
Sekretariat Negara pernah menjanjikan bantuan, memang. "Hal itu
pernah dicetuskan seusai peresmian museum pers di Solo. Tapi
sampai sekarang tak ada pelaksanaannya," kata Alex Mamusung, 63
tahun, seorang dari para pendiri Ipphos yang masih hidup.
Gubernur Ali Sadikin dan Tjokropranolo pernah membantu lemari
dan meja-kursi, bahkan Menteri Pernerangan Ali Moertopo pernah
menyumbang Rp 2,5 juta. Tapi bantuan-bantuan itu seperti tak ada
artinya mengingat kebutuhan Ipphos yang tidak sedikit.
Sepuluh tahun lalu Ipphos mampu mengerahkan 7 juru potret
dibantu koresponden lepas di semua ibu kota provinsi plus 35
karyawan di kantor pusat, kini tinggal 6 wartawan toto dan 5
karyawan. Dulu sekitar 50 penerbitan pers berlangganan. Kini,
kalaupun ada koran mengambil foto-foto Ipphos, sifatnya hanya
membantu.
"Mereka sudah punya wartawan foto sendiri. Di antaranya ada yang
pernah mengecap pendidikan di sini," ujar Johny Mendur, 41
tahun, anak bungsu Almarhum Sumarto Frans Mendur yang bekerja di
sana sejak 1961. Dan Ipphos tentu kian terdesak ketika LKBN
Antara tampil dengan radiophoto.
Ipphos memang bisa tergusur karena kantornya di Jalan Hayam
Wuruk, Jakarta Pusat yang ditempati sejak awal revolusi,
pada ]967 pernah diusik tapi tetap bertahan, karena Ali Sadikin
menyatakan, kantor itu sebagai gedung bersejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini