WARTAWAN belum bisa mengaso di Filipina. Hanya sehari setelah
berita penundaan kunjungan Reagan tersiar, minggu lalu, para
kuli tinta disibukkan berita baru: pengumuman devaluasi.
Lanjutan kedua berita itu menghiasi halaman koran-koran di sana,
terutama sejumlah tabloid oposisi, yang melengkapinya dengan
ulasan tajam menyindir pemerintahan Marcos. Laris.
Koran-koran berhalaman hampir separuh halaman koran biasa itu,
selama tiga bulan terakhir setelah kasus pembunuhan Benigno
Aquino, memang terjual laris menyaingi surat kabar biasa. Itu
karena mereka lebih berani menyuarakan suara yang mengguncang
Marcos lewat artikel dan potret kegiatan kelompok pengagum
Ninoy. Misalnya tabloid Malaya, yang diterbitkan Jose Burgose,
bekas pemimpin redaksi We Forum yang di-breidel awal Desember
1982. We Forum pernah merupakan satu-satunya surat kabar di
Manila yang menyuarakan sikap oposisi. Ia sering menampilkan
cerita dan kolom yang mengkritik pemerintahan Marcos. Dan
menyalurkan uneg-uneg para penulis dan wartawan yang korannya
diberangus Marcos (September 1972) atas dasar UU Darurat.
Malaya sekarang bisa terjual sampai 50.000 eksemplar di Manila.
Bisa dianggap besar, karena di kota metropolitan itu jumlah
oplah seluruh surat kabar yang terbit tercatat sekitar 100.000
eksemplar. Lebih dari separuhnya dihasilkan surat kabar pro-
Marcos, seperti Bulletin Today (30O.OOO eksemplar lebih), The
Times of journal, koran milik Kokoy Romualdez, yang sekarang
duta besar di Washington dan abang kandung Nyonya Imelda Marcos
(oplahnya tak tercatat pasti).
Surat kabar pro-Marcos, bahkan, akhir-akhir ini tampak seperti
diboikot, terutama oleh kalangan oposisi karena dianggap sangat
berlebihan membela Marcos.
The Times of Journal umpamanya, dikecam karena ia satu-satunya
media yang tidak memuat foto pemakaman Ninoy. Bahkan berita
kematian "pahlawan demokrasi" Filipina itu hanya dimuat dalam
berita pendek: 5 cm kolom di halaman depan bawah.
Maka, bisa dimaklumi, pembaca koran pun beralih ke tabloid yang
tumbuh menjamur - di Filipina tak diperlukan izin untuk
menerbitkan surat kabar. Koran-koran berformat kecil itu, dari
yang hanya 4 halaman ampai 20 halaman, seakan berlomba
mengagung-agungkan Ninoy sembari "mengipas-ngipas" para
penentang Marcos. Tugas itu tak mudah karena di negeri itu
"imbauan untuk menulis berita nasional yang positif"
dikumandangkan para pejabat pemerintah.
Di tengah-tengah keadaan seperti itulah, Jose dan para penerbit
tabloid lainnya memeras keringat. Pria berusia 42 tahun itu,
bersama empat anaknya yang ikut menjadi reporter, menerbitkan
tabloidnya sejak Januari lalu. Dengan sebuah kantor berdinding
kayu, berukuran 4 x 5 meter, di sebuah tempat di sudut Manila,
pria yang suka memelihara kumis dan brewok ini sekarang tak
banyak bisa bergerak. Karena artikel-artikel tajam yang kerap
muncul di korannya, Jose kini ditahan rumah.
Terhitung masih lebih mujur daripada sejumlah wartawan yang
ditangkap bersama puluhan orang lain, yang dituduh menghasut.
Mereka menghadapi tuntutan hukuman mati atau seumur hidup.
Misalnya yang segera dihadapi Rommel Corro, editor tabloid The
Philippine Times. Ia dan korannya digerebek petugas militer
akhir bulan lalu. Mesin cetak dan sejumlah arsip koran itu
disita. Menteri Urusan Politik Leonardo Perez mengatakan akan
mengajukan Corro, 38 tahun, ke pengadilan dengan tuduhan
"menghasut pemberontakan lewat tulisan".
Nasib bekas koresponden AP itu masih harus ditunggu. Tapi,
dengan semakin menggebunya berita yang bernada menyudutkan
pemerintah, petugas keamanan pun semakin sibuk mengawasi para
pemburu berita. Kalau perlu main ringkus dan pukul. Tak hanya
terhadap wartawan lokal. Beberapa wartawan asing juga sempat
diinterogasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini