INI kritik terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam mengelola tabungan masyarakat. Tabungan, yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber dana pembentuk modal, ternyata belum bisa dimanfaatkan maksimal. Sebab lembaga Pasar Uang dan Pasar Modal belum berjalan sempurna. Selama ini, dana masyarakat lazimnya ditarik lewat kedua instrumen itu. Tapi hingga kini, "Keduanya masih tampak terpisah-pisah dan terdiri dari berbagai segmen," ujar Rustam Didong, 51, dalam pidato pengukuhannya selaku guru besar FE UI, dua pekan lalu. Bahkan, menurut Rustam, telah terjadi kesenjangan antara kedua pasar itu. Misalnya kesenjangan insentif pada pasar modal dan pasar uang. "Kesenjangan itu telah menimbulkan jurang yang tajam pada sistem yang berlaku," kata Rustam Dada TEMPO. Ambil contoh dalam sistem pajak. Berdasarkan UU Pajak tahu 1968, bunga deposit berjangka (pasar uang dibebaskan dari pajak pendapatan, terutama bagi penabung pribumi. Sebaliknya, kalau menyimpan dalam surat berharga (pasar modal) dikenakan pajak pendapatan atas bunganya. Begitu pula halnya dengar saham yang terkena pajak atas dividen, sedangkan dana obligasi terkena pajak atas bunganya. "Perbedaan kebijaksanaan itu telah menimbulkan perbedaan harga," komentar Rustam. Akibatnya, orang menjadi lebih tertarik menanamkan duitnya di Pasar Uang daripada di Pasar Modal. Buktinya, sampai November 1986 dana deposito berjangka saja terhimpun mencapai Rp 10.823 milyar. Sedangkan di Pasar Modal, selama hampir satu dasawarsa (1977-1986), cuma bisa menyedot Rp 536,1 milyar. Maka, wajar jika Rustam menilai Pasar Modal memang belum berkembang. Dan penyebabnya jelas bukan karena kurang aktifnya Badan Pengelola Pasar Modal dalam mengkampanyekan aktivitas mereka. Sebaliknya, juga bukan karena pengelola Pasar Uang rajin memasyarakatkan kegiatan mereka. Tapi lebih banyak karena pemerintah menerapkan ketidaksamaan perlakuan pada kedua pasar itu." Seyogyanya, tak usah begitu," ujar Rustam. Penyesalan Rustam disambut dengan simpati oleh Barli Halim, 60, Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal. Pejabat ini terus terang mengaku sudah lama merasakan ketimpangan perlakuan. Dia mengatakan, sebenarnya, bertekad mencapai target ideal buat sebuah pasar modal yang sehat, seperti dianjurkan Asian Development Bank (ADB). Yakni seharusnya minimal sudah mampu menarik masuk 100 perusahaan untuk menjual sahamnya di Pasar Modal. Tapi, itulah, karena tekanan keadaan tadi, mereka baru bisa menarik 24 perusahaan. "Kami tak tahu kelemahan kami, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena prioritas belum diberikan pada kami," kata Barli. Toh bekas Ketua BKPM dan Dubes di Prancis ini tak tampak frustrasi. Malah dia mengaku sudah bertukar pikiran dengan Dirjen Moneter Departemen Keuangan Oscar Suryaatmaja untuk mencari jalan keluar terbaik buat Bapepam. Ada sejumlah rencana yang diusulkannya. Di antaranya, meminta pemerintah mengizinkan orang asing membeli saham di Bursa Efek Indonesia. Yang paling baru, misalnya, dia dan stafnya sudah mempersiapkan badan, namanya Seksi Dua Bursa. Badan ini akan mengurus kemudahan bagi perusahaan-perusahaan yang punya keuntungan pas-pasan (marginal), agar bisa didorong juga menjual saham mereka di Pasar Modal. Jika bisa direalisasikan, ini mungkin sebuah terobosan baru. Maklum, selama ini, lewat Seksi Satu Bursa, hanya diurus perusahaan yang bonafide (punya modal lebih dari Rp 200 juta dan keutungan dua tahun terakhir minimal 10% dari modal sendiri), yang bisa bisa menjual sahamnya di Pasar Modal. Dia belum merinci sebesar apa minimal modal yang dimiliki perusahaan marginal yang akan dibolehkan menjual saham itu. Tapi sudah ada ancer-ancer, "Perusahaan yang bisa untung minimal 5% saja, atau perusahaan yang tidak untung tapi punya prospek bakal menguntungkan, nanti akan bisa diizinkan menjual saham di Pasar Modal. Bahkan - ini agak mengejutkan - pejabat kelahiran Bandung ini juga membeberkan rencananya melalui Seksi Dua Bursa tadi, untuk menarik masuk Badan Usaha Milik Negara yang rugi tapi punya prospek menguntungkan, bisa menjual saham di Bapepam. "Malah saya juga berharap BUMN yang tidak rugi dan tidak strategis kedudukannya dalam perekenomian nasional tapi memerlukan modal, bisa menjual sahamnya di Bapepam," kata Barli. Selain merupakan alternatif baru dari swastanisasi, rencana ini sekaligus untuk meringano kan beban pembiayaan anggaran pemerintah. Banyak suara mungkin bakal menolak rencana Barli Halim ini. Sebab memang tampak terlalu agresif. Padahal, kondisi Pasar Modal sendiri tiga tahun terakhir ini begitu lesu. Malah citranya sebagai pasar yang menjanjikan persentase keuntungan lewat dividen atau capital gain dari saham perusahaan yang menjual sahamnya di Pasar Modal agak tercemar. Ini karena tak semua, ternyata, perusahaan uang menjual saham di pasar itu bisa memberikan dividen. Bahkan pembeli saham perusahaan kabel PT Sucaco, misalnya, sudah lama terpaksa menggigit jari, karena nilai saham mereka kini sudah di bawah pari (di bawah harga nominal). Padahal, prospek dan kondisi semua perusahaan tadi, sebelumnya sudah diteliti, paling tidak harus baik betul sebelum diizinkan menjual sahamnya mereka pada masyarakat. Bila perusahaan semacam PT Sucaco saja bisa rugi, apalagi perusahaan perusahaan marginal. Atau sebuah BUMN, yang sudah rahasia umum pula kemampuan bersaingnya di pasaran termasuk lemah. "Saya kira sekarang masyarakat sudah jeli. Mereka tahu mesti membeli atau tidak saham-saham itu. Ya, membeli saham memang ada untung rugi. Kalau mau pasti untung, beli saja obligasi," tukas Barli membela diri. Marah Sakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini