Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Tak Bersembunyi di Bawah Meja

Pesimistis. Itu masa depan penyelesaian utang swasta Indonesia. Pihak Jepang, kreditur terbesar, tidak mengenal pengampunan utang.

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUDUK, berunding, lalu utang dipotong, atau sedikitnya diperpanjang pembayarannya. Itu harapan para pengusaha Indonesia yang "terlilit" utang luar negeri dari pertemuan dengan kreditur asing, Senin dan Selasa pekan lalu di Jakarta. Ternyata, pertemuan yang dirancang Prakarsa Jakarta--satgas yang dibentuk pemerintah untuk meringankan utang swasta?tersebut belum menjawab harapan itu "secepat kilat". Perlu proses panjang untuk menyelesaikan utang swasta Indonesia yang jumlahnya US$ 84 miliar.

Tapi niat membantu swasta Indonesia jelas kelihatan. Gerald Meyerman dari Bank Dunia, pengorganisasi seminar, berkata, "Tidak ada cara lain lepas dari krisis kecuali setiap orang kembali mendapatkan pekerjaannya." Itu artinya pabrik-pabrik harus kembali berproduksi, lalu bisa membayar utang. Nah, Prakarsa Jakarta bercita-cita menjadi one stop shopping, tempat bertemu antara kreditur asing dan perusahaan-perusahaan Indonesia.

Maka bertemulah ratusan peminjam dan pengutang di Jakarta. Tapi apa hasilnya? Hingga pertemuan usai, panitia tidak bersedia membuka berapa perusahaan yang siap berunding dengan kreditur. Alasannya: tidak etis. Meyerman pun bilang, "Kita belum bisa melihat hasil perundingan Prakarsa Jakarta hingga kuartal pertama 1999."

Namun, yang pesimistis juga ada. "Sudah terlambat," demikian kata seorang pengamat. Karena pada saat utang bisa diselesaikan, perusahaan-perusahaan sudah gulung tikar, tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Seorang analis pasar dari Goldman Sach juga menyatakan bahwa perekonomian Indonesia masih mengalami kontraksi hingga 18 persen tahun ini. Jadi, kemungkinan bangkrut tetap besar.

Hartojo Wignjowinoto, pengamat ekonomi, termasuk yang pesimistis dengan hasil dua hari pertemuan tadi. Sebab upaya penyelesaian utang swasta yang sebelumnya juga tidak berhasil. Pertemuan antara pemerintah Indonesia dan kreditur untuk minta penjadwalan utang di Frankfurt pada awal Juni lalu gagal. Dan skim Indonesian Debt Restructuring Agency (Indra), yang menanggung pembayaran utang dolar perusahaan swasta setelah direskedul, juga belum menampakkan hasil.

Itu semua menunjukkan bahwa menyelesaikan utang swasta bukan hal gampang. Banyak penyebabnya. Yang utama adalah soal sense of crisis. Pengusaha Indonesia tidak terbiasa menghadapi krisis. Biasanya merekalah yang "diraja-rajakan" oleh para kreditur. "Dulu kita disodor-sodori utang dengan iming-iming bunga yang murah," kata seorang pengusaha. Nah, ketika ancaman bangkrut di depan mata, pengusaha Indonesia seperti "bersembunyi di bawah meja", demikian istilah Meyerman. Sikap menghindar itu juga dikeluhkan oleh seorang kreditur dari Jepang. "Kami telepon pun tidak bersedia membalas," kata Tori Sumiyoshi, perwakilan dari International Bank of Japan.

Sedangkan Hartojo menunjuk kebiasaan mark-up sebagai faktor yang mempersulit keadaan. "Proyek yang di-mark up tidak terhitung banyaknya," katanya. Hal itulah yang membuat pengusaha kesulitan merinci utangnya dengan transparan untuk diajukan ke pihak kreditur.

Hambatan penyelesaian utang juga datang dari sisi kreditur. Sebagian besar, 38 persen, berasal dari bank-bank di Jepang. Jumlahnya mencapai hampir US$ 30 miliar dan sebagian besar jatuh tempo Maret-April tahun depan. Mau tak mau, inti penyelesaian utang harus sangat bergantung pada itikad baik pihak Jepang. Padahal kreditur Jepang punya banyak kendala untuk menyelesaikan utang secara terbuka, demikian menurut koran Asian Wall Street Journal (AWSJ).

Masalah lainnya, bank-bank kreditur Jepang juga tidak mengenal pemutihan (write-off) utang seperti bank-bank Amerika Serikat. Padahal tidak mungkin utang swasta Indonesia diselesaikan tanpa cara-cara pengampunan utang (debt forgiveness). Menurut Tan Min Lan, analis ekonomi Indonesia dari Meryll Lynch Singapura, paling realistis pengusaha swasta Indonesia mendapat korting (haircut) utang hingga 30 persen--ini lantaran kenaikan utang akibat melorotnya rupiah terhadap dolar.

Tapi mudahkah meyakinkan pihak debitur dan kreditur, khusus dari Jepang? Sulit. Apalagi budaya Jepang mengajarkan: pantang tidak membayar utang. Hukuman tradisional bagi orang yang tidak membayar utang adalah tidak boleh memakai payung. "Jadi, kalau ada orang kehujanan tidak memakai payung, berarti orang itu enggak bisa membayar utang," kata seorang pengamat.

Kesulitan lainnya, kreditur Jepang tidak meminjami perusahaan Indonesia. Pihak kreditur itu berpendapat, mereka hanya meminjami perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Pendapat seperti ini membuat kreditur besar Jepang seperti Bank Sumitomo bingung menyelesaikan piutang ke perusahaan swasta Indonesia.

Jelaslah bahwa berharap dari Prakarsa Jakarta saja tidak cukup. Astra, contohnya, melakukan berbagai negosiasi sendiri di Singapura dengan 100 bank krediturnya. Hasilnya, utang Rp 2 triliun dan US$ 2 miliar segera direstrukturisasi. Tinggal mencari bentuk restrukturisasi itu.

Nah, menyelesaikan utang bagi pengusaha Indonesia rupanya tak segampang meminjamnya.

Bina Bektiati, Agus Hidayat, Nurur Rohmah Bintari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus