JANGANKAN beda satu atau dua juta, lebih mahal sepuluh juta rupiah pun pasti ditubruk. Pembaca, itulah suasana yang kini menghangat di pasaran mobil. Permintaan begitu tinggi, sementara kemampuan kapasitas terpasang perakit jauh di bawah angka permintaan. Maka, tak heran kalau pekan lalu Pemerintah mengambil sebuah langkah yang cukup lebar: Melonggarkan sedikit keran impor mobil yang telah lama tertutup rapat. Tegasnya, untuk mengimbangi permintaan yang melonjak-lonjak, Pemerintah kini membolehkan para agen tunggal mengimpor dalam bentuk jadi (built up). Kelonggaran tersebut tak berlaku untuk sedan, dan kendaraan kategori I, seperti minibus dan Kijang. Pemerintah, untuk sementara, hanya melonggarkan impor truk sebanyak 3.000 unit. Deregulasi yang terbatas dan bersifat sementara tersebut akan dicabut jika para perakit selesai melakukan perluasan pabrik mereka, dan kebutuhan sarana angkutan barang nanti dianggap sudah terpenuhi. Alasannya? "Kendaraan komersial, mau tidak mau, harus dibuat sendiri. Sebab, ini menyangkut urusan hankam," kata Menteri Perindustrian Hartarto. (Lihat wawancara khusus TEMPO dengan Menteri Hartarto). Tapi, hingga kapan gejolak harga mobil -- yang berlangsung selama enam bulan terakhir -- akan reda? Itu yang agaknya menimbulkan rasa waswas pengusaha mobil. Alkisah, mereka khawatir kalau izin impor yang amat terbatas ini kemudian akan menjelma berupa deregulasi impor mobil. Soalnya, tak sedikit modal yang mereka tanam untuk memenuhi tuntutan program penanggalan komponen impor. Truk, contohnya. Minimal 60% komponennya sudah dibuat di dalam negeri sekalipun mesin dan transmisi masih diimpor. "Kan sayang, kalau investasi yang sudah ditanam sedemikian besarnya jadi sia-sia hanya karena masuknya mobil impor," kata Direktur Utama Grup Indo Mobil, Soebronto Laras, yang mengageni Suzuki, Mazda, Hino, dan Nissan. Presiden Direktur Grup Astra Teddy Rachmat menimpali. Dalam mengarah ke produksi mobil utuh full manufacturing, Astra telah menanamkan tak kurang dari Rp 600 milyar. Itu baru untuk melokalisasi 60% komponen kendaraan kategori I, dan II (truk ringan), yang sebelumnya masih diimpor. Menurut dia, Astra akan sanggup membuat mobil lokal sepenuhnya setahun lagi. "Kami berharap impor truk built up hanya akan dilakukan sekali ini saja," katanya. Terlepas dari persiapan yang kini tengah dibuat oleh para perakit mobil, gejolak yang terjadi dalam tiga bulan belakangan ini memang cukup mengagetkan. Bayangkan saja, sebelum soal truk ramai diperbincangkan, kisah sedan sudah lebih dahulu muncul ke permukaan. Kasusnya boleh dibilang tak jauh berbeda. Ada permintaan yang meledak, sementara produsen tak mampu memenuhinya. Dan, seperti dikemukakan di atas, mobil catutan pun merajalela. Bedanya, pasaran "catut" yang terjadi di pasar truk lebih gila. Kata Soebronto, yang juga menjabat Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pasar seperti itu sudah timbul sejak triwulan terakhir tahun lalu. Truk Hino, misalnya. Harga resmi dari penyalur cuma sekitar Rp 60 juta. Tapi karena barangnya sulit dicari, orang ada saja yang berani membeli dengan Rp 70 juta. Hal serupa terjadi pada truk Mitsubishi keluaran Grup Krama Yudha. Colt Diesel, yang harga resminya Rp 23,5 juta, "di pasaran harganya melambung jauh lebih tinggi," kata Maswir, Direktur Pemasaran Krama Yudha. Padahal, Colt Diesel yang merajai pasar di kategori II -- dengan menguasai pangsa pasar 65% -- produksinya telah dinaikkan. Sepanjang periode Januari-April, misalnya, truk yang tergolong ringan ini dirakit rata-rata 2.000 unit sebulan, 500 unit lebih tinggi dalam periode yang sama tahun lalu. Mengapa orang jadi doyan membeli truk dan sedan? Menteri Hartarto menunjuk pada keadaan ekonomi Indonesia yang makin bersinar. Dan, menurut Soebronto Laras, "salah satunya adalah berkat turunnya deregulasi perbankan." Buktinya, dengan Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, kini banyak bank bermunculan hingga di pedesaan, lengkap dengan paket-paket kredit yang mereka tawarkan. "Namanya juga bank. Ya, mereka harus menjual uang, dong," ujar Soebronto. Nah, menurut dia, itulah sebabnya kaum konsumen kini menjadi lebih mudah untuk memiliki mobil. Tapi, bukan hanya konsumen yang sibuk memesan, para perakit pun kini sibuk melakukan negosiasi dengan prinsipal mereka. Soebronto, misalnya, begitu melihat pasar yang berkembang pesat, langsung berangkat ke Jepang, untuk melakukan pesanan-pesanan baru. Ia menduga, truk Hino yang tahun lalu cuma laku 2.800 buah, tahun ini diperkirakan akan terjual hingga 5.000 buah. Lantas, berapa banyak Indo Mobil akan mengimpor truk built up? Ini dia yang belum jelas. Maksudnya, hingga pekan ini, Pemerintah belum menurunkan tata cara impornya. Entah itu pembagian kuota untuk setiap produsen -- sebab, toh tak mungkin kebolehan mengimpor 3.000 unit itu diberikan hanya kepada satu agen tunggal saja -- maupun berapa besar bea masuk yang akan dikenakan. Namun, satu hal yang sudah pasti akan menjadi kendala dalam melaksanakan program impor truk jadi ini adalah soal bea masuk. Maklum, kebijaksanaan setiap prinsipal terhadap agen tunggalnya berbeda-beda. Terutama, dalam pembagian keuntungan. Artinya, bukan tak mungkin sebuah prinsipal memberikan jatah keuntungan untuk agen tunggalnya Rp X. Sementara itu, ada prisipal lainnya yang memberikan lebih dari Rp X. Nah, dengan keadaan seperti itu, bagaimana Pemerintah akan menetapkan bea masuk? "Kalau disamaratakan, jelas, kurang adil," kata seorang pengusaha mobil yang tak mau disebut namanya. Sebab, akan ada agen tunggal yang mendapat untung banyak, sementara yang lainnya hanya melaba sedikit. Jadi, harus bagaimana? Jawabnya terpulang kepada Pemerintah. Dan menurut Menteri Hartarto, urusan kuota plus bea masuknya kini sedang digodok oleh anak buah Menteri Keuangan Sumarlin. Sementara menunggu pengaturan impor truk jadi, mari kita lihat pasar mobil kini dan nanti, yang ternyata sangat mencengangkan. Bayangkan, setelah melihat kenaikan penjualan total dari semua merek, dan semua kategori sebesar 58% (ini perbandingan antara triwulan I tahun 1989 dan triwulan I 1990), tampaknya pandangan para pengusaha mobil jadi berbinar-binar. Selama 1989 misalnya, seluruh mobil yang terjual, untuk semua jenis dan merek, hanya sekitar 148.500 unit. Tapi tahun 1990 ditaksir bakalan melonjak menjadi 250 ribu buah. Perkiraan ini dari tahun ke tahun terus dibengkakkan dengan perkiraan penambahan pangsa pasar yang rata-rata 50 ribu buah setahun. Hingga pada 1994, pasar mobil diperhitungkan akan mencapai 450 ribu unit. Ada saja suara yang beranggapan perhitungan tadi kelewat optimistis. Mereka menoleh ke masa lalu, sekitar lima tahun yang silam. Ketika itu pasar mobil diperhitungkan akan mencapai 300 ribu buah setahun. Tapi, nyatanya, malah merosot ke angka 130 ribu. Tapi, kaum pengusaha agaknya tak perlu risau. Dulu, pasar mobil didongkrak ke atas oleh harga minyak yang di akhir tahun 1981 resminya masih bertengger pada harga US$ 34 per barel. Tapi ketika harga minyak melorot sampai sekitar US$ 12 sebarel, bahkan pernah di bawah 10 dolar sebarel pada Agustus 1986, ya tentu saja iklim ekonomi Indonesia yang amat bersandar pada petrodolar berubah lesu. Dengan sendirinya pasar mobil, yang ketika itu banyak mengandalkan pada permintaan instansi pemerintah, ikut anjlok. Nah, kini, dengan deregulasi perekonomian yang mulai meninggalkan kehebatan peran minyak, keadaan jelas jadi berbalik. Pasar mobil tak lagi begitu bergantung pada naik-turunnya harga minyak. Budi Kusumah, Moebanoe Moera, Mohamad Cholid, Yopie Hidayat dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini