Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Guru-guru menggugat

Akibat keterlambatan gaji yang sering terjadi, 35 kepala sd sewilayah kecamatan saparua menutup sekolah masing-masing. mereka menggugat pemerintah melalui pengadilan negeri kelas i ambon. (pdk)

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABAR ada batasnya. Begitulah. Dan sikap itu segera diambil para guru SD sewilayah kecamatan Saparua, Maluku Tengah, ketika keterlambatn gaji -- yang seperti biasanya selalu terjadi -- masih terulang lagi untuk gaji bulan Januari sampai dengan Mei 1975 kemarin. Diawali surat Pernyataan yang ditandatangani oleh tak kurang 35 orang Kepala SD, tanggal 16 Mei 1975, atas nama guru-guru SD sewilayah kecamatan tersebut -- karena keterlambatan gaji itu -- maka terhitung hari Selasa tanggal 20 Mei 1975 seluruh sekolah-sekolah SD ditutup. Pernyataan yang tembusannya juga dikirimkan ke Gubernur Maluku itu antara lain berbunyi: bahwa segala sesuatu yang timbul akibat hal ini bukanlah menjadi tanggung jawab kami, melainkan menjadi tanggung jawab Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Maluku dan DPRD Tingkat II Maluku Tengah. Para guru SD yang ngambek itu kemudian tidak berhenti sampai di situ. Karena G. Lewerissa Kepala SD Negeri Itawaka, NA Sopacua, Kepala SD Negeri Paperu dan Nona FN Pietersz, Kepala SD PPKPM I Tiouw, atas nama sendiri dan sebagai kuasa guru-guru SD sekecamatan Saparua, segera membikin surat gugatan terhadap pemerintah pada tanggal 1 September 1975, kepada Ketua Pengadilan Negeri Kelas I Ambon. Dalam Swrat gugatan yang ditandatangani oleh MAH Tahapary SH (dosen Fakultas Hukum Universitas Patimura) sebagai pemegang kuasa atas nama guru-guru itu antara lain disebutkan bahwa tergugat telah mengangkat 208 Warga Negara Indonesia sebagai guru pada ke 35 SD di Saparua dan Nusalaut. Surat Keputusan tentang pengangkatan penggugat-penggugat yang ditandatangani oleh Kepala Dinas P dan K Dati I Maluku atas nama Gubernur setempat dijanjikan kepada yang bersangkutan akan diberi gaji sesuai dengan penggolongan pangkatnya setiap bulan. Namun, tulis surat gugatan itu, tergugat telah tidak melakukan hal itu sebagaimana mestinya untukbulan Januari dan Pebruari 1975. Sehingga ke 208 orang guru itu belum diberi gaji sebanyak 2 x Rp 5.055.189,61 (seluruhnya jadi Rp 10.110.279,22). Padahal soal keterlambatan gaji ini (sebagai kejadian yamg bukan baru lagi) oleh penggugat telah berulang kali ditempuh jalan-jalan penyelesaian. Antara lain dengan mengirim delegasi ke Camat, Bupati, Gubernur, selain diusahakan juga lewat PGRI Daerah Maluku, Pengurus Besar PGRI di Jakarta. Bahkan pernah juga diberikan kuasa pengurusan kepada Kepala Kantor Wilayah P dan K Maluku. Namun kesemuanya tak berhasil mendapatkan penyelesaian yang wajar, begitu selanjutnya tulis surat gugatan tersebut. Karena itu akhirnya penggugat menyatakan perbuatan pemerintah yang belum membayar gaji-gaji para guru sewilayah Saparua untuk bulan Januari dan Pebruari adalah suatu perbuatan melanggar hukum. Kepada tergugat selain harus membayar sejumlah uang sebesar lebih sepuluh juta tadi juga harus membayar penghasilan lain yang sah berdasarkan Surat Keputusan pengangkatan dulu. Tentu saja kemarahan para guru SD di daerah propinsi yang terdiri atas pulau-pulau itu bukan tanpa alasan. Sebab jauh sebelum Surat gugatan itu dibikin, para guru tersebut pernah mengirim surat kepada Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) di Jakarta. Isi surat yang penuh dengan harapan itu memang merupakan reaksi kegembiraan atas pernyataan Kepala BAKN di koran-koran ibukota tentang "tidak ada alasan lagi bagi keterlambatan gaji". "Kami bersyukur karena awan gelap yang menghalangi pembangunan pendidikan, yaitu keterlambatan gaji yang selalu terjadi, sudah diganti dengan cuaca terang", begitu antara lain isi surat tersebut. Selanjutnya disebutkan bahwa dari tahun ke tahun soal itu tidak pernah habis-habisnya, sementara tim demi tim telah dibentuk untuk melakukan penanggulangan. Tapi tak pernah berhasil, sampai keluarnya berita gembira di koran-koran Ibukota, akhir Mei tahun lalu. Namun berita gembira tersebut segera mengalami nasib yang sama dengan tim-tim yang pernah dibentuk dulu. Sebelumnya memang -- baik surat Menteri Dalam Negeri yang dikirimkan kepada para gubernur seluruh Indonesia, tanggal 28 April 197 (kemudian surat ini juga diturunkan kepada Bupati), maupun Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, 15 Desember 1973, yang keluar berdasarkan keputusan bersama dengan Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang penyelesaian soal gaji guru-guru Sekolah Dasar ini -- tidak pernah berhasil menyelesaikan keterlambatan pembayaran gaji para guru. Sehingga pernyataan "tidak ada alasan bagi keterlambatan gaji" yang kemudian jadi harapan kosong itu, telah menggerakkan tangan para guru itu untuk mengajukan surat gugatan tadi. Tak Ada Bank "Kami prihatin sekali", ujar Drs. WDF Rindorindo, Sekertaris Jenderal PGRI di Jakarta kepada Eddy Hcrwantho dari TEMPO. Katanya, ketika para Kepala SD di sana berniat untuk menutup sekolah, pengurus PGRI Pusat telah menginstruksikan agar mereka jangan mogok. Bahkan instruksi yang dikirim lewat kawat itu menganjurkan agar pengurus PGRI setempat melakukan pendekatan terhadap pejabat di daerah itu. Apalagi fungsi camat di daerah misalnya juga merupakan pembina PGRI daerah seperti yang tercantum dalam Anggarn Dasar PGRI. "Jadi soal yang bersifat intern ini mestinya bisa dipecahkan sendiri dan tidak usah tercetus sampai keluar", ujar Rindorindo, "juga sebaiknya para guru itu tidak mengambil sikap konfrontatif terhadap pemerintah daerah". Sementara Faisal Tamim, humas Departemen Dalam Negeri cuma kasih komentar pendek yang itu-itu juga: "keterlambatan gaji itu karena masalah transportasi yang masih menghambat, apa lagi di pulau-pulau terpencil itu tidak ada bank". Dalam kasus itu profesi guru memang serba susah. Kode etik guru memang mewajibkan setiap guru untuk bekerja mendidik murid sebaik mungkin. "Dengan tekanan pada dedikasinya", ujar Rindorindo. Tapi peristiwa keterlambatan gaji guru seperti yang terjadi di Saparua, Nusalaut dan daerah lainnya itu. "mestinya memang perut yang harus didahulukan" ujar sekjen PGRI itu. Tugas guru memang tugas suci, tapi lebih dahulu perut mesti diisi. Makanya "tenanglah dulu, kami sedang berusaha menanggulangi soal itu bersama Departemen Dalam Negeri dan Departemen P dan K", ujar Rilidorindo. Sampai kapan? Nyatanya Pengadilan Negeri Armbon sendiri belum merampungkan gugatan guru-guru tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus