MEREKA yang bermukim di pinggir Sungai Mahakam, Kalimantan
Timur, tidak terlalu melarat. Penghasilan mereka, sesudah
dipakai untuk keperluan hidup sehari-hari, masih bersisa. Dan
sisa itu memburu pesawat teve. Bahkan ada yang sudah membeli
pesawat teve berwarna pula.
Keranjingan ber-teve itu dirasakan sejak beberapa tahun lalu,
sementara beredar cerita bahwa pemerintah segera akan membangun
lebih banyak stasion relay supaya jangkauan siaran Jakarta makin
jauh ke berbagai pelosok tanah air. Apalagi Indonesia sudah
dalam zaman Palapa yang memungkinkan siaran teve itu diperluas.
Tapi di Kecamatan Melak, pinggiran Mahakam, cerita itu masih
berupa impian. Pesawat sudah terbeli, sedang gambarnya belum
bisa terlihat. Camat setempat Ridwan Syachrani BA, mengatakan:
'Televisi di sini hanya buat hiasan belaka."
Hiasan itu bisa anda lillat kalau bertamu di Melak. Hal sama
juga dijumpai misalnya, di Pulau Simeuleu, Aceh yang belum
dijangkau siaran teve. Penduduk pulau itu pun terbilang baik
kehidupannya karena hasil cengkeh. Kalau sedang panen cengkeh,
pergilah mereka ke daratan Aceh, bahkan juga ke Medan untuk
membeli pesawat teve. Penduduk Melak maupun Simeuleu itu yakin
betul rupanya bahwa siaran teve akan segera masuk ke desa
mereka.
Di Jawa sendiri peristiwanya lain lagi. Umpamanya di Desa
Bungbulang yang 75 km ke selatan Garut, Jawa Barat, dua tahun
lalu penduduk membeli pesawat dari kota. Ternyata benda itu
hanya mengeluarkan suara, sedangkan gambarnya hanya berupa
garis-garis gerimis. Tak jelas ketika itu bagi orang desa,
apakah karena stasiun penghubung di Gunung Cikuray belum
berfungsi atau si pemilik tak pandai memasangnya.
Kemudian, pertengahan 1978, muncul seorang pedagang dari
Tasikmalaya dengan sebuah pesawa AC/DC. Menakjubkan sekali ini.
"Heran, kok gambarnya bisa tertangkap," teriak Sulaeman kepala
kampung Bungbulang waktu itu. Maka makin ramailah orang yang
berduit di desa itu membeli. Kalau tak ada uang kontan,
perhiasan dilepas. Ada pula yang sampai menjual kerbau yang
tadinya membantu tuannya mengolah tanah. Ada yang menggadaikan
sawah dan menjual tanah pekarangan segala.
Di Sumatera Barat orang tak bisa ringan-tangan untuk
menggadaikan tanah. Orang Minang memang belum terdengar
menggadaikan tanah, untuk televisi. Tapi ada anak muda
menggadaikan sawah lantaran hendak membeli sepeda motor yang
diiklankan televisi.
Melihat gejala itu, di Desa Sei Rimbang, Kabupaten 50 Kota bulan
Juli lalu, Kerapatan Adat Nagari memutuskan untuk melarang
penduduk menggadai dan menjual sawah. Hanya boleh dijual atau
digadai jika memang sudah suntuk. Misalnya tak ada uang lagi
untuk upacara penguburan.
Para pedagang tinggal menangguk keuntungan dari keranjingan
bertelevisi ini. Konsumen di desa tak kurang gengsi kalau lagi
berbelanja. Di Soppeng, Sulawesi Selatan, orang desa yang masuk
toko biasanya kurang paham mengenai ukuran layar pesawat.
Pokoknya, mereka meminta "tivi yang paling besar" dan "antena
yang paling tinggi" lengkap dengan lampu warna-warni di
ujungnya, supaya tetangga sekampung lalu.
Keadaan ekonomi berbagai daerah ikut menentukan penyebaran
pesawat teve, terutama sejak terjangkau oleh stasion relay. Ke
Lampung yang kaya kopi memang deras sekali masuknya pesawat itu.
Tapi sangat pelan masuknya ke Jawa Tengah bagian utara dan
Sumatera Utara.
Bahwa adanya stasion relay belum berarti langsung deras masuknya
pesawat teve. Leknas-LIPI sudah menjumpai dalam penelitiannya
yang dipimpin Dr Alfian tahun 1973/79. Pada umumnya penyebaran
itu masih terbatas. Di sana-sini bertumbuh masyarakat baru,
yaitu kaum pemilik teve.
Pemilikan teve seringkali digunakan orang untuk memperkokoh
kedudukan sosialnya. Tokoh agama tidak ketinggalan dalam hal
ini. Mereka pun berusaha memiliki teve guna membina peranannya.
Menurut catatan resmi, pesawat teve di Indonesia yang berpenduduk
145 juta ini sampai Maret 1979 berjumlah 1.250.011 -- atau satu
pesawat ~tak sekitar 12 juta manusia rata-rata. ~Masih sedikit
jumlah itu dibanding dengan sasaran siarannya yang semustinya
dicapai. Kini dengan pembangunan 110 stasion penghubung, TV-RI
telah menjangkau daerah seluas 240.000 KmÿFD dengan penduduk 82
juta.
Pemilikan teve jelas masih timpang, sebagian besar menumpuk di
daerah kota. Sedangkan 80% penduduk Indonesia berada di pedesaan.
Namun "teve masuk desa" juga menjadi tujuan pemerintah.
Departemen Penerangan sejak 1974 sudah membagi-bagi pesawat
teve -- sebanyak 7934 -- ke berbagai desa. Sumbangan Deppen
itu umumnya dipasang di kantor kelurahan. Penduduk boleh datang
ke situ menonton.
Tapi masih banyak lagi desa yang belum kebagian. Di Indonesia
ada sekitar 55.000 desa. Kalau dalam 5 tahun masih belum sampai
8000 desa yang mendapat, bayangkanlah sampai berapa Repelita
lagi selebihnya harus menunggu.
Desa Bolo, Kecamatan Karee, Kabupaten Madiun di Jawa Timur
adalah contoh yang belum mendapat. Susah bagi penduduknya untuk
menonton teve. Cuma ada 2 pesawat, masing-masing milik seorang
petani dan seorang pengusaha angkutan. Keduanya digerakkan oleh
tenaga accu. Selama ada accu walaupun tidak dijangkau listrik,
desa mana saja masih bisa ber-teve.
Tapi "jangankan di tingkat desa, di lecamatan pun belum ada,"
kata Socparyat, camat Karee. Dulu di kecamatan itu memang ada
televisi umum, tapi kemudian diboyong lagi oleh pihak Deppen dan
sekarang tak tahu entah diletakkan di mana.
Kepala Desa Bolo sendiri menanggung "hutang" kepada penduduknya
yang berjumlah 2424 jiwa. Lurah yang bernama Wajib kini
menanggung kewajiban untuk menagih kepada Golkar. Soalnya, "dulu
rakyat dijanjikan --kalau Golkar menang tiap desa akan diberi
satu alat teve. Kita 'kan menang, tapi teve itu sampai sekarang
belum juga sampai di desa kami," cerita kepala desa yang berusia
30 itu.
Kalau ada, televisi sumbangan pemerintah itu diletakkan di dalam
sebuah kotak kayu dengan anjungan yang cukup tinggi, supaya
selamat dari orang-orang yang panjang tangan. Toh di Kampung
Sawah, Brebes, Jawa Tengah, telvisi umum sempat juga dicuri
orang.
Penduduk terkadang harus berjalan sampai 5 km untuk menontonnya.
Pulang sampai seluruh acara selesai. Jalan yang harus mereka
tempuh gelap-gulita dan harus merambah semak.
Umumnya orang desa pemurah. Kalau ia sudah memiliki pesawat,
orang lain boleh saja ikut menikmatinya. Terkadang mereka harus
memperbaiki ruangan tamu (kalau ada). Terkadang jendela papan
mereka rubah menjadi kaca, supaya warga lainnya bisa menikmati
juga dari luar.
Di Desa Leworeng, Kecamatan Lalabata, Soppeng, Sulawesi Selatan,
ada kerepotan lain kalau mereka ingin menumpang menonton. Di
sana masih banyak rumah panggung yang disangga tiang tinggi.
Maka pergilah mereka ke pemilik televisi yang berumah moderen.
Rumah penduduk yang bernama Aminah paling laris. Aminah saban
malam menerima tak kurang dari 50 tamu. "Kalau mau menonton di
rumah yang tinggi kami segan," kata seorang warga desa itu.
Di Bali orang tak pernah menghadapi bentuk rumah seperti di
Sulawesi ini. Rumah I Gusti Putu Jagra di Kabupaten Badung saban
malam didatangi 100 tamu. Malahan kalau ada siaran pertandingan
sepakbola, hadirin mencapai seribu.
TAK selamanya mesra. Pemilik televisi, Muhammad dari Desa Alalak
Berangas, Kalimantan Selatan, seringkali makan hati, karena
kotoran manusia dilemparkan orang ke rumahnya pada malam hari.
Ia tadinya menutup pintu bagi para tamu yang jorok, membuang
puntung rokok seenaknya.
Suami-isteri Nasir dari Kampung Melayu, Tanjungpinang, Riau,
tabah terus sampai akhir menghadapi sampah yang ditinggalkan
oleh para penonton. "Beginilah adat bermasyarakat," ujar sang
suami. Sekalipun Nasir saban minggu hilir mudik ke Tanjungpinang
untuk mengisi accu, tak pernah terbetik di hatinya untuk
memungut bayaran dari sesama warga yang ikut menikmati
televisinya.
Lain ceritanya dengan beberapa pemilik teve dari Desa Sembulang
atau Yengujan, desa yang bersempadan. Untuk mengatasi ongkos cas
accu, pemilik menarik bayaran Rp 25, malahan sampai Rp 50 untuk
acara sandiwara atau film.
Siaran Radio Televisi Singapura atau Radio Televisi Malaysia,
selain programa TV-RI, menjangkau penduduk perbatasan seperti
Kepulauan Riau. Lama sebelum siaran TV-RI tiba, penduduk
pedesaan di daerah ini sudah mengenal media elektronik tersebut.
"Itulah untungnya menjadi orang daerah perbatasan ini" kclakar
Suhardi BA, kepala kantor wilayah Deppen, Kabupaten Kepulauan
Riau.
Kini di kabupaten yang berpenduduk kurang dari setengah juta
jiwa itu (dengan 147 buah desa) tercatat 7500 pesawat. Ini baru
angka resmi. Bukan meni jadi rahasia lagi di daerah itu bahwa
orang yang melancong atau berdagang ke Singapura selalu pulang
membawa pe sawat teve. Hingga ada yang memperhitungkan jumlahnya
di daerah ini mencapai 20.000. Apalagi sejak pesawat itudibuat
AC/DC, sehingga soal listrik hukan masalah lagi, makin gemar
oran membawanya dari Singapura.
Dari 17 kecamatan di Kepulauan Riau, tak satu pun yang tak
terjamah televisi. Cuma 31 desa di Pulau Natuna yang masih
sedikit memilikinya. Di Singkep, misalnya, sejak tahun 1974
semua desanya sudah mengantongi televisi. Apalagi di daerah yang
berbatasan langsung dengan Singapura -- seperti Batam, Karimun
dan Moro. "Dilihat dari luar, hidup penduduknya susah. Rumah
mereka buruk. Tapi di sisinya terpacak antena televisi," kata
seorang pejabai di Tanjungpinang.
TENAGA listrik bukan soal, juga bagi orang Kalimantan untuk
ber-teve. Bahkan seorang bernama Burhan di Anjir Pasar (sebuah
desa Kalimantan Selatan) mendapat rejeki dari accu. Ia membuka
usaha penyetruman accu. Sekali setrum Rp 500. "Sehari paling
tidak ada 7 atau 8 accu," katanya bangga.
Lain lagi kisah dari Desa Cupang, Cirebon, Jawa Barat. Sekitar 2
kilometer dari desa itu, yaitu di makam Sunan Bonang ada
generator. Tapi tenaga listriknya tak boleh dialirkan ke luar
makam. Generator dan pesawat televisi yang terdapat di makam
itu merupakan sumbangan dari seorang pertapa. Ke makam itu
ramailah penduduk, juga lurahnya, pergi untuk menikmati acara
televisi.
Namun makam Sunan Bonang tidak saban malam terbuka untuk para
penonton, karena kuncen (penjaga) makam takut kalau-kalau
kepergok orang yang dulu menyumbangkan televisi dan generator.
Sepanjang Maulud, misalnya, datang sang pertapa -- berarti lurah
dan rakyatnya jangan harap bisa menonton. Desa Cupang terbilang
melarat. Sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari
upah membelah batu, tak mungkin mampu membeli pesawat teve.
Apa pengaruh teve bagi orang desa? Penduduk di daerah perbatasan
seperti Riau jelas sudah tidak merasa terpencil, apalagi siaran
yang mereka santap lebih beragam. Tampak di situ teve membuat
orangtua mulai sulit mengatur selera konsumsi anaknya. Mereka
merengek minta minuman seperti Horlich dan colilat Kando's yang
ditawarkan iklan teve Jajan ketan dan pisang goreng di
Tanjungpinang hampir ditinggalkan.
Di daerah Agam (Sumatera Barat), khususnya Sungai Puar dan
Pasir, desa penghasil pakaian jadi, pengaruh iklan televisi pun
amat terasa. Model pakaian--sekitar 30.000 potong per bulan dari
daerah ini--yang dipasarkan sampai ke Jambi dan Kalimantan Barat
banyak ditentukan oleh televisi. Mereka melihat Ira Maya Sopha
dalam siaran "Mana Suka Siaran Niaga, " lantas besoknya
mengalirlah permintaan model pakaiannya.
Kemeja dari Sungai Puar dan Pasir ini Juga meniru gaya Alisan
atau Awozu dan entah apa lagi. Bahkan para penjahit di IV Angkat
-- untuk menampung permintaan -- sudah lihay meniru model kemeja
Arrow. Mereknya pun sudah persis sekali mereka jiplak. "Pasaran
kita memang membaik setelah adanya televisi," ungkap pedagang
pakaian jadi di Pasar Bukittinggi.
Kebutuhan akan parfum dan alat kecantikan juga meningkat.
Anak-anak baru di sana menjadi lebih wangi. Di beberapa desa
wanita sudah meninggalkan kebiasaan membuat bedak sendiri.
Mereka cenderung membeli yang sudah jadi di toko-toko. Salon
kecantikan pun sudah merembes ke kota-kota kecamatan. Di
Kabupaten Padang Pariaman dan Tanah Datar, bepergian ke salon
kecantikan bukan hal ganjil lagi bagi kaum wanitanya.
Sementara itu Ivonne, 8 tahun, dari Desa Talete, Kecamatan
Tomohon, Sulawesi Utara, lain lagi. Sejak ayahnya membeli
pesawat televisi, anak ini sangat tergoda untuk selalu memakai
baju baru.
Sejauh yang menyangkut iklan televisi, pemuka adat dan agama
masih bisa menahan diri. Tapi tentang apa yang terjadi dalam
film cerita, mereka sudah tak sabar. "Di Jakarta hendaknya ada
pikiran supaya film 17 tahun ke atas yang mengandung kekerasan
dan sex sama sekali jangan diputar," kata Idrus Hakimi Dt. Rajo
Penghulu, Ketua Pembinaan Adat dan Syara' Lembaga Kerapatan Adat
Alam Minangkabau. Ia cemas melihat film 17 tahun ke atas itu
disaksikan dengan bebasnya oleh segala lapisan usia via pesawat
televisi umum. "Apa yang mereka lihat, sambil pulang mereka
cobakan," sambungnya.
Di Desa Leworeng, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, belum
terdengar adanya pemuka masyarakat memprotes. Nyonya Madewar dan
kaum kerabatnya di sana membiarkan saja anak mereka dilewati
adegan "hanya untuk orang dewasa". Melihat adegan sedang
berciuman, anak-anak itu berteriak: "Hendiplas!"
Bagi penonton di Panyabungan, Kabupaten Tapanuli Selatan
(Sumatera Utara), adegan yang sama tak membawa rejeki. Rupanya
di sana adegan cium itu dianggap sesuatu yang lumrah. Yang
membuat mereka tertawa setengah mati karena malu, justru iklan
"Susu cap junjung" Kebetulan "susu" di daerah itu berarti buah
dada wanita. "Ah, na gaitma i," cetus seorang penonton wanita.
Artinya, yang porno lah itu bah . . .
Namun teve telah memberi cakrawala baru bagi pengetahuan
masyarakat di pedesaan, demikian M.N. Supomo, Direktur Televisi,
Deppen. Orang desa "tidak lagi melihat lapangan kehidupan ini
melulu tani, tapi ada juga profesi lain yang bisa mereka coba."
Bahwa teve menggeser pola konsumsi, Supomo tidak membantah.
Namun, katanya, tidak terlihat adanya kegoncangan masyarakat
sebagaimana dikhawatirkan orang semula dengan makin meluasnya
jangkauan siaran teve ini. "Saya bertanya apakah ada orang
gelisah gara-gara tidak bisa membeli sabun Lux atau mobil? "
tanya Supomo tanpa mengharap jawab dalam suatu interpiu TEMPO.
Penelitian Leknas-LIPI yang disebut di atas memang menjumpai
pergeseran pola konsumsi masyarakat pedesaanDari pa konsumsi
rumahtangga sentris ke pola konsumsi pasar sentris. Para
pedagang memang punya peranan di sini, tapi tak dapat diabaikan
televisi mempercepat proses itu.
Penduduk desa kelihatannya mulai berpikir praktis dan menghemat
tenaga. Minyak goreng yang tadinya diolah sendiri, sekarang
mereka beli jadi di pasar. Pisau cukur mereka ganti dengan
silet.
Kalau dulu orang desa berkonsultasi dengan dukun, kini mereka
mulai terbiasa pergi ke poliklinik. Juga berkat siaran teve yang
mencantum penerangan agama, demikian laporan Leknas-LlPI,
bertambah banyak mesjid yang dibangun penduduk.
Ketika TV-RI dimulai tahun 1962, siarannya bisa ditangkap di
Jakarta dan sekitarnya saja. Studionya, selain di Jakarta, juga
telah berturut dibangun di Yogyakarta, Medan, Palembang,
Ujungpandang, Balikpapan, Surabaya, Denpasar dan Manado. Banyak
pula stasion penghubungnya yang sudah dan akan dibangun.
Tapi dengan segala kemajuannya itu, kebutuhan masyarakat
pedesaan sayang belum dilayaninya betul. Kalaupun ada, belum
menonjol. Orientasi siarannya lebih banyak tertuju ke masyarakat
kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini