Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Tv masuk desa beginilah kalau televisi ...

Perluasan jangkauan siaran tvri mempunyai dampak di daerah. terjadi pergeseran pola konsumsi karena pengaruh siaran iklan. tvri yogyakarta sudah ada siaran pedesaan. (md)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA yang bermukim di pinggir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, tidak terlalu melarat. Penghasilan mereka, sesudah dipakai untuk keperluan hidup sehari-hari, masih bersisa. Dan sisa itu memburu pesawat teve. Bahkan ada yang sudah membeli pesawat teve berwarna pula. Keranjingan ber-teve itu dirasakan sejak beberapa tahun lalu, sementara beredar cerita bahwa pemerintah segera akan membangun lebih banyak stasion relay supaya jangkauan siaran Jakarta makin jauh ke berbagai pelosok tanah air. Apalagi Indonesia sudah dalam zaman Palapa yang memungkinkan siaran teve itu diperluas. Tapi di Kecamatan Melak, pinggiran Mahakam, cerita itu masih berupa impian. Pesawat sudah terbeli, sedang gambarnya belum bisa terlihat. Camat setempat Ridwan Syachrani BA, mengatakan: 'Televisi di sini hanya buat hiasan belaka." Hiasan itu bisa anda lillat kalau bertamu di Melak. Hal sama juga dijumpai misalnya, di Pulau Simeuleu, Aceh yang belum dijangkau siaran teve. Penduduk pulau itu pun terbilang baik kehidupannya karena hasil cengkeh. Kalau sedang panen cengkeh, pergilah mereka ke daratan Aceh, bahkan juga ke Medan untuk membeli pesawat teve. Penduduk Melak maupun Simeuleu itu yakin betul rupanya bahwa siaran teve akan segera masuk ke desa mereka. Di Jawa sendiri peristiwanya lain lagi. Umpamanya di Desa Bungbulang yang 75 km ke selatan Garut, Jawa Barat, dua tahun lalu penduduk membeli pesawat dari kota. Ternyata benda itu hanya mengeluarkan suara, sedangkan gambarnya hanya berupa garis-garis gerimis. Tak jelas ketika itu bagi orang desa, apakah karena stasiun penghubung di Gunung Cikuray belum berfungsi atau si pemilik tak pandai memasangnya. Kemudian, pertengahan 1978, muncul seorang pedagang dari Tasikmalaya dengan sebuah pesawa AC/DC. Menakjubkan sekali ini. "Heran, kok gambarnya bisa tertangkap," teriak Sulaeman kepala kampung Bungbulang waktu itu. Maka makin ramailah orang yang berduit di desa itu membeli. Kalau tak ada uang kontan, perhiasan dilepas. Ada pula yang sampai menjual kerbau yang tadinya membantu tuannya mengolah tanah. Ada yang menggadaikan sawah dan menjual tanah pekarangan segala. Di Sumatera Barat orang tak bisa ringan-tangan untuk menggadaikan tanah. Orang Minang memang belum terdengar menggadaikan tanah, untuk televisi. Tapi ada anak muda menggadaikan sawah lantaran hendak membeli sepeda motor yang diiklankan televisi. Melihat gejala itu, di Desa Sei Rimbang, Kabupaten 50 Kota bulan Juli lalu, Kerapatan Adat Nagari memutuskan untuk melarang penduduk menggadai dan menjual sawah. Hanya boleh dijual atau digadai jika memang sudah suntuk. Misalnya tak ada uang lagi untuk upacara penguburan. Para pedagang tinggal menangguk keuntungan dari keranjingan bertelevisi ini. Konsumen di desa tak kurang gengsi kalau lagi berbelanja. Di Soppeng, Sulawesi Selatan, orang desa yang masuk toko biasanya kurang paham mengenai ukuran layar pesawat. Pokoknya, mereka meminta "tivi yang paling besar" dan "antena yang paling tinggi" lengkap dengan lampu warna-warni di ujungnya, supaya tetangga sekampung lalu. Keadaan ekonomi berbagai daerah ikut menentukan penyebaran pesawat teve, terutama sejak terjangkau oleh stasion relay. Ke Lampung yang kaya kopi memang deras sekali masuknya pesawat itu. Tapi sangat pelan masuknya ke Jawa Tengah bagian utara dan Sumatera Utara. Bahwa adanya stasion relay belum berarti langsung deras masuknya pesawat teve. Leknas-LIPI sudah menjumpai dalam penelitiannya yang dipimpin Dr Alfian tahun 1973/79. Pada umumnya penyebaran itu masih terbatas. Di sana-sini bertumbuh masyarakat baru, yaitu kaum pemilik teve. Pemilikan teve seringkali digunakan orang untuk memperkokoh kedudukan sosialnya. Tokoh agama tidak ketinggalan dalam hal ini. Mereka pun berusaha memiliki teve guna membina peranannya. Menurut catatan resmi, pesawat teve di Indonesia yang berpenduduk 145 juta ini sampai Maret 1979 berjumlah 1.250.011 -- atau satu pesawat ~tak sekitar 12 juta manusia rata-rata. ~Masih sedikit jumlah itu dibanding dengan sasaran siarannya yang semustinya dicapai. Kini dengan pembangunan 110 stasion penghubung, TV-RI telah menjangkau daerah seluas 240.000 KmÿFD dengan penduduk 82 juta. Pemilikan teve jelas masih timpang, sebagian besar menumpuk di daerah kota. Sedangkan 80% penduduk Indonesia berada di pedesaan. Namun "teve masuk desa" juga menjadi tujuan pemerintah. Departemen Penerangan sejak 1974 sudah membagi-bagi pesawat teve -- sebanyak 7934 -- ke berbagai desa. Sumbangan Deppen itu umumnya dipasang di kantor kelurahan. Penduduk boleh datang ke situ menonton. Tapi masih banyak lagi desa yang belum kebagian. Di Indonesia ada sekitar 55.000 desa. Kalau dalam 5 tahun masih belum sampai 8000 desa yang mendapat, bayangkanlah sampai berapa Repelita lagi selebihnya harus menunggu. Desa Bolo, Kecamatan Karee, Kabupaten Madiun di Jawa Timur adalah contoh yang belum mendapat. Susah bagi penduduknya untuk menonton teve. Cuma ada 2 pesawat, masing-masing milik seorang petani dan seorang pengusaha angkutan. Keduanya digerakkan oleh tenaga accu. Selama ada accu walaupun tidak dijangkau listrik, desa mana saja masih bisa ber-teve. Tapi "jangankan di tingkat desa, di lecamatan pun belum ada," kata Socparyat, camat Karee. Dulu di kecamatan itu memang ada televisi umum, tapi kemudian diboyong lagi oleh pihak Deppen dan sekarang tak tahu entah diletakkan di mana. Kepala Desa Bolo sendiri menanggung "hutang" kepada penduduknya yang berjumlah 2424 jiwa. Lurah yang bernama Wajib kini menanggung kewajiban untuk menagih kepada Golkar. Soalnya, "dulu rakyat dijanjikan --kalau Golkar menang tiap desa akan diberi satu alat teve. Kita 'kan menang, tapi teve itu sampai sekarang belum juga sampai di desa kami," cerita kepala desa yang berusia 30 itu. Kalau ada, televisi sumbangan pemerintah itu diletakkan di dalam sebuah kotak kayu dengan anjungan yang cukup tinggi, supaya selamat dari orang-orang yang panjang tangan. Toh di Kampung Sawah, Brebes, Jawa Tengah, telvisi umum sempat juga dicuri orang. Penduduk terkadang harus berjalan sampai 5 km untuk menontonnya. Pulang sampai seluruh acara selesai. Jalan yang harus mereka tempuh gelap-gulita dan harus merambah semak. Umumnya orang desa pemurah. Kalau ia sudah memiliki pesawat, orang lain boleh saja ikut menikmatinya. Terkadang mereka harus memperbaiki ruangan tamu (kalau ada). Terkadang jendela papan mereka rubah menjadi kaca, supaya warga lainnya bisa menikmati juga dari luar. Di Desa Leworeng, Kecamatan Lalabata, Soppeng, Sulawesi Selatan, ada kerepotan lain kalau mereka ingin menumpang menonton. Di sana masih banyak rumah panggung yang disangga tiang tinggi. Maka pergilah mereka ke pemilik televisi yang berumah moderen. Rumah penduduk yang bernama Aminah paling laris. Aminah saban malam menerima tak kurang dari 50 tamu. "Kalau mau menonton di rumah yang tinggi kami segan," kata seorang warga desa itu. Di Bali orang tak pernah menghadapi bentuk rumah seperti di Sulawesi ini. Rumah I Gusti Putu Jagra di Kabupaten Badung saban malam didatangi 100 tamu. Malahan kalau ada siaran pertandingan sepakbola, hadirin mencapai seribu. TAK selamanya mesra. Pemilik televisi, Muhammad dari Desa Alalak Berangas, Kalimantan Selatan, seringkali makan hati, karena kotoran manusia dilemparkan orang ke rumahnya pada malam hari. Ia tadinya menutup pintu bagi para tamu yang jorok, membuang puntung rokok seenaknya. Suami-isteri Nasir dari Kampung Melayu, Tanjungpinang, Riau, tabah terus sampai akhir menghadapi sampah yang ditinggalkan oleh para penonton. "Beginilah adat bermasyarakat," ujar sang suami. Sekalipun Nasir saban minggu hilir mudik ke Tanjungpinang untuk mengisi accu, tak pernah terbetik di hatinya untuk memungut bayaran dari sesama warga yang ikut menikmati televisinya. Lain ceritanya dengan beberapa pemilik teve dari Desa Sembulang atau Yengujan, desa yang bersempadan. Untuk mengatasi ongkos cas accu, pemilik menarik bayaran Rp 25, malahan sampai Rp 50 untuk acara sandiwara atau film. Siaran Radio Televisi Singapura atau Radio Televisi Malaysia, selain programa TV-RI, menjangkau penduduk perbatasan seperti Kepulauan Riau. Lama sebelum siaran TV-RI tiba, penduduk pedesaan di daerah ini sudah mengenal media elektronik tersebut. "Itulah untungnya menjadi orang daerah perbatasan ini" kclakar Suhardi BA, kepala kantor wilayah Deppen, Kabupaten Kepulauan Riau. Kini di kabupaten yang berpenduduk kurang dari setengah juta jiwa itu (dengan 147 buah desa) tercatat 7500 pesawat. Ini baru angka resmi. Bukan meni jadi rahasia lagi di daerah itu bahwa orang yang melancong atau berdagang ke Singapura selalu pulang membawa pe sawat teve. Hingga ada yang memperhitungkan jumlahnya di daerah ini mencapai 20.000. Apalagi sejak pesawat itudibuat AC/DC, sehingga soal listrik hukan masalah lagi, makin gemar oran membawanya dari Singapura. Dari 17 kecamatan di Kepulauan Riau, tak satu pun yang tak terjamah televisi. Cuma 31 desa di Pulau Natuna yang masih sedikit memilikinya. Di Singkep, misalnya, sejak tahun 1974 semua desanya sudah mengantongi televisi. Apalagi di daerah yang berbatasan langsung dengan Singapura -- seperti Batam, Karimun dan Moro. "Dilihat dari luar, hidup penduduknya susah. Rumah mereka buruk. Tapi di sisinya terpacak antena televisi," kata seorang pejabai di Tanjungpinang. TENAGA listrik bukan soal, juga bagi orang Kalimantan untuk ber-teve. Bahkan seorang bernama Burhan di Anjir Pasar (sebuah desa Kalimantan Selatan) mendapat rejeki dari accu. Ia membuka usaha penyetruman accu. Sekali setrum Rp 500. "Sehari paling tidak ada 7 atau 8 accu," katanya bangga. Lain lagi kisah dari Desa Cupang, Cirebon, Jawa Barat. Sekitar 2 kilometer dari desa itu, yaitu di makam Sunan Bonang ada generator. Tapi tenaga listriknya tak boleh dialirkan ke luar makam. Generator dan pesawat televisi yang terdapat di makam itu merupakan sumbangan dari seorang pertapa. Ke makam itu ramailah penduduk, juga lurahnya, pergi untuk menikmati acara televisi. Namun makam Sunan Bonang tidak saban malam terbuka untuk para penonton, karena kuncen (penjaga) makam takut kalau-kalau kepergok orang yang dulu menyumbangkan televisi dan generator. Sepanjang Maulud, misalnya, datang sang pertapa -- berarti lurah dan rakyatnya jangan harap bisa menonton. Desa Cupang terbilang melarat. Sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari upah membelah batu, tak mungkin mampu membeli pesawat teve. Apa pengaruh teve bagi orang desa? Penduduk di daerah perbatasan seperti Riau jelas sudah tidak merasa terpencil, apalagi siaran yang mereka santap lebih beragam. Tampak di situ teve membuat orangtua mulai sulit mengatur selera konsumsi anaknya. Mereka merengek minta minuman seperti Horlich dan colilat Kando's yang ditawarkan iklan teve Jajan ketan dan pisang goreng di Tanjungpinang hampir ditinggalkan. Di daerah Agam (Sumatera Barat), khususnya Sungai Puar dan Pasir, desa penghasil pakaian jadi, pengaruh iklan televisi pun amat terasa. Model pakaian--sekitar 30.000 potong per bulan dari daerah ini--yang dipasarkan sampai ke Jambi dan Kalimantan Barat banyak ditentukan oleh televisi. Mereka melihat Ira Maya Sopha dalam siaran "Mana Suka Siaran Niaga, " lantas besoknya mengalirlah permintaan model pakaiannya. Kemeja dari Sungai Puar dan Pasir ini Juga meniru gaya Alisan atau Awozu dan entah apa lagi. Bahkan para penjahit di IV Angkat -- untuk menampung permintaan -- sudah lihay meniru model kemeja Arrow. Mereknya pun sudah persis sekali mereka jiplak. "Pasaran kita memang membaik setelah adanya televisi," ungkap pedagang pakaian jadi di Pasar Bukittinggi. Kebutuhan akan parfum dan alat kecantikan juga meningkat. Anak-anak baru di sana menjadi lebih wangi. Di beberapa desa wanita sudah meninggalkan kebiasaan membuat bedak sendiri. Mereka cenderung membeli yang sudah jadi di toko-toko. Salon kecantikan pun sudah merembes ke kota-kota kecamatan. Di Kabupaten Padang Pariaman dan Tanah Datar, bepergian ke salon kecantikan bukan hal ganjil lagi bagi kaum wanitanya. Sementara itu Ivonne, 8 tahun, dari Desa Talete, Kecamatan Tomohon, Sulawesi Utara, lain lagi. Sejak ayahnya membeli pesawat televisi, anak ini sangat tergoda untuk selalu memakai baju baru. Sejauh yang menyangkut iklan televisi, pemuka adat dan agama masih bisa menahan diri. Tapi tentang apa yang terjadi dalam film cerita, mereka sudah tak sabar. "Di Jakarta hendaknya ada pikiran supaya film 17 tahun ke atas yang mengandung kekerasan dan sex sama sekali jangan diputar," kata Idrus Hakimi Dt. Rajo Penghulu, Ketua Pembinaan Adat dan Syara' Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau. Ia cemas melihat film 17 tahun ke atas itu disaksikan dengan bebasnya oleh segala lapisan usia via pesawat televisi umum. "Apa yang mereka lihat, sambil pulang mereka cobakan," sambungnya. Di Desa Leworeng, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, belum terdengar adanya pemuka masyarakat memprotes. Nyonya Madewar dan kaum kerabatnya di sana membiarkan saja anak mereka dilewati adegan "hanya untuk orang dewasa". Melihat adegan sedang berciuman, anak-anak itu berteriak: "Hendiplas!" Bagi penonton di Panyabungan, Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatera Utara), adegan yang sama tak membawa rejeki. Rupanya di sana adegan cium itu dianggap sesuatu yang lumrah. Yang membuat mereka tertawa setengah mati karena malu, justru iklan "Susu cap junjung" Kebetulan "susu" di daerah itu berarti buah dada wanita. "Ah, na gaitma i," cetus seorang penonton wanita. Artinya, yang porno lah itu bah . . . Namun teve telah memberi cakrawala baru bagi pengetahuan masyarakat di pedesaan, demikian M.N. Supomo, Direktur Televisi, Deppen. Orang desa "tidak lagi melihat lapangan kehidupan ini melulu tani, tapi ada juga profesi lain yang bisa mereka coba." Bahwa teve menggeser pola konsumsi, Supomo tidak membantah. Namun, katanya, tidak terlihat adanya kegoncangan masyarakat sebagaimana dikhawatirkan orang semula dengan makin meluasnya jangkauan siaran teve ini. "Saya bertanya apakah ada orang gelisah gara-gara tidak bisa membeli sabun Lux atau mobil? " tanya Supomo tanpa mengharap jawab dalam suatu interpiu TEMPO. Penelitian Leknas-LIPI yang disebut di atas memang menjumpai pergeseran pola konsumsi masyarakat pedesaanDari pa konsumsi rumahtangga sentris ke pola konsumsi pasar sentris. Para pedagang memang punya peranan di sini, tapi tak dapat diabaikan televisi mempercepat proses itu. Penduduk desa kelihatannya mulai berpikir praktis dan menghemat tenaga. Minyak goreng yang tadinya diolah sendiri, sekarang mereka beli jadi di pasar. Pisau cukur mereka ganti dengan silet. Kalau dulu orang desa berkonsultasi dengan dukun, kini mereka mulai terbiasa pergi ke poliklinik. Juga berkat siaran teve yang mencantum penerangan agama, demikian laporan Leknas-LlPI, bertambah banyak mesjid yang dibangun penduduk. Ketika TV-RI dimulai tahun 1962, siarannya bisa ditangkap di Jakarta dan sekitarnya saja. Studionya, selain di Jakarta, juga telah berturut dibangun di Yogyakarta, Medan, Palembang, Ujungpandang, Balikpapan, Surabaya, Denpasar dan Manado. Banyak pula stasion penghubungnya yang sudah dan akan dibangun. Tapi dengan segala kemajuannya itu, kebutuhan masyarakat pedesaan sayang belum dilayaninya betul. Kalaupun ada, belum menonjol. Orientasi siarannya lebih banyak tertuju ke masyarakat kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus