SEKALI kita memasuki dialog, kita tidak pernah tahu kapan kita
harus berhenti." Begitulah Prof. Dr. W.A. Bijlefeld, guru besar
Studi Islam di Kanada dan AS. Ia sedang menjawab pertanyaan
hadirin untuk ceramahnya yang berjudul Tantangan Islam terhadap
Theologi Kristen, diadakan di Sekolah Tinggi Theologia (STT)
Jakarta 2 Desember lalu.
Ceramah itu sendiri merupakan acara kedua dalam rangkaian
Seminar Studi Agama (diselenggarakan bersama oleh IAIN Jakarta
dan Perhimpunan Sekolah-Sekolah Tinggi Theologia di Indonesia,
disingkat Persetia), sesudah ceramahnya di IAIN Ciputat sehari
sebelumnya.
Hadirin, terdiri antara lain dari para dosen senior (STT dan
IAIN, para peneliti dari berbagai lingkungan termasuk DGI dan
MAWI, memang tidak berada dalam jurus perhatian yang sama. Namun
kondisi Indonesia sudah tentu membentuk pandangan mereka jadi
agak sejajar. Tak heran bila Prof. Takdir Alisjahbana maupun Dr.
Simatupang mengemukakan ada-tidaknya hubungan antara ceramah dan
kondisi sosial yang mereka hadapi.
Apologi?
Simatupang, menyinggung pembicaraan tentang Theologi Kristen,
menyatakan bahwa dengan cara seperti yang dikemukakan pembicara
kita tidak bisa terhindar dari apologi - sementara masalah yang
lebih mendesak ialah kebutuhan untuk, yah, kerukunan dan
kerjasama antar agama. Prof. Takdir dalam pada itu lebih suka
memilih "tantangan bersama yang dihadapi umat manusia" daripada
"tantangan Islam terhadap theologi Kristen" atau apapun namanya.
Judul ceramah itu memang bisa bikin panas -- meskipun dari
hadirin yang menonjol justru suasana- akrab yang tenang dan
wajar. (Para peserta dari IAIN juga melaksanakan jemaah maghrib
di kompleks STT, disediai sebuah rumah untuk itu). Di bawah
judul seperti itu Bijlefeld, tokoh yang disebut sebagai turut
memulai dialog antar agama bersama Prof. Dr Mukti Ali, Dr.
Latuihamallo, Dr Anwar Harjono dan lain-lain dari Indonesia,
menyatakan misalnya bahwa sebagian orang Kristen maupun Muslim
memang cenderung "meremehkan" masalah-masalah fundamentil yang
dikira akan menimbulkan keruncingan. Sementara menurut dia,
"tidaklah bertanggungjawab untuk bersikap seperti itu."
Sebabnya tentu: tantangan Islam terhadap theologi Kristen memang
layak disidik secara ilmiah.
Tetapi "tantangan" itu bukan berdiri sendiri. Diketahui muncul
dalam ujudnya yang mutakhir pada kurun setelah kebangunan Islam
mulai akhir abad kemarin ('Abduh, AI-Afghani), ia bisa dilihat
sebagai hanya bagian dari sejarah pertemuan agama-agama. Dalam
lektur Islam sendiri, seperti dijelaskan Bijlefeld, tiga buah
istilah yang paling sering disebut adalah: pertama perang salib
"mental perang salib" dan kolonialisme. Kedua gerakan misionari
Kristen. Dan ketiga orientalisme dan orientalis (istisyraq dan
mustasyriq). Maka ceramah Bijlefeld di hari pertama, di kIN itu,
berbicara tentang 'BeberapaPemb tasan 'Orientalisme' dan
Hasil-hasilnya Dalam Hubungannya Dengan Studi Islam.
Dan di sini Bijlefeld, yang selalu berbicara dengan semangat
yang besar untuk meyakinkan para pendengarnya ("memaksakan
pendapatnya," menurut seorang hadirin yang kurang setuju) muncul
sebagai "pembela Islam." Tak ada yang baru memang - kecuali
butir-butir penjelasannya. Orang Islam umumnya faham sudah
betapa "orientalis" mempunyai konotasi yang kurang sedap -
meskipun mereka kadang bergirang hati bila menjumpai kata-kata
orientalis yang tiba-tiba "membela" mereka.
Bijlefeld sendiri dengan pasti menyatakan (dan ini persis
kata-kata sarjana Swiss yang menjadi ulama dan menulis beberapa
buku yang cukup populer di kalangan muda Islam, Muhammad Asad
d/h Leopold Weiss), bahwa "Islam sudah menderita tidak hanya
oleh mereka yang mengkritiknya, melainkan juga oleh orang Barat
dan Kristen yang 'membelanya." Ini tak lain disebabkan karena
dalam "pembelaan" itu Islam telah lebih dahulu diletakkan dalam
posisi seorang tertuduh. Bylefeld juga mengatakan: "Sejumlah
bayangan palsu tentang Islam sudah berakar sangat dalam di
masyarakat Barat - sebelum munculnya gerakan misionari modern
dan kelahiran orientalisme."
Sebagai akibat, maka para orientalis lebih setengahnya masih
muncul di dunia oriental dengan wajah tidak simpatik. Contoh
yang mewakili hal itu, di sebut Bijlefeld, misalnya soal tentang
"orisinalitas Islam": sementara mereka mengakui kekerabatan
kitabiah antara Kristen dan Yahudi, mereka menolak saudara
mereka yang Arab -- yang memang satu sumber dengan mereka -- dan
mengecamnya sebagai "tidak orisinil."
Agama dan Politik
Meski begitu pemukulrataan tentulah harus dihindarkan. Di
kalangan orientalis sendiri terdapat beberapa arus. Di samping
itu contoh-contoh yang tenggelam dalam sejarah layak pula
diangkat. Misalnya terdapat tantangan dari Kristen awal sendiri
terhadap perang salib Eropa. Juga terdapat studi Qur'an yang
serius dari Dominicus Germanus, theolog Fransiscan.
Kenyataan-kenyataan seperti itu patut dipertimbangkan.
Sekarang tinggal masalah ketepatan dalam pemberian titikberat
dari apa yang menurut istilah Bijlefeld adalah 'karakter
komprohensif Islam.' Pemberian tekanan berlebih-lebihan terhadap
rasionalisme Islam, menurut sang profesor, telah mengurangi
perhatian segi lain: tasauf, misalnya.
Juga dalam hal diskusi mengenai "agama dan politik": seakan-akan
Islam hanyalah "sebuah sistim sosial-politik dengan selaput
keagamaan yang tipis" -- dan ini tak benar. Tetapi menarik,
justru penekanan pada aspek sosial-politik ini datang dari para
pembela Islam sendiri di Timur bagi pembangunan harga diri
mereka sebagai bangsa-bangsa terjajah, setelah atau berbareng
dengan pelebih-lebihan orientalis itu. Maka yang dibutuhkan,
menurut penceramah tak lain pendekatan fenomenologis yang
selayaknya ditambahkan pada (bukan menggantikan) studi historis,
sosial dan antropologi.
Di auditorium Sekolah Tinggi Theologia, di hadapan seminar yang
dipimpin Ketua Persetia dan bekas Rektor STT Prof. Dr. Ihromi,
Bijlefeld mengakhiri pembicaraannya tentang Islam dan Theologi
Kristen dengan serangkaian kalimat berapi-api. Ia menyebut
Kristus, menyebut "ke arah saling pengertian yang lebih dalam."
lalu duduk lalu menutup muka. Lalu mengusap mata .... Tidakkah
ini corak lain dari dialog yang selama ini diselenggarakan yang
jauh dari suasana permusuhan, namun jauh dari basa-basi?
Bijlefeld, yang juga memberi kuliah antara lain di IAIN Bandung,
di Kelas Purna-Sarjana IAIN Yogya dan STT Duta Wacana di kota
yang sama, yang bicara bahasa Inggeris dengan huruf r yang
tebal, berumur 52 tahun. Tahun 1932 ia meninggalkan tanah
kelahirannya, dan baru melihatnya kembali emarin ketika ia
datang untuk ceramah. Dalam paspornya tertulis: lahir di Tobelo,
Halmahera, Indonesia. Namanya Willem. Orang Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini