Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Islam-kristen dan orientalis

Ceramah prof.dr.w.a.bijlefeld dalam seminar studi agama yang diselenggarakan oleh iain jakarta dan sekolah tinggi theologia di jakarta mengambil judul tantangan islam terhadap theologi kristen.

24 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALI kita memasuki dialog, kita tidak pernah tahu kapan kita harus berhenti." Begitulah Prof. Dr. W.A. Bijlefeld, guru besar Studi Islam di Kanada dan AS. Ia sedang menjawab pertanyaan hadirin untuk ceramahnya yang berjudul Tantangan Islam terhadap Theologi Kristen, diadakan di Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta 2 Desember lalu. Ceramah itu sendiri merupakan acara kedua dalam rangkaian Seminar Studi Agama (diselenggarakan bersama oleh IAIN Jakarta dan Perhimpunan Sekolah-Sekolah Tinggi Theologia di Indonesia, disingkat Persetia), sesudah ceramahnya di IAIN Ciputat sehari sebelumnya. Hadirin, terdiri antara lain dari para dosen senior (STT dan IAIN, para peneliti dari berbagai lingkungan termasuk DGI dan MAWI, memang tidak berada dalam jurus perhatian yang sama. Namun kondisi Indonesia sudah tentu membentuk pandangan mereka jadi agak sejajar. Tak heran bila Prof. Takdir Alisjahbana maupun Dr. Simatupang mengemukakan ada-tidaknya hubungan antara ceramah dan kondisi sosial yang mereka hadapi. Apologi? Simatupang, menyinggung pembicaraan tentang Theologi Kristen, menyatakan bahwa dengan cara seperti yang dikemukakan pembicara kita tidak bisa terhindar dari apologi - sementara masalah yang lebih mendesak ialah kebutuhan untuk, yah, kerukunan dan kerjasama antar agama. Prof. Takdir dalam pada itu lebih suka memilih "tantangan bersama yang dihadapi umat manusia" daripada "tantangan Islam terhadap theologi Kristen" atau apapun namanya. Judul ceramah itu memang bisa bikin panas -- meskipun dari hadirin yang menonjol justru suasana- akrab yang tenang dan wajar. (Para peserta dari IAIN juga melaksanakan jemaah maghrib di kompleks STT, disediai sebuah rumah untuk itu). Di bawah judul seperti itu Bijlefeld, tokoh yang disebut sebagai turut memulai dialog antar agama bersama Prof. Dr Mukti Ali, Dr. Latuihamallo, Dr Anwar Harjono dan lain-lain dari Indonesia, menyatakan misalnya bahwa sebagian orang Kristen maupun Muslim memang cenderung "meremehkan" masalah-masalah fundamentil yang dikira akan menimbulkan keruncingan. Sementara menurut dia, "tidaklah bertanggungjawab untuk bersikap seperti itu." Sebabnya tentu: tantangan Islam terhadap theologi Kristen memang layak disidik secara ilmiah. Tetapi "tantangan" itu bukan berdiri sendiri. Diketahui muncul dalam ujudnya yang mutakhir pada kurun setelah kebangunan Islam mulai akhir abad kemarin ('Abduh, AI-Afghani), ia bisa dilihat sebagai hanya bagian dari sejarah pertemuan agama-agama. Dalam lektur Islam sendiri, seperti dijelaskan Bijlefeld, tiga buah istilah yang paling sering disebut adalah: pertama perang salib "mental perang salib" dan kolonialisme. Kedua gerakan misionari Kristen. Dan ketiga orientalisme dan orientalis (istisyraq dan mustasyriq). Maka ceramah Bijlefeld di hari pertama, di kIN itu, berbicara tentang 'BeberapaPemb tasan 'Orientalisme' dan Hasil-hasilnya Dalam Hubungannya Dengan Studi Islam. Dan di sini Bijlefeld, yang selalu berbicara dengan semangat yang besar untuk meyakinkan para pendengarnya ("memaksakan pendapatnya," menurut seorang hadirin yang kurang setuju) muncul sebagai "pembela Islam." Tak ada yang baru memang - kecuali butir-butir penjelasannya. Orang Islam umumnya faham sudah betapa "orientalis" mempunyai konotasi yang kurang sedap - meskipun mereka kadang bergirang hati bila menjumpai kata-kata orientalis yang tiba-tiba "membela" mereka. Bijlefeld sendiri dengan pasti menyatakan (dan ini persis kata-kata sarjana Swiss yang menjadi ulama dan menulis beberapa buku yang cukup populer di kalangan muda Islam, Muhammad Asad d/h Leopold Weiss), bahwa "Islam sudah menderita tidak hanya oleh mereka yang mengkritiknya, melainkan juga oleh orang Barat dan Kristen yang 'membelanya." Ini tak lain disebabkan karena dalam "pembelaan" itu Islam telah lebih dahulu diletakkan dalam posisi seorang tertuduh. Bylefeld juga mengatakan: "Sejumlah bayangan palsu tentang Islam sudah berakar sangat dalam di masyarakat Barat - sebelum munculnya gerakan misionari modern dan kelahiran orientalisme." Sebagai akibat, maka para orientalis lebih setengahnya masih muncul di dunia oriental dengan wajah tidak simpatik. Contoh yang mewakili hal itu, di sebut Bijlefeld, misalnya soal tentang "orisinalitas Islam": sementara mereka mengakui kekerabatan kitabiah antara Kristen dan Yahudi, mereka menolak saudara mereka yang Arab -- yang memang satu sumber dengan mereka -- dan mengecamnya sebagai "tidak orisinil." Agama dan Politik Meski begitu pemukulrataan tentulah harus dihindarkan. Di kalangan orientalis sendiri terdapat beberapa arus. Di samping itu contoh-contoh yang tenggelam dalam sejarah layak pula diangkat. Misalnya terdapat tantangan dari Kristen awal sendiri terhadap perang salib Eropa. Juga terdapat studi Qur'an yang serius dari Dominicus Germanus, theolog Fransiscan. Kenyataan-kenyataan seperti itu patut dipertimbangkan. Sekarang tinggal masalah ketepatan dalam pemberian titikberat dari apa yang menurut istilah Bijlefeld adalah 'karakter komprohensif Islam.' Pemberian tekanan berlebih-lebihan terhadap rasionalisme Islam, menurut sang profesor, telah mengurangi perhatian segi lain: tasauf, misalnya. Juga dalam hal diskusi mengenai "agama dan politik": seakan-akan Islam hanyalah "sebuah sistim sosial-politik dengan selaput keagamaan yang tipis" -- dan ini tak benar. Tetapi menarik, justru penekanan pada aspek sosial-politik ini datang dari para pembela Islam sendiri di Timur bagi pembangunan harga diri mereka sebagai bangsa-bangsa terjajah, setelah atau berbareng dengan pelebih-lebihan orientalis itu. Maka yang dibutuhkan, menurut penceramah tak lain pendekatan fenomenologis yang selayaknya ditambahkan pada (bukan menggantikan) studi historis, sosial dan antropologi. Di auditorium Sekolah Tinggi Theologia, di hadapan seminar yang dipimpin Ketua Persetia dan bekas Rektor STT Prof. Dr. Ihromi, Bijlefeld mengakhiri pembicaraannya tentang Islam dan Theologi Kristen dengan serangkaian kalimat berapi-api. Ia menyebut Kristus, menyebut "ke arah saling pengertian yang lebih dalam." lalu duduk lalu menutup muka. Lalu mengusap mata .... Tidakkah ini corak lain dari dialog yang selama ini diselenggarakan yang jauh dari suasana permusuhan, namun jauh dari basa-basi? Bijlefeld, yang juga memberi kuliah antara lain di IAIN Bandung, di Kelas Purna-Sarjana IAIN Yogya dan STT Duta Wacana di kota yang sama, yang bicara bahasa Inggeris dengan huruf r yang tebal, berumur 52 tahun. Tahun 1932 ia meninggalkan tanah kelahirannya, dan baru melihatnya kembali emarin ketika ia datang untuk ceramah. Dalam paspornya tertulis: lahir di Tobelo, Halmahera, Indonesia. Namanya Willem. Orang Belanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus