Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Upaya Melahirkan Sang Induk

Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Keuangan Negara yang akan banyak mengubah pengelolaan keuangan yang selama ini menyebabkan kebocoran. Bappenas juga akan dihapus.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANA ada ibu yang lahir setelah anak-anaknya lebih dulu hadir? Ini memang aneh, tapi itulah yang terjadi pada Undang-Undang Keuangan Negara kita. Undang-undang ini adalah induk dari berbagai undang-undang yang berkaitan dengan keuangan negara, seperti UU Perpajakan dan UU Bank Indonesia. Tapi, sementara UU Bank Indonesia telah lahir—meski kini tengah diamandemen—UU Keuangan Negara justru sedang diupayakan lahir. Bila tak ada lagi aral melintang, RUU Keuangan Negara akan dibahas Senin pekan ini di Senayan, Jakarta.

RUU Keuangan Negara memang betul-betul harus menempuh perjalanan yang sangat panjang. Dipersiapkan sejak 1945, baru kali inilah RUU untuk mengatur pengelolaan keuangan negara bisa diajukan pemerintah. Padahal, Pasal 23 UUD 1945 mengatakan, ”Hal Keuangan selanjutnya diatur dengan undang-undang.” Jadi, undang-undang mengenai hal itu seharusnya sudah lahir sejak dulu. Nyatanya, hingga sekarang, belum ada undang-undang yang mengatur hal-hal mendasar mengenai ketentuan umum pengelolaan negara. Selama ini, saka guru pengelolaan keuangan hanya produk hukum warisan penjajah dari Belanda, Indonesische Comptabiliteits Wet (ICW).

Nah, tak aneh bukan bila ada departemen yang begitu gemuk karena bisa menimbun dana nonbujeter yang segunung? Jangan pula heran bila ada departemen yang saking kayanya sampai menelantarkan gedung-gedung megah, sementara ada departemen lain di depan matanya yang terpaksa memboroskan anggaran negara dengan menyewa gedung karena tak punya kantor sendiri. Kebocoran, pemborosan, terjadi di mana-mana.

Di masa pemerintahan Soeharto, jangan harap RUU tentang Keuangan Negara akan dibahas. Bagaimana bisa? Wong, RUU ini akan mengatur secara rigid penerimaan dan pengeluaran negara—sesuatu yang di era itu pasti akan ditentang pihak-pihak yang leluasa menimbun harta tanpa pengawasan. RUU ini juga akan menata mekanisme hukum antara lembaga legislatif dan eksekutif, yang tidak ada pada ICW—namanya saja buatan penjajah. Turunnya Soeharto rupanya membuka jalan bagi RUU yang sudah dipersiapkan oleh 12 tim penyusun yang berbeda-beda itu. Tak tanggung-tanggung, pemerintah kini langsung mengajukan tiga rancangan sekaligus: RUU Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Meskipun kelahiran undang-undang itu sangat diharapkan, RUU yang akan diajukan pemerintah ini bukannya mulus begitu saja. Kritik berdatangan. Salah satu kritik yang banyak dimuat media massa adalah kekhawatiran adanya pemusatan kekuasaan yang terlalu besar kepada Menteri Keuangan. Muncul pula kekhawatiran terhadap wewenang rangkap yang dimiliki Menteri Keuangan: sebagai penguasa sekaligus pelaksana anggaran yang berpotensi membuat kebocoran uang negara yang lebih besar.

Pasal 6 RUU Keuangan Negara memang menyebutkan, sebagai pembantu presiden, Menteri Keuangan adalah chief financial officer yang punya kuasa mengelola anggaran pemerintah pusat, wakil pemerintah dalam rapat umum pemegang saham, serta pengawas lembaga jasa keuangan. Di samping itu, ada lagi 13 kewenangan sebagai bendahara umum negara, seperti yang tertuang dalam Pasal 2 RUU Perbendaharaan Negara.

Singkatnya, selain sebagai pengelola anggaran, Menteri Keuangan adalah bendahara umum negara dengan sederet wewenang, antara lain menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara, mengendalikan pelaksanaan anggaran, menunjuk bank pelaksana penerimaan dan pengeluaran anggaran, melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah, serta menentukan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah dalam rangka pembayaran pajak. Bisa dibayangkan, dengan kekuasaan sebagai pengelola anggaran, bendahara umum negara, sekaligus pengguna anggaran, posisi Menteri Keuangan sangat rawan korupsi.

Kekhawatiran ini memang bisa dimengerti mengingat suburnya penyimpangan dalam penggunaan anggaran negara. Ini bisa disimak dari laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selama masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang baru sekitar setahun ini, sudah terjadi 545 kasus penyimpangan. Nilai pelanggarannya mencapai Rp 16,5 triliun untuk tahun anggaran 2000.

Namun, Direktur Jenderal Anggaran, Anshari Ritonga, menepis kekhawatiran adanya pemusatan kekuasaan yang berlebihan pada Menteri Keuangan. RUU, katanya, justru berusaha menata kembali tugas-tugas pengelolaan anggaran negara, yang selama ini wewenangnya masih tumpang-tindih. Dengan penataan yang jelas, Anshari yakin, kebocoran akan bisa ditekan. Urusan moneter, misalnya, diberikan kepada Bank Indonesia, masalah administratif anggaran dipercayakan ke departemen masing-masing, dan urusan daerah diberikan ke pemimpin daerah seperti gubernur, bupati, atau wali kota. Singkatnya, RUU ini menata kembali pengelolaan keuangan negara agar tiap-tiap lembaga melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangannya.

Ekonom Sri Mulyani mengatakan, memang sangat logis kalau Menteri Keuangan mendapat kewenangan besar, selaku kuasa presiden, untuk mengelola keuangan negara. Hal yang sama berlaku di negara-negara besar. Problem di Indonesia adalah bagaimana membagi peran yang tegas antara Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Perekonomian, yang belakangan cukup membingungkan. Kewenangan teknis, kata Sri Mulyani, seharusnya ada di Menteri Keuangan karena akan bisa menjamin konsistensi kebijakan yang diambil pemerintah. Menteri Keuangan, misalnya, bisa memaksa menteri lain mengikuti kebijakan yang ada, apalagi saat kondisi keuangan negara sedang rawan.

Karena itu, kekuasaan yang besar harus diimbangi dengan pengawasan yang baik. DPR dan BPK bisa menjadi pengimbang terhadap kekuasaan rangkap Menteri Keuangan. Sebenarnya, kata Sri Mulyani, sekarang pun Menteri Keuangan sudah tidak bisa bertindak seenaknya karena sudah ada pengawasan ketat—dari pembuatan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) dan APBN, yang harus mendapat persetujuan dari DPR, hingga pelaksanaannya, yang diaudit BPK.

Kendati demikian, Sri Mulyani melihat hadirnya RUU ini nantinya tidak akan terlalu besar keefektifannya dalam menekan kebocoran uang negara meskipun ada penekanan yang kuat tentang pemeriksaan oleh BPK. Tapi ini memang bukan salah undang-undangnya. ”Kalau ingin efektif, anggota BPK harus benar-benar tidak bisa disogok,” katanya.

Kisruh soal pengelolaan keuangan negara di Indonesia tidak terlepas dari persoalan belum adanya undang-undang yang mengatur keuangan negara dari sisi politik. ICW, yang sudah berusia 134 tahun dan hanya berbicara soal administratif pengelolaan anggaran, tentu saja tidak bisa mengakomodasi perkembangan cepat manajemen keuangan negara. Alhasil, terjadi tumpang-tindih kewenangan antara lembaga/departemen, Departemen Keuangan, dan Sekretariat Negara. ICW juga tak bisa menyentuh dana-dana ”liar” (off budget) yang teronggok di berbagai departemen, meskipun belakangan disepakati untuk dikembalikan ke APBN.

Dengan adanya RUU Keuangan, pengelolaan keuangan dan aset-aset negara benar-benar terpusat di Departemen Keuangan—sesuatu yang sangat dihindari di era Orde Baru. Tanggung jawab besar pengelolaan aset negara ketika itu justru diberikan ke Sekretariat Negara (Setneg). Di bawah pimpinan seorang Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang), berbagai proyek dan kebijakan mengenai uang dan aset negara dikeluarkan dari Setneg.

RUU Keuangan Negara tentu saja akan memberikan landasan hukum yang kuat dalam pengelolaan keuangan dan aset negara. Namun, Sri Mulyani belum yakin apakah RUU ini bisa mengatasi soal anggaran Setneg yang disediakan untuk mendanai proyek-proyek yang tidak dianggarkan sebelumnya. Anggaran yang di Setneg dikenal dengan anggaran 16 dan tercantum di APBN, biasanya, digunakan untuk kunjungan presiden ke luar negeri atau daerah secara mendadak dan untuk operasi kemanusiaan. Tapi anggaran ini ternyata juga digunakan untuk membeli peralatan militer. Selain Setneg, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerap menggunakan anggaran 16 untuk proyek yang ordernya mendadak dan tidak tercantum di APBN.

Terlepas dari perdebatan itu, kehadiran tiga RUU yang akan dibahas Komisi IX DPR ini patut disyukuri karena setidaknya bisa sedikit mengurangi centang-perenang soal pengelolaan anggaran, yang selama ini belum tertata. Seperti dikatakan Anshari Ritonga, RUU tentang Keuangan Negara setidaknya akan bisa menata lalu-lintas keuangan negara, memperbaiki penyimpangan, mempertegas grey area, dan memberikan landasan hukum yang lebih kuat.

Meski demikian, Sri Mulyani melihat masih adanya beberapa hal yang perlu ditambahkan dalam rancangan itu. Misalnya pasal yang mengatur tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sebab, BPPN memegang satu elemen penting di APBN. Juga pasal yang menyebutkan bahwa dalam kondisi khusus, negara bisa menolong perusahaan swasta untuk penyelamatan ekonomi. Karena pernyataan dalam UU tersebut tidak jelas, dikhawatirkan, nantinya semua perusahaan yang kesulitan berbondong-bondong datang ke pemerintah untuk minta talangan.

Sumber penerimaan negara juga belum jelas. Memang disebutkan penerimaan negara berasal dari pajak, hibah, dan privatisasi. Tapi tak disebutkan penerimaan dari penjualan aset-aset yang dilakukan BPPN. Padahal, ini persoalan yang serius—setidaknya sampai tahun 2004—karena sebagian dana APBN berasal dari penjualan aset-aset tersebut.

Sri Mulyani juga mengusulkan agar dipersiapkan RUU yang mengatur keuangan negara yang hanya berlaku selama tiga atau empat tahun ke depan. RUU yang sekarang ini jelas hanya dikondisikan ketika keuangan negara dalam keadaan normal.

Masalah lainnya adalah soal konsistensi dengan undang-undang di bidang keuangan lainnya yang sudah lahir lebih dulu, seperti UU tentang hubungan pemerintah pusat dan daerah serta UU tentang Bank Indonesia yang sedang diamandemen.

Ketua Tim Penyusunan RUU Ketentuan Pokok Keuangan Negara, Mulia P. Nasution, mengatakan bahwa soal itu sebenarnya sudah dipikirkan. Pasal 6 RUU ini menyitir hubungan pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi juga kerap dilakukan dengan tim amandemen UU Bank Indonesia, DPR, dan pihak Bank Indonesia.

Leanika Tanjung, Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
BEBERAPA KETENTUAN YANG AKAN DIATUR
Materi yang Diatur Aturan Lama Aturan Baru
RUU Keuangan Negara sebagai payung berbagai undang-undang yang berkaitan dengan keuangan negara Belum pernah diatur dalam UU Untuk mewujudkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan negara
Hubungan Otoritas Fiskal dan Moneter Belum pernah diatur dalam UU Diatur dalam pasal 2 huruf e
Penegasan kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan umum keuangan negara Diatur dalam Indone-sische Comptabiliteits Wet (ICW) Diatur dalam pasal 6 ayat 1
Pengaturan wewenang dalam pengelolaan anggaran negara:
--Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran
--Menteri Keuangan sebagai bendahara umum negara
- Diatur dalam Regelen voor het Administratief Beheer (RAB)
- Diatur dalam ICW
- Diatur dalam pasal 6 ayat 2 huruf c
- Diatur dalam pasal 6 ayat 2 huruf a dan pasal 11 huruf d
Penegasan kedudukan gubernur bank sentral sebagai pengelola kebijakan moneter UU No.23 Tahun 1999 Diatur dalam pasal 6 ayat 2 huruf b
Penegasan asas desentralisasi UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 Diatur dalam pasal 6 ayat 2 huruf d
Penyusunan rencana strategis nasional oleh dewan perencanaan nasional Belum pernah diatur UU Diatur dalam pasal 7
Wewenang Menteri Keuangan sebagai bendahara umum negara Belum pernah diatur Diatur dalam pasal 2 RUU Perbendaharaan Negara