Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendirian Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) tak lepas dari ambisi Presiden Soeharto. Sang jenderal besar ingin membangun sebuah kompleks industri petrokimia yang memproduksi aromatik dan olefin terpadu di Indonesia. Pada Oktober 1995, dirancanglah kilang yang akan menghasilkan 3,4 metrik ton aromatik dan olefin per tahun di Tanjung Awar-awar, Tuban, Jawa Timur. Nilai proyeknya US$ 2,3 miliar (sekitar Rp 6 triliun dengan kurs saat itu).
Pembangunan pabrik aromatik sudah berjalan pada 1997, tapi tahun berikutnya mandek terserang krisis moneter. ”Saat itu proyek telah berjalan 64 persen dengan biaya sekitar US$ 450 juta,” kata Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries Amir Sambodo kepada Tempo pekan lalu. Tuban Petrochemical adalah pemegang saham mayoritas Trans Pacific Petrochemical saat ini.
Awalnya, saham Trans Pacific Petrochemical dikuasai PT Tirtamas Majutama. Perusahaan milik Hashim Djojohadikusumo ini menguasai 50 persen saham. Lalu Honggo Wendratno memiliki 25 persen dan Njoo Kok Kiong alias Al Njoo 25 persen.
Susunan pemilik berubah gara-gara krisis. Trans Pacific Petrochemical terpaksa masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada medio 2000-an. Amir mengatakan, setelah melalui proses restrukturisasi di BPPN, kepemilikan Trans Pacific Petrochemical berubah lagi. Tuban Petrochemical Industries memiliki 59,5 persen, PT Pertamina 15 persen, Siam Cement 20,4 persen, Itochu Corp 0,85 persen, dan Sojitz Corp 4,25 persen.
Mayoritas saham Tuban Petrochemical sebesar 70 persen dimiliki pemerintah melalui BPPN. Sisanya, 30 persen, dikuasai PT Silakencana Tirtalestari (Honggo Group). Honggo adalah satu-satunya pengusaha lokal yang dilibatkan pemerintah di proyek Tuban. Tuban Petrochemical dibentuk sebagai bagian dari proses penyelesaian utang (pokok dan bunga) Grup Tirtamas di BPPN senilai Rp 6 triliun yang harus disetor kepada pemerintah.
Tuban Petrochemical membayar kewajiban Tirtamas kepada pemerintah dengan menerbitkan surat utang: multi-year bond (tenor hingga 2014) dan mandatory convertible bond senilai Rp 3,266 triliun. Sebagai imbalannya, Grup Tirtamas mengalihkan empat aset petrokimia, yakni Trans Pacific Petrochemical, PT Pacific Fibretama, PT Polytama Propindo, dan PT Petro-Oxo Nusantara, kepada pemerintah sekarang dikelola PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Sumber Tempo mengatakan investasi yang telah dikeluarkan US$ 600 juta untuk kilang aromatik dan proyek olefin senilai US$ 290 juta. Sehingga, ketika proyek ngadat, utang yang ditanggung Trans Pacific Petrochemical kepada kontraktor JGC dan kontraktor lain mencapai US$ 350 juta (kilang aromatik), serta US$ 120 juta (kilang olefin) kepada kontraktor Stone and Webster.
Pada 2001, proyek aromatik Trans Pacific Petrochemical dilanjutkan, sedangkan kilang olefin disetop. Kebutuhan dana untuk merampungkan pabrik mencapai US$ 400 juta, plus modal kerja US$ 75 juta. Trans Pacific Petrochemical mendapatkan pinjaman dari sindikasi bank komersial Jepang, JBIC dan NEXI, senilai US$ 400 juta.
Namun kreditor meminta jaminan. Pemerintah lalu mengeluarkan surat jaminan dengan meminta Pertamina berpartisipasi melalui konsep pertukaran produk. Pertamina memasok bahan baku low sulfur wax residue (LSWR) ke Mitsui, maksimal enam tahun.
Dengan mekanisme itu, LSWR yang dikirimkan Pertamina menghasilkan US$ 50 juta per enam bulan, atau US$ 600 juta selama enam tahun. Dana itu digunakan untuk melunasi kewajiban Trans Pacific Petrochemical kepada perbankan Jepang. Sebagai kompensasi, Pertamina mendapatkan produk middle distillate dari kilang Tuban (solar dan minyak tanah), plus saham 15 persen di Trans Pacific Petrochemical.
Perusahaan minyak dan gas negara itu juga diberi hak tanggungan pertama, dengan ditetapkan sebagai kreditor senior Trans Pacific Petrochemical. Artinya, sebagai debitor utama Pertamina, bila Trans Pacific Petrochemical bangkrut dan seluruh asetnya dilego, dananya akan dipakai untuk melunasi utang ke perusahaan minyak pelat merah ini terlebih dulu. Bila ada sisa, baru dipakai untuk membayar utang kreditor lain.
Retno Sulistyowati, Dina Andriani (PDAT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo