Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ya saham, ya deregulasi

27 konglomerat akan menjual 1% saham mereka kepada 150 koperasi. dijalin kerja sama dalam pendidikan manajemen dan pemasaran produk. ada kriteria sehat sebuah koperasi.koperasi perlu status badan hukum.

21 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERATAAN. Kata itu bisa berarti pemerataan kesempatan, pendapatan, kekayaan, dan segebung lainnya. Begitu pula nasib kata "pemerataan ekonomi" yang berulang-ulang didengungkan Presiden Soeharto. Ketika kata itu diucapkan dalam acara mengantar Nota Keuangan 1990-91 di DPR, masih banyak pelaku ekonomi yang bertanya-tanya, apa yang dimaksud Presiden dengan kata yang satu itu. Pertanyaan itu akhirnya terjawab, ketika 27 konglomerat diundang ke Tapos, Bogor. Di situ terungkap bahwa Pemerintah menginginkan agar swasta mau berbagi sahamnya dengan koperasi. Selesai? Belum. "Karena tak ada guideline, kami jadi membuat penafsiran sendiri-sendiri," kata Sofjan Wanandi, salah seorang konglomerat yang menjadi Jubir Kelompok 27. Mungkin karena itu pula, tidak sedikit konglomerat yang cuma mau menjual sahamnya kepada koperasi karyawan di perusahaan masing-masing. Menyimak gelagat sedemikian itu, Pak Harto lalu angkat bicara lagi. "Pemberian kesempatan memiliki saham perusahaan hendaknya tidak terbatas hanya kepada koperasi karyawan dari perusahaan yang bersangkutan," kata Presiden dalam acara peringatan HUT ke-43 Koperasi di Tasikmalaya, Rabu pekan lalu. Artinya, saham juga harus dialirkan kepada koperasi-koperasi seperti KUD, koperasi primer yang berada di sekitar lokasi perusahaan, dan koperasi yang memiliki keterkaitan usaha. Contoh paling tepat, barangkali, bisa dilihat pada pembagian saham yang dilakukan PT Teh Nusamba -- yang telah menjual 383 ribu lembar sahamnya kepada 29 KUD, dengan harga nominal Rp 1.000 per lembar. Setelah terantuk-antuk merancang penjualan sahamnya, maka kelompok Tapos -- yang juga menamakan dirinya sebagai Yayasan Prasetiya Mulya -- akhirnya mengikuti jejak PT Teh Nusamba. Pada 25 Juli nanti, 27 perusahaan tersebut akan menjual 1% saham mereka kepada 150 koperasi, dengan nilai Rp 29,3 milyar. "Ini merupakan social cost bagi kami," kata Sofjan. Tidak jelas benar, apa yang dimaksudkannya sebagai social cost itu. Yang pasti, untuk memenuhi imbauan Pak Harto -- yang menyarankan agar 25% saham konglomerat dimiliki oleh koperasi -- bukanlah hal yang mudah. Seperti dikemukakan Sofjan, pihaknya baru akan mengadakan evaluasi lima tahun kemudian, di saat koperasi telah melakukan pencicilan utang sahamnya. "Jadi, kami belum akan bicara soal penambahan persentase," katanya. Kenapa begitu sulit? Ternyata, selain harga saham, ikut dipertimbangkan keterkaitan usaha antara koperasi dan konglomerat. Misalnya saja, kata Sofjan, perusahaan akan memberikan pendidikan manajemen, memasok bahan baku dan modal, membantu memasarkan produk koperasi, dan mendirikan bank-bank perkreditan rakyat untuk KUD. Dan ini bukan sekadar ide. PT Metrodata Epsindo, yang dipimpin oleh Ir. Ciputra, sudah memulainya. Pekan lalu, Epsindo menjalin kerja sama dengan Koperasi Mahasiswa Unibraw Malang, untuk mendidik tenaga-tenaga koperasi, agar lebih profesional. Pendidikan cuma-cuma ini juga akan diberikan kepada 1.000 pengurus koperasi lainnya. "Kami berharap, mereka -- koperasi mahasiswa, maksudnya -- bisa menjadi agen komputer yang kami pasarkan," kata Ciputra. Pendapat serupa dikemukakan Mochtar Riady. Katanya, harus ada kesamaan bahasa antara konglomerat dan koperasi. "Kami pun akan mendahulukan koperasi-koperasi yang memiliki sense of business. Kalau tidak, ya susah," kata Mochtar. Bicara koperasi dengan naluri bisnis, barangkali bos Lippobank itu bisa melirik kepada 500 KUD Mandiri, 2.500 KUD calon mandiri, dan sekitar 2.700 koperasi fungsional lainnya -- seperti koperasi ABRI, koperasi karyawan, dan koperasi pegawai negeri -- yang siap dan layak, menerima limpahan saham konglomerat. Koperasi model apakah itu? Ada 13 kriteria, yang telah ditetapkan Depkop untuk menentukan sehatnya sebuah koperasi. Misalnya saja, selain memiliki tingkat likuiditas dan solvabilitas yang tinggi, hasil audit laporan keuangan koperasi yang bersangkutan harus unqualified opinion, alias layak tanpa catatan. Dan koperasi yang memperoleh gelar itu sudah cukup banyak. "Dengan segala keterbatasannya, mereka sudah memiliki kepekaan bisnis dan efisiensi," kata Sri Edi Swasono, Ketua Dewan Koperasi Indonesia. "Pihak konglomerat tak perlu khawatir lagi dengan profesionalisme calon mitra usaha mereka," katanya selanjutnya. Apalagi Pemerintah sedang menggodok sebuah paket deregulasi yang menurut Sri Edi memungkinkan ruang gerak yang lebih luas bagi koperasi, misalnya agar pelaku ekonomi terlemah ini bisa memperoleh kredit secara lebih mudah. Dekopin juga akan mengusahakan status badan hukum untuk koperasi. Maklum, dengan adanya Inpres No. 4/1984, sampai saat ini masih banyak koperasi yang tak berbadan hukum. Anehnya, salah satu dari ketentuan Inpres itu menyebutkan bahwa hanya KUD-lah satu-satunya koperasi yang boleh hadir di pedesaan. Akibatnya, dari 1.400 koperasi kredit yang ada kini, baru sekitar 100 yang berstatus badan hukum. Perkara status ini sangat menyulitkan koperasi, bila mau berurusan dengan bank, khususnya soal kredit. "Jelas, untuk kemajuan koperasi, diperlukan deregulasi," kata Sri Edi. Sungguh layak kiranya bila Dekopin menuntut sebuah paket deregulasi buat koperasi, seperti yang sudah diperoleh swasta selama ini, baik dalam bentuk fasilitas maupun proteksi. Apakah Pemerintah akan menerima usulan Dekopin? Di sini kelak, akan teruji sampai di mana kematangan strategi yang menyangkut koperasi. Yang jelas, koperasi masih terus dikaitkan dengan swasta, padahal masih ada BUMN, yang juga menikmati fasilitas dan proteksi. Asetnya pun besar: sekitar Rp 140 trilyun, dua kali lipat aset swasta. Beberapa BUMN memang sudah bertindak sebagai bapak angkat bagi banyak pengusaha kecil dan perajin. Barangkali kelak, sejumlah BUMN juga akan membagi sahamnya kepada koperasi, seperti yang pernah dijanjikan Dirut Pertamina, Faisal Abda'oe. Budi Kusumah, Linda Djalil, dan Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus