Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Kapal-Kapal Ditangkap

Penangkapan tujuh kapal tak membuat kapok pencuri pasir laut. Sudah saatnya tak memberi ampun mereka.

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MV Hika Rigo, kapal keruk berbendera Singapura, belum meninggalkan perairan Tanjung Berakit, Tanjung Pinang, Riau, ketika disanggong kapal patroli Angkatan Laut KRI Barakuda. Nah, ketahuan. Ternyata kapal tersebut tidak memiliki dokumen lengkap untuk mengeruk pasir, sehingga bisa diduga telah melakukan pencurian. Tindakan MV Hika Rigo Senin pekan lalu itu terbilang nekat. Pasalnya, sebulan sebelumnya sudah ada tujuh kapal pencuri yang ditangkap dan sampai saat ini belum dilepaskan oleh Tim Pengawas, Pengendalian, dan Penertiban Ekspor Pasir Laut. Lima kapal terpaksa menambatkan jangkar di Pelabuhan Tanjung Uban, dua yang lain nongkrong di Tanjung Balai, Karimun. Langkah tegas Angkatan Laut belakangan ini memang boleh dipuji. Apalagi selama ini kapal-kapal itu seperti tak tersentuh hukum—saat menggangsir isi samudra yang digunakan untuk reklamasi pantai negara jiran Singapura. Hasilnya, baik pasir legal maupun yang "spanyol" (curian) telah memperluas wilayah Negeri Singa lebih dari 120 kilometer persegi. Keberanian para pencuri itu tentu saja ada dasarnya. "Selama ini toh mereka menganggap Indonesia negeri tak bertuan," ujar Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan. Hukum bisa diperdagangkan, kapal ditangkap tapi setelah itu dilepas—seperti terjadi pada kapal Queen of Nederland dan Qeopotek yang berbendera Belanda. Ketujuh kapal yang ditangkap itu adalah Vasco da Gama, Profesor Gorjunof, Samsung Apollo, Lange Wafer, Alexander Von Humbold, TB Jasmine, dan TB Olivia. Mereka digaruk lantaran, menurut Komandan Pangkalan Laut Tanjung Balai Karimun, Letnan Kolonel Ludin J.P.S., "Nakhoda kapal tidak dapat memperlihatkan dokumen asli." Juga kapal-kapal tersebut tidak mengantongi surat persetujuan ekspor pasir laut yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat—di samping mereka juga bakal kena jerat undang-undang pertambangan, lingkungan, pelayaran, keimigrasian, dan lain-lain. Siapa sebenarnya orang kuat di belakang layar kapal nekat tersebut? Dalam operasinya, kapal-kapal itu disewa atau diageni perusahaan lokal PT Equator Reka Citra, milik pemain lama dalam bisnis "jual tanah air" (atau pasir dan air) Jhony Rosadi, yang bergandengan tangan dengan sohib Tommy Soeharto, Ricardo Gelael. Pemain lainnya adalah PT Pola Kendali Karimun. Tapi baik Jhony maupun Ricardo tak dapat dikontak. Dari kantor pusatnya di Jalan Birah, Kebayoran Baru, seorang staf mengatakan bosnya sedang berada di Bandung. Nama besar lain yang disebut-sebut adalah mantan bankir Dicky Iskandar Dinata dan Setiawan Djody. Namun bos Kelompok Sedco itu membantah terlibat bisnis yang bernilai triliunan rupiah itu. "Saya malah usul ke Menteri Kelautan, dilelang saja kapal itu, saya mau beli," kata pengusaha yang juga seniman itu. Salah satu pemegang kendali Equator di Batam, Rico Riswanda, menepis anggapan pihaknya tidak membekali kapalnya dengan dokumen penting. Kepada TEMPO Rico mengatakan, "Mana mungkin kami melakukan penambangan tanpa dokumen lengkap?" Nasib ketujuh kapal itu sendiri sudah diputuskan: tidak akan dilepas. Dan keputusan itu sudah diketuk 22 Agustus lalu oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai ketua tim pengawas tadi. Proses hukum pun jalan: Rabu pekan lalu berkas perkara ketujuh kapal itu sudah sampai ke tangan jaksa di Batam dan Tanjung Pinang. Namun putusan yang terkesan galak itu masih memiliki kelemahan, yaitu soal opsi pinjam pakai. Disebutkan, kapal boleh keluar asalkan pemiliknya menyetor sejumlah uang yang besarnya 50 persen dari harga kapal dan jumlah pasir yang dicuri. Hanya, mereka tidak boleh keluar dari wilayah Republik Indonesia lantaran harus kembali ke kolam pelabuhan saat pengadilan berlangsung. Bukankah sudah ada preseden buruk dari kasus kapal MV Amsterdam Zeist, yang lari duluan sebelum putusan pengadilan mengetukkan palu bersalah? Apalagi kalau sudah keluar dari pelabuhan, jarak ke Singapura hanya sejengkal. Hal senada dikatakan oleh pakar hukum laut Dr. Chandra Motik Yusuf Djemat. "Walaupun sudah ada yang ditangkap, toh masih ada yang berani mencuri. Ini bukti mereka tak jera. Seharusnya kapal itu dibawa ke Jakarta saja," katanya. Chandra juga mengkhawatirkan sistem peradilan yang belum bebas dari "permainan". Juga penggunaan pasal-pasal yang didakwakan. Jika hanya digunakan pasal pelayaran dan keimigrasian, hukuman kurungan paling lama hanya satu tahun dan denda hanya ratusan juta rupiah. Jika itu terjadi, sama juga bo'ong: pencuri terus juga beroperasi. Edy Budiyarso, Rumbadi Dalle (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus