Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang terlepas dari resesi

Untuk pertama kali dalam lima tahun, ekonomi AS tampak bagus, malah diramalkan mantap sepanjang tahun ini.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA berita bagus dari Washington. Departemen Perdagangan AS melaporkan, ekonomi negara yang menjadi pasar terbesar di dunia ini meningkat dengan laju 2,9% pada triwulan terakhir tahun lalu. Berarti lebih tinggi dari laju pertumbuhan periode yang sama tahun sebelumnya yang 2,6%. Lebih penting adalah dengan Produk Domestik Bruto (PDB) setinggi 5,9%, maka masa resesi di AS -- yang ditandai oleh pertumbuhan negatif 1989-1991 -- sudah berakhir. "Ini berarti kabar baik sekali," kata Dubes Arifin Siregar kepada TEMPO. Tumbuhnya ekonomi AS diharapkan bisa mendongkrak ekspor Indonesia ke negeri itu. Ekspor nonmigas Indonesia ke Amerika Utara untuk Januari-Juli 1993 memang meningkat 24% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang bernilai 4,4 miliar dolar AS. Dibandingkan dengan peningkatan ekspor nonmigas -- pada periode yang sama - ke Timur Tengah (48%), negara-negara nonblok (35%), maupun anggota Organisasi Konferensi Islam (49%), pertumbuhan ini kelihatannya relatif rendah. "Tapi kalau dilihat nilainya, pertambahan ekspor di negara-negara itu relatif kecil," kata Arifin Siregar. Lagi pula, belum diketahui berapa besar peningkatan ekspor Indonesia ke AS tahun 1993. "Datanya belum selesai disusun," kata mantan Menteri Perdagangan itu. Namun, ia optimistis angkanya di atas 25%. Sementara itu, banyak indikasi ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang bagus itu akan berlanjut. Masalahnya, kebijakan makro-ekonomi AS tampak sehat: suku bunga rendah (3%), inflasi rendah (2,7%), defisit turun 40%, dan perbaikan efisiensi di beberapa sektor tertentu. "Yang paling penting, indeks keyakinan konsumen sangat baik," kata Arifin Siregar. Menurut pantauan Universitas Michigan, indeks keyakinan konsumen ini meningkat dari 88,2% pada Desember tahun lalu menjadi 94,3% bulan berikutnya. Tingginya keyakinan konsumen pada ekonomi menyebabkan mereka lebih mudah membuka tabungan. Pada kuartal terakhir tahun lalu, pembelian rumah meningkat 31,7% yang diikuti peningkatan pembelian mobil dan meubel sebesar 14,4%. Di sektor bisnis, yang tahun lalu masih dipenuhi berita PHK serta downsizing atau rightsizing, harapan akan cerahnya masa depan mulai menular. Terbukti pada periode yang sama, investasi di beberapa bidang usaha juga meningkat. Tak aneh bila angka pengangguran menciut. "Tingkat pengangguran menurun hampir 1% dibandingkan dengan tahun lalu," kata Allan Greenspan. Ketua Bank Sentral AS (Federal Reserve) ini malah mulai khawatir, jangan-jangan laju pertumbuhan akan segera memacu tingkat inflasi. Walhasil, Kamis pekan lalu badan yang independen ini menaikkan suku bunga pinjaman sebesar 0,375%. "Ini dilakukan secara dini karena ada lag antara kenaikan suku bunga dan dampaknya terhadap inflasi," kata Arifin Siregar, yang rajin memantau ekonomi AS ini. "Menurut Milton Friedman, lag ini sekitar setahun," lanjutnya lagi. Allan Greenspan memang sangat ketat mengendalikan laju inflasi. "Pengalaman selama dua puluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa tingkat inflasi rendah justru berdampak meningkatkan efisiensi ekonomi," kata ekonom yang sangat dihormati di AS itu. Dan efisiensi ekonomi memang menjadi sangat penting di zaman ekonomi global seperti sekarang. Peningkatan keyakinan indeks konsumen dapat berarti juga peningkatan pembelanjaan impor. "Bila ini tak diiringi dengan peningkatan ekspor, defisit perdagangan AS malah bisa bertambah," kata Arifin Siregar. Sementara itu, pasar Eropa dan Jepang tampaknya masih lesu dilanda resesi. "Selain kawasan Asia, hanya ekonomi Kanada dan Inggris yang menunjukkan tanda-tanda positif," kata Allan Greenspan kepada Kongres AS. Biasanya, negara yang sedang resesi semakin cenderung membangun benteng proteksi, yang antara lain akan menghambat ekspor AS. Itu sebabnya para pengambil kebijakan di AS segera menyusun strategi peningkatan ekspor yang disebut "Strategi Ekspor Nasional". Strategi ini mempunyai dua pendekatan. Mendobrak benteng proteksi dan memperluas pasar ekspor ke kawasan nontradisional. Indonesia termasuk dalam 10 negara yang dianggap sebagai "pasar besar yang sedang tumbuh" (big emerging market). Tapi sementara ini, di luar sektor migas, Indonesia memang belum banyak dilirik pemodal AS. Di forum multilateral, AS menekankan agar perdagangan bebas tak hanya berlaku bagi sektor barang seperti diatur oleh GATT, melainkan juga di sektor jasa. Menteri Keuangan AS, Loyd Bentsen, selalu mengingatkan perlunya perdagangan bebas di sektor jasa ini. "Kami tak dapat menerima negara-negara lain mendiskriminasikan perusahaan kami, sementara mereka masuk ke pasar kami," katanya. Di Indonesia, upaya membuka pasar sektor jasa ini mendapat sokongan Bank Dunia yang antara lain berpendapat bahwa Indonesia sebaiknya segera membuka pasarnya terhadap jasa akuntan dunia jika ingin pasar modalnya berjalan baik. Khusus mengenai sektor jasa, imbauan Bank Dunia agar Indonesia membuka diri bagi tenaga asing justru ditampung oleh para arsitek Indonesia. Adalah kalangan arsitek yang menyerukan kepada Pemerintah agar mencabut larangan terhadap arsitek asing. Sementara itu, di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), kini ada sekitar 400 warga AS dan Eropa yang bekerja, sekaligus menularkan ilmunya ke rekan-rekan Indonesianya. Barangkali saja dengan PDB negeri Paman Sam yang semakin membaik itu, maka gelombang ekonomi global -- dalam sektor barang maupun jasa -- akan mengantarkan dampaknya yang positif ke negeri ini. Bahwa ekonomi AS akan semakin membaik sepanjang tahun ini tampaknya tak diragukan lagi. "Kami memperkirakan bisnis akan tetap marak selama enam sampai delapan bulan ke depan," kata Patrick Parker, seperti yang dikutip oleh harian The Asian Wall Street Journal, akhir Januari lalu. Pengusaha yang memasok suku cadang ke perusahaan sektor industri ini tidak sendiri. David Freeman, pimpinan Loctite Corp. di Hartford, Connecticut, AS, juga sangat optimistis. "Ekonomi AS tampak sedikit lebih bisa diramalkan dan lebih mantap," ujarnya cerah. Apakah kecerahan itu berarti pintu yang terbuka lebih besar bagi barang-barang ekspor dari Indonesia, itulah yang belum bisa dipastikan. GSP kabarnya akan diperpanjang -- mungkin tak jadi dicabut -- dan jurus-jurus proteksi, misalnya terhadap garmen, belum terulang lagi. Kini terpulang pada para pengusaha Indonesia untuk memetik lebih banyak manfaat dari ekonomi Paman Sam, yang untuk pertama kali tampak berseri-seri sejak kelesuan yang mencengkeramnya sepanjang lima tahun silam.Bambang Harymurti (Washington, D.C.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum