Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Yankee di Belantara Frekuensi

Satelit komunikasi Oscar, organisasi amatir radio AS dan Australia harus dimatikan setiap kali melintas di Indonesia. Banyak keluhan karena gangguan gelombang radio. (md)

11 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI menara pengawas bandar udara Polonia Medan, tiba-tiba terdengar suara dua anak muda berseloroh. Rupanya, pesawat radio menara lapangan terbang itu disusupi frekuensi amatir radio. Dan ini membuat jengkel Zulkifli, petugas menara kontrol itu. Soalnya, ini bukanlah gangguan yang pertama kalinya. Indonesia, kata orang, sudah jadi belantara gelombang radio yang merisaukan duma internasional. "Apakah pemerintah Anda tak punya wibawa buat menertibkan frekuensi radio?" tukas seorang peserta konperensi Seanet (South East Asia Net) di Bangkok, tahun lalu, seperti dituturkan ketua harian Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) Ja-Bar, Abdul Mocis Tjondro. Orang di luar negeri, kata Mocis, menganggap Indonesia ini sebagai hutan rimba: tak ada pengaturan frekuensi. Keluhan ini bukan barang baru. Tahun 1982, organisasi amatir radio Jerman Barat melayangkan surat tudingan: amatlr radlo Indonesia bertindak seperti staslun pembajak. Bulan lalu terdengar pula keluhan lain. Satelit komunikasi Oscar, yang dipakai organisasi amatir radio Amerika Serikat dan Australia, harus dimatikan sekitar 12 menit setiap kali melintas di atas Indonesia. Pasalnya? Para pengendali satelit itu cemas, Oscar bisa rusak atau terbakar "dihantam" pemancar gelombang dua meter yang jumlahnya ribuan di Indonesia. Padahal, Oscar 9, 10 dan 11 harus melintasi Indonesia sekali dalam dua atau tiga jam. Dari dalam negeri sendiri, kegelisahan oleh gangguan gelombang radio ini sudah lama terdengar. Ketua I Orari, Muhartono, mengakui bahwa instansi penerbangan, kepolisian, dan beberapa departemen yang mcmiliki radio untuk telekomunikasi memang gusar karenanya. Yang menjadi pokok masalah adalah rendahnya disiplin amatir radio dan terbatasnya kemampuan untuk pengawasan. Padahal "Di Indonesia kini jumlah amatir radio sudah mencapai 40.000," kata Muhartono. Tak ada jaminan bahwa puluhan ribu anggota itu taat pada aturan dan etik yang dikenal dunia internasional selama ini. Tiga anggota Orari Ja-Bar, misalnya, pernah melanggar ketentuan batas frekuensi. Inilah, antara lain, yang mengundang tudingan dari Jerman Barat itu. Tapi tak ada sanksi tegas yang dijatuhkan kepada si pelanggar. Dua di antara tiga pelanggar tersebut di atas berasal dari tingkat YD (Yankee Delta) alias tingkat siaga. Batas maksimum pemancar YD hanya 10 watt, YC (Yankee Charlie) atau penggalang 75 watt, dan YB (Yankee Bravo) atau penegak 500 watt. Mungkin mercka telah menambah kekuatan pemancarnya seperti yang sering dilakukan para pelanggar lain selama ini. Dengan memberi kekuatan 500 watt, pemancar YD, baik gclombang 80 meter (frekuensi 3,500-3,900 MHz) maupun gelombang dua meter (frekuensi 144,000- 148,000 MHz) dapat mencapai Jerman Barat. Ia pun dapat mengganggu satelit, seperti Oscar yang bekerja pada frekuensi 145,800-146,000 MHz dan 435,000-438,000 MHz. Persoalan makin tidak mudah, karena di Indonesia kini dengan gampang dapat dibeli pesawat H (High Frequency) - kebanyakan produksi Jepang - yang dijual bebas. Apalagi, kemampuan mengutak-ngatik pesawat ini sekarang tergolong "maju". Pemancar yang seharusnya bekerja pada frekuensi 144,000-148,000 MHz (megahertz), dapat diperluas jangkauannya oleh pemiliknya menjadi 130,000-150000 MHz. Inilah sebetulnya yang membuat kekacauan frekuensi radio itu kian rawan saja. Walaupun fox hunting - menangkap gelombang gelap - sudah dilakukan Orari, cara kerjanya masih darurat dan sederhana. "Kami tak punya uang buat membeli detektor yang kini harganya ada yang sudah mencapai US$ 10.000," kata Dimardi Abas dari Orari Sum-Ut. Alasan seperti itu juga dikemukakan Orari Yogyakarta dan Ja-Tim. Indonesia memang belum seperti AS, yang organisasi amatir radionya didukung kemampuan finansial yang tinggi dan disiplin para anggota yang bak, kata Saryanto Sarbini, anggota Orari Daerah Jakarta (ODJ). Belantara frekuensi ini kian kelam, setelah radio gelap pun "berseliweran" di udara. Di samping 8.000 anggota Orari, di Jakarta kirii diperkirakan ada 5.000 radio tanpa IAR (Izin Amatir Radio). Di Sum-Ut dan Aceh konon, ada pula 20 (di samping 1.800 anota Orari), dan di DIY 700 radio. Jumlah radio gelap jadi meningkat karena tingginya minat untuk "bermain" dengan alat ini, sementara syarat untuk jadi anggota Orari bukanlah mudah. Ketika di Jakarta dilakukan tes tertulis bagi calon anggota - oleh Orari dan Ditjen Postel tercatat 3.794 peserta. Ujiannya menyangkut materi P4, pengetahuan teknis radio, segenap peraturan (perundang-undangan nasional serta Radio Regulations Geneva 1979) dan - ini yang tersulit penguasaan kode Morse. Tingkat YD harus mampu mengirim dan menerima lima kata dalam kode morse per menit. Delapan kata untuk YC, 12 kata buat YB. Dalam suatu tes di Medan, misalnya, dari 1.300 calon, cuma 420 orang yang lulus. Yang tak lulus ini, konon, kemudian lebih suka "bekerja di udara" secara gelap. Tapi tampaknya pelanggaran bukan hanya monopoli mereka sendiri. Pemegang IAR pun ada yang bandel: melanggar batas frekuensi dan kekuatan pemancar. Menurut Moeis Tjondro, "Yang bukan amatir radio, dan menggunakan kekuatan 500 watt, umumnya orang kaya, dan ada pula oknum pembesar." Mungkin karena itu dia menyarankan agar sanksi hukum buat pelanggaran dalam amatir radio ini betul-betul diterapkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus