FLOSINT, obat rematik berupa tablet 200 mg dan obat injeksi 200 mg, dinyatakan ditarik dari peredaran. Carlo Erba Farmatalia Indonesia yang memproduksikan obat itu menyatakan, tercatat sampai 31 Juli pekan lalu, 90% dari obat yang beredar sudah berhasil ditarik. Kerja yang cukup cepat, mengingat surat edaran penankan - berdasarkan izin POM No. 5050/AA/V/84 - baru dilepas 14 Juli. Pengambil inisiatif adalah produsennya sendiri, Carlo Erba, berdasarkan teleks yang dikirim badan penawas obat Italia, yan menyatakan bahwa flosint mempunyaiefek samping yang berbahaya. Bahaya itu terungkap ketika sebuah perusahaan penelitian Amerika Serikat membuat riset terhadap flosint untuk kepentingan pemasaran di Amerika Serikat. Ditemukan adanya bukti tumor pada saluran pencernaan hewan percobaan tikus besar dalam penelitian karsinogenik (zat-zat yang menimbulkan kanker). Mengapa sampai bisa beredar sebelumnya? "Hasil penelitian yang terdahulu sangat berbeda dengan penelitian yang terakhir," kata dr. M. Manzo, manajer pemasaran Carlo Erba. Penelitian karsinoenik yang serupa terhadap tikus kecil (bukan tikus besar seperti penelitian di AS itu), menurut manajer itu, tak menunjukkan gejala tumor. "Tapi, kita tidak perlu bersikeras," katanya lagi, "sebuah penelitian memang bisa rnenggugurkan penelitian yang lain." Namun, menurut Manzo, yang sudah bertugas empat tahun di Indonesia, hasil-hasil penelitian masih merupakan pendahuluan, karena hasil penelitian pada hewan tidak begitu saja dapat diterapkan pada manusia. Hasil penelitian yang lebih terperinci masih ditunggu datangnya dari Amerika Serikat.' Bai Carlo Erba sendiri, setelah 27 tahun bercokol di Indonesia, baru sekali ini terpaksa menarik hasil produksinya dari peredaran karena pertimbangan membahayakan konsumen. Padahal, obat itu saat ini termasuk laku untuk penyakit rematik. Dalam waktu singkat - sekitar dua tahun - flosint mencapai posisi unggul di pasar. Menduduki peringkat ke-4 dari 25 jenis obat rematik yang dihasllkan berbagai perusahaan, atau 7% omset total obat rematik yang Rp 500 juta per tahun. Di Carlo Erba sendiri, penjualan flosint terhitung 5% dari total penghasilan perusahaan. Tidak aneh, dalam sebuah wawancara dengan TEMPO, ahli farmakologi Prof. Iwan Darmansyah menyebutkan flosint sebagai drug of the year karena kemampuannya merebut pasaran. Karena itu, Iwan mengagumi kerelaan Carlo Erba. "Saya angkat jempol ujarnyaFlosint, tanpa efek samping yang ditemukan belakangan, memang dianggap unggul dibandingkan beberapa jenis obat rematik lain. Berdasarkan penelitian dr. Remy Nasution dan dr. Adnan H.M., yang dibacakan pada Seminar Rematologi di Semarang beberapa waktu Ialu, flosint dlsebutkan punya keunggulan dalam aktivitas. Misalnya, dibandingkan dengan ketoprofen: aktivitas flosint tercatat 70'1o, sedangkan ketoprofen hanya 30%. Meskipun begitu, tidak semua dokter memberikan rekomendasi pada flosint. Sebuah diskusi panel dengan judul "Rematik Ekstraartikuler" di Bandung, 29 Juli pekan lalu, menyimpulkan bahwa sebagian besar obat rematikanya menyembunyikan rasa sakit pada tulang, tetapi tidak menyembuhkan. Diskusi itu juga mengungkapkan, sejumlah obat rematik mempunyai efek samping pada lambung - di antaranya flosint. Flosint, misalnya, dilaporkan menimbulkan iritasi pada lambung. Rangsangan pada lambung yang mengandung sisa makanan, kuman, dan virus itulah yang menyebabkan pertumbuhan abnormal (tumor). Produsen sendiri agaknya sudah memperkirakan hal itu. Karena itu, flosint disarankan diberikan setelah makan. Seorang ahli bedah di bandung yang mengkhususkan diri pada tulang, dr. H. Nagar Rasjid, tampaknya sudah lama mencurigai flosint. "Banyak dokter sudah tidak menggunakannya lagi," ujarnya. Ahli bedah itu sepakat dengan kesimpulan diskusi di Bandung itu, bahwa sejumlah obat rematik menimbulkan kerusakan lambung. Tapi, lebih khusus. ia menvebutkan bahwa obat rematik sejenis flosint bisa menghentikan pertumbuhan anak-anak. "Karena itu, dokter biasanya memberikan hanya untuk orang dewasa," kata Nagar, "itu pun dalam dosis yang rendah. Mengapa kecurigaan-kecurigaan itu tak dipersoalkan sejak dini? Seorang dokter, pada diskusi di Bandung itu, mengungkapkan bahwa Indonesia belum memiliki fasilitas untuk mengetes obat-obat yang akan masuk pasar. Sementara ini, Indonesia hanya memanfaatkan hasil tes di luar negeri. Padahal, hasil tes di beberapa negara bisa berbeda. Suatu hasil tes yang memberikan rekomendasi pada suatu obat - yang digunakan industri farmasi untuk memasarkan obat di Indonesia ternyata bisa tidak valid di negara lain. Obat yang lolos ternyata berbahaya. Dokter E.C. Huskisson, penceramah tamu dari Inggris pada diskusi di Bandung itu, punya jawaban singkat tentang flosint. "Kami sudah lama menolaknya, karena punya efek samping," ujarnya. Toh, "pemburu" flosint agaknya masih banyak di Indonesia. Konsumen - barangkali atas saran dokter - masih mencari obat itu. "Sampai kini, masih bermeter-meter teleks menanyakan flosint yang hilang dari peredaran," kata drg. Z. Sjarief, manajer penjualan Carlo Erba. Tak sampai dijelaskan apa karena kelatahan konsumen, atau pengumuman Carlo Erba kurang santer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini