Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejadian itu sudah lama berlalu, sekitar 20 tahun lalu. Namun G.M. Sudarta, karikatur harian Kompas yang terkenal dengan karya Oom Pasikom, tak bisa melupakannya. Selain merupakan hal yang luar biasa, bagi Sudarta, pengalaman itu tetap tak terjelaskan hingga sekarang. ”Saya melihat tubuh saya sendiri tergeletak,” katanya.
Menurut Sudarta, semuanya bermula ketika dia ditabrak mobil saat berjalan di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Kakinya dibalut gips karena mengalami patah tulang. Dia masih bisa berjalan, meskipun dengan sangat kesulitan.
Suatu malam, Sudarta merasa haus. Maka dia pun berusaha bangun. ”Lalu saya mendengar suara gludug… dan saya melihat kepala saya sendiri,” kisahnya. Perasaannya heran campur takut. Dia mengira akan mati. ”Saya kemudian berusaha kembali mengepaskan tubuh saya, hidung dengan hidung, mata dengan mata.” Tapi Sudarta masih bisa ”melihat” sosok tubuhnya sendiri. ”Lalu saya berusaha lagi dan melafalkan semua macam doa yang saya ingat, Islam, Kristen, kejawen….” Akhirnya, ia berhasil kembali ke raganya dan merasakan kakinya sakit luar biasa. ”Setelah itu, saya berhenti merokok,” katanya sembari tertawa.
Apa yang dialami Sudarta itu disebut pengalaman di luar tubuh atau out-of-body experience (OBE). Secara ilmiah, OBE didefinisikan sebagai episode subyektif yang singkat ketika seseorang merasa berada di luar tubuhnya (disembodiment) dan memiliki persepsi melihat tubuhnya sendiri dari ketinggian atau jarak tertentu (autoscopy). Namun bisa juga pengalaman ini tidak membuat si pelaku melihat tubuhnya sendiri, tapi hanya merasa keluar dari raganya. Dalam ilmu kedokteran jiwa, pengalaman di luar tubuh ini biasanya terjadi pada orang yang terkena epilepsi, migrain, atau menjelang kematian.
Inilah yang dialami Sudarta. Menurut penelitian, pengalaman ini bisa terjadi pada satu di antara 10-20 orang, dan minimal terjadi sekali seumur hidup. ”OBE ini sudah lama menjadi perhatian ilmuwan, terutama dari bidang parapsikologi,” kata Dr Albert Maramis, psikiater. ”Itu merupakan fenomena biasa, karena sejak zaman Sigmund Freud kita sudah mengenal konsep subconscious (alam bawah sadar),” kata Anand Krishna, guru yoga dan penyembuh melalui meditasi.
Benar adanya. Out-of-body experience telah menjadi subyek penelitian ilmiah sejak 1960-an. Para peneliti tersebut biasanya mewawancarai orang-orang yang pernah mengalami OBE. Namun ada juga yang meneliti dan mencoba cara-cara memicu terjadinya OBE dan mungkin suatu saat akan bisa mengontrolnya.
Menurut Oxford Journal, penerbitan yang berisi hasil berbagai penelitian ilmiah Oxford University, perhatian publik terhadap OBE besar. Sedangkan studi kasus dan kajian ilmu saraf yang sistematis tentang pengalaman di luar tubuh ini juga banyak. Namun belum ada penjelasan ilmiah yang memadai terhadap fenomena ini. ”Hingga kini, tidak ada satu pun teori ilmu saraf yang dapat diuji secara ilmiah tentang OBE,” demikian tulis Oxford Journal.
Tapi titik terang mungkin segera muncul. Dua pekan silam, sekelompok ilmuwan dari Antwerp University, Belgia, berhasil menemukan lokasi pada otak pasien yang melakukan ”aktivitas abnormal”—demikian istilah mereka—ketika si pasien mengalami OBE. Hasil penelitian tersebut dimuat di The New England Journal of Medicine edisi November. ”Bagaimanapun, persepsi diri tak lain adalah kreasi dari otak manusia itu sendiri,” kata Dr Dirk De Ridder, salah satu peneliti. Nah, pengalaman di luar tubuh adalah salah satu bentuk persepsi itu, yaitu merasa berada di luar tubuh.
Para ilmuwan yang di antaranya dokter ahli bedah saraf itu sebenarnya tidak sengaja menemukan lokasi pada otak yang bereaksi ketika terjadi pengalaman di luar tubuh. Mulanya mereka memeriksa seorang pasien laki-laki 63 tahun yang menderita kuping berdenging (tinnitus). Si pasien tidak bereaksi—apalagi sembuh dari dengingan kuping—terhadap pengobatan medikal, psikologikal, dan psikiatrik.
Untuk mengetahui lebih jauh soal denging yang membandel itu, dipasanglah elektroda pada pelipis kanan pasien. Ketika pemindaian berjalan, pasien justru mendapat pengalaman di luar tubuh. Dengan beberapa alat deteksi lain untuk melihat aktivitas otak, tertangkaplah citra lokasi pada otak yang bereaksi ketika terjadi OBE—dengan alat pemindai otak magnetic resonance imaging atau MRI (lihat infografis).
Memang, temuan ilmuwan Antwerp University masih membutuhkan kajian lebih lanjut. Namun, bagi Anand Krishna, temuan-temuan ilmiah baru yang mengejutkan tentang aktivitas otak itu pasti terjadi. ”Karena kapasitas otak yang bisa ditelusuri baru sekitar 10 persen. Jadi masih jauh lebih besar kemampuan otak yang belum tereksplor,” katanya. Meskipun Albert tak terlalu setuju dengan anggapan besaran persentase kapasitas otak yang sudah terpakai—karena memang belum ada penelitian ilmiah tentang seberapa besar kapasitas otak itu sendiri—dia sepakat bahwa misteri pada otak masih sangat besar.
Masih menurut Albert, out-of-body experience sendiri bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. ”Karena jika hanya itu (OBE) yang muncul, bukan gejala gangguan jiwa,” kata psikiater lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, ini. OBE tidak seperti halusinasi, kepribadian ganda, dan ”perasaan berjarak dengan realita”—yang semuanya adalah kerja otak—yang biasa dikatakan sebagai gejala gangguan jiwa.
Anand juga sepakat bahwa out-of-body experience bukan gejala gangguan jiwa. ”Yang penting adalah bagaimana bersikap setelah itu,” ujar Anand, yang pernah mengalaminya ketika masih menderita leukemia pada awal 1990-an. Menurut Anand, dalam kondisi tubuh lemah, terjadilah pengalaman di luar tubuh itu. ”Jika setelah out-of-body experience, orang yang bersangkutan merasakan yang aneh-aneh, itu yang berbahaya,” katanya.
Sebab, menurut Anand, ketika mendapat OBE, seseorang mungkin merasa bertemu dengan orang-orang penting di masa lalu, bahkan bercakap-cakap—ini seperti yang dialami Anand sendiri. ”Pengalaman yang dianggap luar biasa inilah yang kemudian bisa berdampak pada kesehatan jiwa,” katanya. ”Out-of-body experience bisa menjadi reprogramming diri kita, apakah kita menjadi lebih baik atau tidak.” Anand mengaku menemukan jati dirinya. Sudarta pun demikian, dari perokok berat menjadi berhenti merokok sama sekali.
Bila benar baru sebagian kecil kapasitas otak manusia yang terpakai, temuan lokasi pada otak yang beraktivitas ketika terjadi pengalaman di luar tubuh bisa menjadi titik terang. Di kemudian hari, out-of-body experience mungkin bisa bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Bukan sekadar menjadi fenomena sesaat yang tidak terkontrol atau menjadi gejala yang tak bisa dijelaskan logika.
Bina Bektiati
Lokasi Otak Out-of-Body Experience
Peneliti Antwerp University mendefinisikan out-of-body experience (OBE) sebagai hasil dari kegagalan temporer integrasi informasi visual, perabaan, rasa, dan keseimbangan yang bertemu di bagian otak temporoparietal junction kanan, yang terletak di pelipis di atas telinga. Bagian otak ini bertanggung jawab pada terbentuknya pikiran (mind).
Proses ditemukannya lokasi otak ketika terjadi OBE.
1. Elektroda dipasang pada pelipis bagian kanan pasien yang menderita telinga berdenging. Gerakan atau getaran elektroda inilah yang mendorong terjadinya OBE.
2. Pengalaman di luar tubuh dirasakan cukup lama, sekitar 17 detik.
3. Lokasi otak yang aktif ketika OBE terjadi ditemukan dengan cara melakukan positron-emission tomography (PET), yaitu “menyebarkan” glukosa dan zat radioaktif aman dalam otak. Bila otak beraktivitas, akan memerlukan glukosa. Nah, bagian otak yang bekerja paling keras akan paling banyak membutuhkan glukosa. Area otak yang beraktivitas tersebut tampak jelas karena adanya zat radioaktif itu.
4. Alat pemindai otak magnetic resonance imaging (MRI) tiga dimensi merekam aktivitas otak selama OBE berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo