Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Martabat Bangsa

12 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Susanto Pudjomartono

  • Wartawan senior, tinggal di Jakarta

    Banyak di antara kita yang marah tatkala mengetahui Malaysia mengakui lagu Rasa Sayange sebagai lagu Malaysia dan memakainya untuk promosi pariwisata. Kita murka mendengar tenaga kerja Indonesia diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian Malaysia.

    Ketika seorang istri diplomat Indonesia ”ditahan” sementara oleh Rela, kelompok sipil yang membantu aparat kepolisian Malaysia, amuk kita makin tinggi. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda bahkan sempat melayangkan surat protes karena, katanya, hal ini menyangkut ”harga diri” dan martabat bangsa Indonesia. Sejumlah media massa Indonesia pun beramai-ramai melecut emosi publik dengan sentimen anti-Malaysia.

    Sesungguhnya apa yang terjadi?

    Tampaknya, banyak di antara kita yang di bawah sadar merasa iri dan sebal terhadap sukses Malaysia. Bukankah Malaysia ”adik” kita? Mengapa mereka yang bahkan kemerdekaannya merupakan ”hadiah” dari Inggris kini lebih maju daripada kita yang merebut kemerdekaan dengan darah dan air mata? Lalu, setelah maju dan kuat, mereka berani-beraninya mengusik ”abang” Indonesia tanpa memperhatikan perasaan kita?

    Lalu beberapa peristiwa masa lalu pun, yang lama mengendap dalam memori kolektif bangsa, diingat atau muncul lagi. Kita berbicara lagi soal konfrontasi dengan Malaysia pada awal 1960-an dan hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan yang kini menjadi milik Malaysia.

    Keberhasilan pembangunan Malaysia memang mengagumkan. Bagaikan lampu yang bersinar, ia membuat jutaan pencari kerja berduyun-duyun datang—yang terbanyak dari Indonesia. Banyak di antaranya yang masuk secara ilegal. Dan tak terhindarkan, banyak juga copet dan maling kita yang mencari rezeki ke sana. Sebenarnya, sejak sekitar 20 tahun yang lampau telah muncul kesan dan tudingan yang negatif terhadap tenaga kerja Indonesia yang dihubungkan dengan kenaikan angka kriminalitas di Malaysia—yang ternyata tak terbukti.

    Secara jujur sebenarnya kita tidak perlu terlalu gusar. Di mana saja selalu terjadi ekses. Luberan dua jutaan tenaga kerja Indonesia, yang sebagian besar kurang terdidik, tentu bisa menimbulkan gesekan.

    Namun kita perlu adil dan jujur melihat persoalan. Jutaan warga negara Indonesia jelas mengalir ke luar negeri untuk mencari kehidupan yang lebih baik karena peluang di dalam negeri sangat kecil.

    Kita juga perlu becermin. Bukankah kita juga memperlakukan pencari kerja kita sendiri dengan keras? Seusai Lebaran yang silam, sejumlah kota dan daerah, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali, dengan ketat menjaga ”perbatasan”-nya agar tidak dimasuki pencari kerja kelas kambing. Malah, di beberapa daerah, aparat setempat melakukan razia terhadap pendatang baru dan memulangkan mereka yang dianggap tak layak. Kalau mereka kemudian memilih lari ke Malaysia untuk menjadi buruh kasar yang ilegal, siapa yang bisa disalahkan?

    Masalah intinya, sebenarnya kita merasa iri kepada Malaysia. Mereka telah berhasil, sedangkan kita tidak atau belum. Mereka maju, sedangkan kita mundur atau berjalan di tempat.

    Kita seperti kehilangan kebanggaan nasional. Sepertinya tidak ada lagi yang bisa membuat kita menegakkan kepala. Prestasi kita di arena olahraga internasional terus jeblok. Kemiskinan belum teratasi. Ekonomi belum juga bangkit. Kita tidak sabar dan sepertinya ingin dalam waktu semalam bisa menegakkan kepala lagi.

    Meski kita lantang berteriak bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, hal itu ternyata tidak bisa menghilangkan antrean minyak tanah. Kita masih membanggakan bahwa Islam di negara kita adalah Islam yang toleran, tapi di media massa kita terus melihat amuk massa terhadap aliran yang dianggap bertentangan atau sesat. Prestasi anak-anak muda kita di berbagai lomba fisika internasional rasanya juga belum cukup untuk dapat mengangkat martabat bangsa lagi.

    Singkat kata, saat ini kita adalah bangsa yang agak sakit dan merasa kehilangan martabat. Seperti seekor kura-kura, kita termehek-mehek merayap maju ke depan, sedangkan tetangga-tetangga kita melesat maju seperti kelinci. Apalagi kita sering merasa bahwa beberapa tetangga, karena tahu bahwa kita lemah, berkali-kali melecehkan kita.

    Jadinya sekarang ini kita gampang tersinggung, hingga beberapa ekses seperti yang terjadi di Malaysia membuat kita murka. Ini bukan berarti bahwa kita tidak perlu membela saudara-saudara kita yang bekerja di luar negeri yang diperlakukan sewenang-wenang. Tentu kita tidak bisa lepas tangan. Mereka harus dilindungi dan dibela, tapi secara proporsional.

    Jadi apa yang harus dilakukan untuk mengangkat martabat bangsa? Kita jelas tidak menerima untuk terus dilecehkan sebagai negara yang paling korup di dunia atau perusak hutan nomor wahid. Namun, di sisi lain, kita tidak bisa menerima anggapan bahwa demokrasi telah gagal mengangkat kita.

    Rakyat dan pemimpinnya perlu senapas. Sekarang ini, logika rakyat dan logika elite sering sangat bertentangan. Apa yang dianggap rakyat sebagai penderitaan sering dianggap sebagai suatu hal biasa yang tak mengusik nurani elite kita. Setelah lebih dari 60 tahun merdeka, birokrasi kita juga masih saja terjebak dalam cara kerja yang seenaknya dan penuh ketidakpedulian. Contohnya, hanya empat jam setelah Presiden Yudhoyono meninggalkan tempat pengungsian rakyat di lereng Gunung Kelud, air bersih yang semula mengalir deras tidak mengucur lagi!

    Namun satu hal membuat kita tetap optimistis. Cepat dan gampangnya kita tersinggung, kegeraman kita yang makin membahana terhadap korupsi, dan kebosanan kita terhadap keterpurukan ekonomi menunjukkan bahwa kita masih sangat cinta dan merindukan Indonesia yang lebih baik. Itu modal terpenting mengangkat martabat bangsa.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus