Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kuliner dari Gorontalo memiliki ciri khas tersendiri, mengandung pesan budaya, dan sejarah yang panjang. Food anthropologist yang juga peserta MasterChef Indonesia Musim 8, Seto Nurseto mengatakan, makanan berhubungan erat dengan siklus kehidupan manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab itu, dia meyakini kuliner Gorontalo juga berhubungan dengan siklus hidup manusia, yakni kelahiran, pernikahan, dan kematian. "Salah satunya Tili’aya yang menjadi syarat dalam acara syukuran adat," kata Seto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pengusaha kuliner Bakul Goronto, Zahra Khan mengatakan, nasi kuning dan Tili'aya selalu tersaji dalam setiap perayaan kelahiran, kematian, dan doa-doa syukur. "Tili’aya adalah makanan manis serupa Srikoyo dari Padang," kata pria asli Gorontalo ini..
Seto menjelaskan, nasi kuning merupakan cermin dari rasa syukur kepada Tuhan. "Nasi kuning dibentuk segitiga sebagai simbol gunung emas yang melambangkan gunung kemakmuran," katanya. Dulu, nasi kuning berfungsi sebagai sesaji sebelum orang masuk ke hutan. Ketika Islam masuk, masyarakat perlahan meninggalkan sesaji.
Nasi kuning, Tili'aya, telur rebus, dan pisang yang biasanya dibagikan kepada para petani dan tetangga saat menanam benih padi. Dok. Bakul Goronto
Zahra mengatakan, ada sejumlah makanan khas Gorontalo yang kini mulai sulit ditemukan. Salah satunya adalah Milu Siram Pulo atau Binde Biluhuta yang menggunakan bahan dasar jagung pulut atau binde pulu. Jagung jenis ini sulit diperoleh karena banyak petani yang lebih suka menanam jagung kuning hibrida. Jagung pulut hanya bisa didapatkan di desa-desa tertentu.
Berikut empat fakta sejarah dan budaya kuliner Gorontalo seperti dikutip dari keterangan tertulis Lingkar Temu Kabupaten Lestari.
- Pengaruh Arab yang kuat
Seto Nurseto yang juga dosen antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran, Bandung, menjelaskan, kuliner Gorontalo memiliki sejarah panjang. Ketika bangsa Arab, Cina, dan Belanda datang, berbagai sisi kebudayaan etnis Gorontalo terpengaruh, termasuk kuliner.
"Pengaruh Islam dalam kuliner Gorontalo sangat kuat," katanya. Yang menarik, menurut Seto, kuliner menjadi identitas pembeda antara Gorontalo dengan etnis lain di sekitarnya, misalkan Minahasa. Lantaran berbeda kepercayaan, bahan pangan yang digunakan juga berbeda. Jika etnis Minahasa mengkonsumsi daging babi, etnis Gorontalo mengkonsumsi daging sapi.
Sebelum Islam masuk Gorontalo, menurut Zahra, masyarakat belum memeluk agama apa pun, kecuali kepercayaan. Kemudian bangsa Arab masuk untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Saat itulah kuliner Gorontalo terpengaruh. Pada dasarnya, kuliner Gorontalo terbilang minim bumbu. Ketika memasak ikan bakar misalkan, ada yang tidak memberi bumbu sama sekali, namun ada juga yang memberi sedikit bumbu, seperti perasan jeruk nipis dan garam.
Sementara kuliner Arab menggunakan banyak sekali rempah, seperti kayu manis, jinten, dan ketumbar. Sejak masuknya Islam lewat bangsa Arab, mulai banyak masakan Gorontalo yang kemudian menggunakan rempah dengan aroma yang kuat. Contohnya Ayam Bakar Iloni (bumbu rempah), Kambing Bakar Balanga, dan Kuah Tabu Moitomo (sebutan lain Kuah Bugis). "Ini juga menunjukkan bahwa makanan Gorontalo dipengaruhi daerah tetangga yang lebih dulu kedatangan bangsa Arab, seperti Bugis," kata Zahra.
- Kuliner Gorontalo dalam perayaan agama
Karena pengaruh Arab, maka sejumlah peringatan keagamaan juga tak lepas dari kuliner Gorontalo. Misalkan saat perayaan Maulid Nabi Muhammad, masyarakat Gorontalo mensyukurinya dengan melakukan sedekah bumi dari hasil bumi apapun yang mereka miliki.
Umumnya, masyarakat Gorontalo akan membuat olahan satu ekor ayam, nasi kuning, nasi putih, dan nasi merah. "Nasi putihnya bukan nasi putih biasa, melainkan Bilindi," kata Zahra. Bilindi adalah nasi yang dimasak dengan santan dan bumbu rempah, seperti pala dan cengkih. Aroma dan cita rasanya seperti nasi kebuli, namun warnanya tidak terlalu coklat. Nasi tersebut dilengkapi dengan lauk hati dan ampela ayam, serta suwiran daging ayam kampung.
Sepanjang bulan Ramadan ada juga Tili’aya. Biasanya Tili’aya tersaji saat sahur atau sesudah tarawih. Tili'aya terbuat dari telur bebek, gula merah, dan santan.
- Simbol perdamaian dua kerajaan
Di Gorontalo ada makanan tertua yang disebut Ilabulo. Makanan ini menjadi simbol perdamaian di antara raja-raja yang sedang bertikai. Zahra bercerita, zaman dulu terjadi perang antara Kerajaan Limutu dan Kerajaan Holunthalangi. Dua kerajaan ini kemudian berdamai dengan cara menyatukan cincin dari masing-masing kerajaan. Cincin itu lalu dibuang ke Danau Limboto.
Sebab itu, tugas masyarakat Gorontalo adalah menjaga agar Danau Limboto tidak kering. Jika sampai kering dan dua cincin tadi terlihat, maka perang dapat kembali tersulut. Rakyat dari dua kerajaan itu juga membuat Ilabulo dari campuran sagu dan kulit ayam yang dibungkus daun pisang. Proses pengolahannya dikukus atau dibakar.
Ilabulo dapat ditemukan dalam berbagai acara maupun sebagai jajanan sehari-hari. Seiring perkembangan zaman, masyarakat Gorontalo biasanya menyuguhkan Ilabulo saat hajatan atau khitanan. Ilabulo biasanya disajikan dengan Kuah Asam Ikan Gabus.
- Makanan yang nyaris hilang
Ada juga kuliner khas Gorontalo yang kini nyaris hilang. Zahra bercerita, sebelum mampu mengakses beras, masyarakat Gorontalo makan singkong parut atau sagu yang disantap dengan kelapa parut. "Ibu saya menyebutnya Alopa. Singkong atau sagu diberi bumbu bawang putih dan jahe, lalu dikukus. Makanan ini disantap bersama ikan bakar dan dabu-dabu," kata Zahra. "Namun sekarang makanan ini sudah tidak ada lagi."
Ada lagi makanan yang nyaris langka, yaitu Bode’o. Bode’o terbuat dari kelapa parut yang disangrai, lalu ditumbuk sampai halus, serta diberi bumbu, seperti jinten, ketumbar, jahe, kunyit, lengkuas, dan sereh. Biasanya makanan menjadi bekal dari orang tua saat anaknya merantau atau sekolah ke kota. Bode’o biasanya disantap bersama nasi atau singkong.
Makanan yang benar-benar menghilang adalah nasi jagung yang terbuat dari jagung putih dan jagung kuning varietas lokal. Makanan ini disebut Alimbuluto. Nasinya berwarna kuning dengan tekstur lembek. Dua jenis jagung yang sudah dipecahkan dimasak dengan santan. Dulu, nasi jagung ini dulu merupakan makanan pokok karena beras masih mahal.
Baca juga:
Kuliner Indonesia untuk Sherpa G20: Jagung Pulut Sampai Asam Maram
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.