Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jangan sepelekan asma. Seringan apa pun, penyakit ini bisa berujung pada kematian. Namun, meski penyakit ini berbahaya, hanya sebagian penderitanya yang patuh minum obat.
Guru besar paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Muham-mad Amin, mengatakan 40-70 persen pasien sebenarnya menyandang asma ringan. Tapi 10-20 persen penyandang asma yang tadinya ringan ini bisa naik level menjadi penderita asma berat. “Sebagian dari mereka tak patuh pada pengobatan,” katanya di sela Kongres Perhimpunan Respirologi Asia-Pasifik (APSR) 2018 di Taipei, Taiwan, beberapa waktu lalu.
Asma adalah penyakit peradangan kronis saluran napas. Peradangan inilah yang menyebabkan munculnya mengi, batuk, dan rasa sesak. Penyakit ini hilang-timbul, bisa tenang tanpa gejala dan tak mengganggu aktivitas, tapi juga dapat tiba-tiba muncul dengan gejala ringan sampai berat, bahkan mengakibatkan kematian. Asma bisa dipicu antara lain oleh alergen dalam ruangan, seperti tungau debu rumah, bulu binatang, kecoak, jamur, dan asap rokok.
Ada dua jenis obat asma, yakni pelega dan pengontrol. Obat pelega dipakai untuk melegakan saluran napas dari gangguan seperti mengi, batuk, dan rasa berat di dada. Obat yang masuk kategori pelega di antaranya agonis beta-2 kerja cepat, kortikosteroid sistemik, dan bronkodilator kerja cepat. Adapun obat pengontrol, yang juga disebut pencegah, digunakan untuk mengatasi peradangan. Contohnya antara lain kortikosteroid inhalasi dan sistemik, sodium kromoglikat, serta agonis beta-2 kerja lama.
Prinsipnya, pengobatan asma dilakukan tidak hanya untuk mengendalikan penyakit ini saat kambuh, tapi juga untuk meminimalkan risiko kambuh dan efek samping obat, mencegah penyempitan saluran napas, serta membuat pasien tetap beraktivitas normal.
Guru besar paru Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Muhammad Amin, mengatakan 40-70 persen pasien sebenarnya menyandang asma ringan. Tapi 10-20 persen penyandang asma yang tadinya ringan ini bisa naik level menjadi penderita asma berat. “Sebagian dari mereka tak patuh pada pengobatan,” katanya.
Masalahnya, sebagian pasien minum obat hanya ketika mendapat serangan. Mereka ogah minum obat asma yang mengandung pelega setiap hari. “Orang berpikir bahwa penyakit asma cukup di-obati saat kambuh saja, padahal tak demikian,” ujar peneliti asma dari Australia, John Upham, dalam diskusi dengan wartawan di Taipei.
Karena banyaknya pasien yang naik level dari penderita ringan menjadi lebih berat, dibuatlah studi untuk membandingkan pengaruh obat yang mengandung pelega dan pengontrol sekaligus (obat yang mengandung budesonide/formoterol) dengan obat pelega yang hanya diminum saat ada serangan. Sebagian pasien mendapat obat yang mengandung budesonide/formoterol, sebagian lainnya diberi plasebo, juga agonis kerja cepat untuk mengontrol serangan kalau dibutuhkan.
Mereka diminta melaporkan perkembangannya setiap hari selama 52 pekan. “Obat yang mengandung pelega sekaligus pengontrol tersedia di beberapa negara, termasuk Finlandia,” tutur Philip Bardin, profesor kedokteran pernapasan di Fakultas Kedokteran, Ilmu Keperawatan, dan Kesehatan Monash University, Australia, dalam salah satu sesi Kongres APSR.
Studi bernama Sygma ini dilakukan dalam dua tahap. Sygma pertama dikerjakan di 12 negara, antara lain di Australia, Brasil, Rusia, Korea Selatan, dan Vietnam, dengan total 2.516 pasien. Jangkauan Sygma diperluas ke 15 negara dengan 2.636 pasien dalam riset kedua. Kedua penelitian yang laporannya dipublikasikan tahun lalu itu membandingkan pasien yang menggunakan obat pelega dengan pasien lain yang mengkonsumsi obat pelega yang mengandung pengontrol.
Hasilnya, mereka yang mendapat obat yang mengandung pelega dan pengontrol sekaligus ternyata lebih sedikit mengalami serangan ketimbang yang hanya minum obat saat serangan asma datang. Karena itu, dosis minum obat pelega menjadi berkurang. “Kami juga yakin bahwa obat tersebut bisa mencegah asma berkembang ke tingkat yang lebih parah,” ujar John Upham.
Menurut Muhammad Amin, asma ringan bisa menjadi parah karena peradangan pada saluran napas, yang semestinya bisa dikendalikan dengan obat pengontrol, tak dihentikan lantaran obat tak diminum. Karena peradangan makin luas, saluran napas makin sempit. Asma pun menjadi kian sering kumat dan kondisinya kian parah. “Semestinya pasien patuh pada pengobatan,” ucapnya.
NUR ALFIYAH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo