Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI memang serupa tapi tak sama. Flu dan influenza selama ini dianggap oleh masyarakat umum sebagai penyakit yang sama. Jangankan kaum awam. Untuk menggampangkan komunikasi dengan pasien, "Para dokter juga sering menyamakan kedua penyakit itu," kata Profesor Agus Sjahrurahman, pakar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Padahal, sebetulnya, flu dan influenza punya karakter yang berbeda.
Flu adalah penyakit yang disebabkan oleh puluhan jenis virus, termasuk rhinovirus, adenovirus, dan coxsackievirus. Makhluk berukuran mikro ini menginfeksi saluran pernapasan bagian atas seperti hidung, sinus, dan tenggorokan. Serangan virus akan memancing reaksi tubuh, yang kemudian memproduksi protein-protein yang bertugas menumpas para penyerang. Pertarungan inilah yang menimbulkan demam, pusing, pilek, batuk, dan badan lesu.
Tanpa bantuan obat, sebetulnya, pasukan protein pertahanan tubuh akan memenangi pertarungan melawan virus dalam tiga sampai tujuh hari. Syaratnya, "Istirahat cukup dan makan yang baik," kata Profesor Hadiarto Mangunnegoro, ahli pulmonologi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Sementara itu, influenza adalah jenis flu yang lebih khusus. Biang keladi penyakit ini--berbeda dengan flu--adalah virus influenza tipe A, B, dan C. Jenis A adalah virus influenza yang paling cepat bermutasi dan bisa memicu wabah dunia atau pandemi. Tipe B adalah virus yang bisa menimbulkan wabah setempat atau epidemi. Sedangkan tipe C adalah jenis virus yang paling ringan dan tidak berpotensi menebar wabah.
Virus influenza menginfeksi seluruh saluran napas dari atas ke bawah--hidung, sinus, tenggorokan, sampai paru-paru. Akibatnya, timbul gejala yang lebih berat dan lebih lama ketimbang flu biasa. Meskipun begitu, pada prinsipnya tubuh tetap memiliki mekanisme penyembuhan sendiri untuk melawan influenza. Syaratnya, si pengidap bukan termasuk kelompok risiko tinggi yang bisa meninggal oleh serangan influenza.
Yang masuk golongan berisiko tinggi adalah mereka yang berusia di atas 65 tahun atau mengidap penyakit lain seperti kanker atau diabetes. Untuk kelompok ini, influenza tak cukup hanya diatasi dengan istirahat dan makan yang cukup. "Selain perlu obat antivirus, mereka butuh obat terapi pendukung," kata Hadiarto. Obat ini berfungsi menekan gejala permukaan, seperti obat penurun panas dan pengencer dahak, pencegah infeksi meluas, serta pendongkrak daya tahan tubuh secara signifikan. Kelompok risiko tinggi ini juga membutuhkan vaksinasi influenza pada saat-saat tertentu, misalnya ketika hendak beribadah haji atau bepergian ke wilayah yang sedang terkena wabah influenza.
Di luar grup itu, Hadiarto menekankan perlunya mengoptimalkan kemampuan tubuh melawan penyakit. Lagi-lagi, istirahat cukup dan menu yang kaya protein plus vitamin menjadi kunci untuk melemahkan virus. Sebaiknya, flu dan influenza tidak selalu dihantam dengan obat. Sebab, terlalu banyak konsumsi obat akan membuat virus bermutasi menjadi lebih kebal dan ganas. Bila keliru minum obat antibiotik, yang sebetulnya bukan pembunuh virus, dampak mutasi yang muncul bakal lebih buruk.
Namun, bila lebih dari sepuluh hari flu atau influenza tidak kunjung sembuh, Hadiarto menyarankan agar segera berobat ke dokter. "Ini menandakan ada sesuatu yang tidak beres pada tubuh Anda," katanya. Mardiyah Chamim
Wabah Influenza yang Paling Mematikan | Tahun | Nama Wabah | Jumlah Korban Meninggal | 1889 | Flu Rusia | 750 ribu | 1918 | Flu Spanyol | 21 juta | 1957 | Flu Asia | 1 juta | 1968 | Flu Hong Kong | 700 ribu |