Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Asyiknya Menempel Kenangan

Menyimpan benda-benda kenangan secara manual, dengan digunting dan ditempel di buku, kembali diminati karena lebih memiliki sentuhan manusia. Tidak instan seperti menggunakan produk digital—meski sama-sama harus kuat modal.

5 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setumpuk foto dirinya bersama suami teronggok di rumah Diatrinari Andanawarih tiga tahun lalu. Tidak tahu harus diapakan. Tidak tertarik pula untuk memasukkannya ke album atau bingkai foto. "Membosankan," ujar perempuan 39 tahun yang biasa dipanggil Daniek itu. Tapi ia masih ingin menyimpan foto-foto itu dengan baik.

Acara jalan-jalan ke sebuah factory outlet di daerah Barito, Jakarta Selatan, memberinya solusi. Ia berkenalan dengan metode penyimpanan foto bernama scrapbook dari toko My Scrapbook Ideas. Foto terlihat lebih menarik karena menempel pada dasar kertas bermotif. Di sekitar foto terdapat pernak-pernik tambahan untuk menguatkan suasana dalam foto, seperti logam, kulit, kain, pita, dan kancing.

Daniek sempat mengikuti pelatihan di My Scrapbook Ideas. Setelah mendalami teknik-tekniknya, ia pun "naik pangkat", bekerja sebagai pelatih scrapbook selama satu setengah tahun di tempatnya belajar. Ketika itu pesanan membuat scrapbook dari teman dan saudara berdatangan. Suaminya sempat bingung karena rumah menjadi penuh kertas dan pernak-pernik lainnya.

Mereka sepakat membuka toko penjualan barang keperluan scrapbook bernama Scrappy Harlequin di FX, mal funky di Jakarta Selatan. Di toko yang baru buka lima bulan lalu itu, Daniek mengaku permintaan membuat scrapbook semakin banyak. "Minimal sehari ada saja orang yang order," katanya. Kelas pelatihan yang ia buka setiap hari juga memikat para pembeli.

Scrapbook pada dasarnya sebuah teknik kliping benda-benda memorabilia. Penempelan bendanya tidak sebatas foto. Bisa juga tiket pesawat, tagihan restoran, salinan dokumentasi penting, tiket bioskop, atau kartu ucapan. Namun orang yang melakukan penyimpanan ini ingin berbuat lebih dari sekadar menempel. Ia menambahkan hiasan lain supaya memori masa lalu dari benda itu terasa semakin berharga dan unik. Penyimpanannya bisa berupa album. Ada pula yang langsung membingkainya untuk dipajang.

Menurut salah satu pemilik My Scrapbook Ideas, Grace Tirtha, tren membuat scrapbook awalnya dari Amerika Serikat sekitar 20 tahun lalu. Masyarakat di sana gemar menampilkan foto dalam layout yang lebih personal. Perkembangan itu membuat banyak perusahaan menghasilkan produk khusus scrapbook yang bebas zat asam. "Supaya foto bisa tahan hingga 100 tahun," ujar perempuan berusia 52 tahun itu.

Dengan produk bebas asam, sebuah foto juga tidak menguning termakan usia. Perlakuan terhadap bahan perekatnya menjadi khusus. Lem untuk scrapbook tidak bisa dikirim dengan pesawat terbang. "Harus pakai kapal karena mudah terbakar," kata Grace. Lem khusus itu juga membuat besi tidak berkarat ketika ditempel di kertas. Ada pula gunting khusus yang ujungnya sangat runcing tapi tidak lengket di kertas ketika kena lem.

Jenis kertasnya juga bermacam-macam, baik ketebalan maupun motifnya. Belum lagi aksesorinya. Ada gambar tempel dengan motif binatang, bunga-bunga, tulisan, dan angka. Ada pula berbagai motif pita, kancing, dan tali. Ia mengimpor hampir semua peralatan scrapbook dari Amerika Serikat. "Produsen lokal belum ada yang bisa membuatnya," ujar ibu tiga anak itu.

l l l

Daniek membutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan satu bingkai berukuran 30 x 30 sentimeter. Dia membutuhkan waktu lama ketika membuat album foto berbentuk scrapbook. "Bisa seminggu," ujarnya. Menurut dia, seni menempel barang memorabilia ini tidak tergantikan dengan jalan pintas menggunakan perangkat lunak di komputer. Ada rasa puas yang muncul dari hasil karya tangan itu. "Kalau mengedit dengan komputer, foto jadi terlihat dingin," kata Daniek.

Motivasi kembali ke jalan manual inilah yang membuat scrapbooking diminati. Karena peralatan canggih, komputer lengkap dengan perangkat lunak yang memungkinkan orang melakukan "akrobat" dengan foto-foto dan pernak-perniknya makin mudah dilakukan, sehingga kepuasan berkarya pun berkurang.

Kepuasan itu jugalah yang membuat Mira Lesmana, 47 tahun, keranjingan scrapbook, bahkan sejak kecil. Awalnya hanya hobi menggunting-gunting kertas dari koran dan majalah kemudian ditempel bersama foto. "Saya tidak telaten, tapi suka gunting-gunting," katanya. Ketika remaja, ia sempat beralih memakai perangkat lunak komputer. Tapi Mira mengaku kurang suka dengan hasilnya. "Kurang personal," katanya. Baru pada 1994 ia kembali ke cara manual.

Kesibukannya sebagai produser film membuat Mira tidak pernah bisa membuat jurnal untuk film-filmnya. "Hanya Gie yang baru kesampaian," ujar ibu dua anak itu sambil tertawa. Karena itu, di tempat kerjanya selalu tersedia satu koper kecil berisi peralatan scrapbook. Jika ada waktu kosong, ia lantas mengerjakan proyek scrapbook yang tertunda.

Scrapbook unik, kata dia, karena ada sentuhan individu. Foto keluarga dan teman pernah menjadi proyeknya. Terakhir, ia membuat album perjalanannya keliling Indonesia dengan metode scrapbook.

Namun ia mengakui tidak murah untuk membuatnya. Harga kertas khusus scrapbook mahal. Satu lembar kertas berukuran 30 x 30 sentimeter bisa di atas Rp 20 ribu per lembar. Supaya tidak mubazir, ia membeli kertas bermotif dalam ukuran besar sehingga bisa dipakai untuk lebih dari satu proyek.

Rachmawati Octaviani, 23 tahun, pertama kali mencoba scrapbook setahun lalu. Tujuan awalnya, ingin memberikan kado unik kepada pacarnya. Ia pun merogoh kocek Rp 600 ribu untuk membeli pernak-pernik scrapbook dan bingkai foto.

Puas dengan hasilnya, ia pun semakin sering mengerjakan keterampilan tangan ini. "Unik buat hadiah, tidak mungkin sama dengan orang lain," katanya. Dari kecil Avoy, panggilan Rachmawati, suka dengan keterampilan tangan. Karena itu, ia sangat menikmati teknik gunting-menggunting ketika membuat scrapbook.

l l l

Pembuat scrapbook, kata Daniek, selalu mengawali pekerjaannya dengan memilih foto. "Harus tentukan temanya dulu," ujarnya. Baru setelah itu memilih kertas sebagai dasar dan menentukan layout. Pertimbangan utamanya, bagaimana membuat foto seolah-olah berbicara dan terkait dengan aksesori sekitarnya.

Setelah menentukan foto dan kertas, baru mulai scrapping. Pekerjaannya tidak bisa menempel ala kadarnya. "Ada seni padu-padan warna, pola, dan layout," ujar Daniek. Ini terkadang yang tidak disadari banyak orang. Ada yang hanya menempel-nempelkan foto dan pernak-pernik tapi tidak berkaitan dengan tema. Tapi tidak jarang pula hasil scrapbook terlihat lebih berantakan ketimbang produk digital. "Tapi di situlah soul dari metode ini," katanya.

Peralatan utamanya, gunting, penggaris, alat pemotong, perekat bebas asam, dan alas untuk pemotong. Pemula biasanya memulai dengan menggunting yang tidak terlalu rumit dan menempel. Jika sudah mahir, baru mulai menggunting yang lebih detail, seperti bunga dan tulisan. Untuk membuat efek tiga dimensi, diperlukan ketelitian menggunting, karena satu bentuk dibuat berkali-kali agar bisa ditumpuk.

Peralatan scrapbook sekarang banyak memberi kemudahan bagi pembuatnya. Dulu banyak orang menempel dari barang di sekitarnya, seperti guntingan poster, koran, dan majalah. Sekarang sudah ada produk yang menyediakan semua peralatan dalam satu tema, seperti pernikahan, ulang tahun, dan perjalanan. Orang tinggal mengerjakannya sesuai dengan petunjuk. "Jadi terorganisasi," kata Grace.

Ia optimistis membuat scrapbook secara manual tidak akan tergeser oleh teknik digital. Toko miliknya, My Scrapbook Ideas, telah berkembang menjadi delapan di Bandung dan Jakarta. Permintaan dari berbagai investor untuk membuat waralaba toko itu juga terus berdatangan.

Grace mengatakan banyak orang yang masih merasa sentuhan tangan manusia lebih indah dibanding penggunaan komputer. Selain membuat produk menjadi unik, ada kepuasan batin dari teknik menggunting dan menempel. "Scrapbook juga bisa memperlihatkan karakter seseorang," katanya.

Sorta Tobing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus