APAKAH penderita ayan atau epilepsi harus diasingkan dari
kehidupan masyarakat biasa? Apakah mereka hanya boleh
mengerjakan pekerjaan tertentu dan anak-anak ayanan harus masuk
sekolah luar-biasa? Pertanyaan ini menjadi pokok persoalan yang
menarik dalam simposium "Aspek sosial dari epilepsi" yang
diselenggarakan Universitas Indonesia tanggal 21 Agustus yang
lalu. Di mata masyarakat awam, penyakit ini selain dikatakan
sebagai "buatan" dia diperlakukan pula sebagai penyakit menular.
Orang yang sedang kena serangan ayan sekali-kali tak boleh
didekati. Dengan begini berakibat para penderita mendapatkan
penderitaan lain selain dari penyakitnya sendiri, yaitu sikap
lingkungannya yang mencemoohkan. Para dokter yang ambil bagian
dalam simposium hari itu telah mencoba membasuh pandangan yang
salah dan menambah beban penderitaan ini.
"Ayan bukan penyakit menular", kata mereka. Sedangkan anggapan
penyakit itu adalah penyakit turunan juga mereka sangkal.
"Faktor turunan mungkin ada, tetapi sedikit sekali. Faktor
turunan pada penyakit kencing-manis atau penyakit yang membuat
orang harus pakai kaca-mata jauh lebih besar", ujar Doktor SM
Lumbantobing. Dia mengatakan bahwa penderita ayan haruslah
diusahakan untuk tetap dapat menduduki kedudukan sosialnya
semaksimal mungkin. "Mereka tidak dilarang bekerja. Berolahraga
pun mereka boleh. Malahan seorang ahli epilepsi pernah
mengatakan bahwa olahraga akan membuat mereka lebih baik. Ini
dihubungkan dengan serangan ayan yang biasanya datang ketika
istirahat atau pun tidur. Tetapi tidak seluruh cabang olahraga
boleh mereka ikuti, sebab kita takut juga kalau-kalau mereka
dapat serangan, misalnya di kolam renang", sambungnya pula.
Pandangan-pandangan yang boleh dibilang baru ini agaknya bisa
lebih cepat tersebar ke khalayak ramai, maklum dalam simposium
itu turut juga hadir mereka yang bukan dokter, yang hanya
sekedar pengurus yayasan sosial atau guru-guru dari sekolah luar
biasa. Mereka juga ikut bicara.
Berbeda dengan penyakit jantung atau kencing-manis,
gejala-gejala penyakit ayan memang memedihkan perasaan. Tubuh
kejang, mulut berbusa hilang kesadaran dan setelah serangan
menunjukkan tabiat yang aneh, seperti bersikap garang atau
malahan sampai melakukan tindakan-tindakan kekerasan, membunuh
atau membakar. Namun itu semua bukanlah gambaran yang komplit
tentang ayan. "Orang hanya menghubung-hubungkan penderita
epilepsi dengan yang negatif. Padahal banyak di antara mereka
yang malahan genial. Dostoyevsky misalnya". Sikap yang
menyejukkan hati ini datang dari ahli syaraf dan Rektor UI,
Mahar Mardjono. Lebih jauh lagi dia beranggapan bahwa
"tingkahlaku yang aneh-aneh dari pendedta epilepsi bukanlah
akibat dari penyakitnya sendiri, tetapi karena sikap lingkungan,
termasuk sikap keluarga dan dokter yang merawatnya". Sebab
menurut seorang dokter penderita ayan begitu gampang
tersinggung. Perbuatan yang baik bisa berbalik sebagai sikap
yang menimbulkan amarah. "Sebuah tepukan di bahu bisa membuat
mereka mengamuk", kata dr Karnadi. Karena itu kesabaran dan
pengertian dituntut banyak dari sanak famili dan para
pengasuhnya, termasuk dokter. Memahami gejala penyakit ini
tampaknya adalah satu di antara bekal yang baik dalam menghadapi
penderita, begitu pun untuk penderita sendiri.
Dinding Bergerak
Menurut dr Karnadi menjelang terjadinya serangan berupa kejang
dan akan hilangnya kesadaran, si penderita akan mendapat
gangguan penglihatan, seperti ukuran benda-benda yang tampak
berubah, bisa kelihatan tambah kecil atau tampak amat besar.
Benda-benda tampaknya bergerak mundur atau sebaliknya malah
mendekati. Suara-suara terdengar menjauh, atau mengeras hingga
terdengar ribut dan kacau. Penglihatan kacau, dinding misalnya
kelihatan seperti bergerak, hingga si penderita sulit menentukan
langkahnya.
Si pendeta mengalami perubahan alam perasaan. Dia mengalami
serangan kekhawatiran yang kuat, merasa takut yang hebat hingga
membuat dia lari karenanya. Kadang-kadang dia merasa putus asa.
Perasaan demikian terjadi tanpa alasan dan bisa berlangsung
beberapa menit. Rasa gembira jarang sekali. Kalau pun ada hanya
rasa hening. Tanda-tanda luar pada fisik mereka kelihatan pada
kepala yang terus bergerak-gerak dan mata yang seakan-akan
mencari-cari sesuatu. Dia tak dapat beraksi dengan baik terhadap
lingkungannya. Ia hilir mudik tanpa tujuan, komat-kamit tak
karuan, mulut mengecap-ngecap padahal tak ada yang dimakan.
Perangai ini bisa berlangsung sampai 10 menit.
Tentang sebab-musababnya dr Soemargo, Kepala Bagian Syaraf RSCM
mengatakan: "karena pelepasan tenaga listrik yang berlebihan
dari otak". Menurut catatannya anak yang sukar dilahirkan atau
terlalu gampang dilahirkan bisa membikin si anak satu ketika
dapat serangan ayan. Virus campak, kenghus, kejang-panas dan
kecelakaan yang menghantam kepala bisa pula mengakibatkan orang
satu ketika akan jadi ayanan, katanya.
"Lakilaki lebih banyak menderita dari perempuan", katanya.
Tetapi berapa jumlah penderita ayan di negeri ini dia tak bisa
mengatakan, karena belum ada pengumpulan data ke arah itu.
"Serangan kejang-kejang, mulut berbusa dan hilang kesadaran pada
penderita ayan tidak berbahaya, sebab serangan itu akan berhenti
sendiri. Yang penting menghindarkan si penderita dari menggigit
lidahnya sendiri, dengan jalan memasukkan benda empuk supaya
digigitnya", katanya menasihatkan.
Tentang apa yang membikin kekacauan listrik otak itu belum ada
yang tahu. Tapi itu tak berarti penyakit ayan tak dapat diobati.
"Sama seperti kencing-manis atau darah-tinggi kita tak tahu apa
sebabnya, tapi kita punya obat penyembuhnya. Begitu pun dengan
ayan ini, kita tak tahu penyebabnya, tapi kita punya obatnya",
kata Dr Lumbangtobing yang bijak bicara itu. "Dari pengalaman di
klinik Cipto Mangunkusumo, 60% dari penderita ayan yang masih
kanak-kanak bisa disembuhkan. Namun tak semua penderita ayan
dapat kami tolong. Disiplin penderita untuk berobat amat
penting, karena pengobatannya bisa memakan waktu 3 tahun", kata
Lumbantobing pula. Kalau begitu lumayanlah: ada kemajuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini