Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ayan Itu Bisa Sembuh

Ayan bukan penyakit menular. anggapan bahwa ayan penyakit turunan juga tak benar. dr soemargo dari rscm mengatakan ayan disebabkan oleh pelepasan tenaga listrik yang berlebihan dari otak.

4 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH penderita ayan atau epilepsi harus diasingkan dari kehidupan masyarakat biasa? Apakah mereka hanya boleh mengerjakan pekerjaan tertentu dan anak-anak ayanan harus masuk sekolah luar-biasa? Pertanyaan ini menjadi pokok persoalan yang menarik dalam simposium "Aspek sosial dari epilepsi" yang diselenggarakan Universitas Indonesia tanggal 21 Agustus yang lalu. Di mata masyarakat awam, penyakit ini selain dikatakan sebagai "buatan" dia diperlakukan pula sebagai penyakit menular. Orang yang sedang kena serangan ayan sekali-kali tak boleh didekati. Dengan begini berakibat para penderita mendapatkan penderitaan lain selain dari penyakitnya sendiri, yaitu sikap lingkungannya yang mencemoohkan. Para dokter yang ambil bagian dalam simposium hari itu telah mencoba membasuh pandangan yang salah dan menambah beban penderitaan ini. "Ayan bukan penyakit menular", kata mereka. Sedangkan anggapan penyakit itu adalah penyakit turunan juga mereka sangkal. "Faktor turunan mungkin ada, tetapi sedikit sekali. Faktor turunan pada penyakit kencing-manis atau penyakit yang membuat orang harus pakai kaca-mata jauh lebih besar", ujar Doktor SM Lumbantobing. Dia mengatakan bahwa penderita ayan haruslah diusahakan untuk tetap dapat menduduki kedudukan sosialnya semaksimal mungkin. "Mereka tidak dilarang bekerja. Berolahraga pun mereka boleh. Malahan seorang ahli epilepsi pernah mengatakan bahwa olahraga akan membuat mereka lebih baik. Ini dihubungkan dengan serangan ayan yang biasanya datang ketika istirahat atau pun tidur. Tetapi tidak seluruh cabang olahraga boleh mereka ikuti, sebab kita takut juga kalau-kalau mereka dapat serangan, misalnya di kolam renang", sambungnya pula. Pandangan-pandangan yang boleh dibilang baru ini agaknya bisa lebih cepat tersebar ke khalayak ramai, maklum dalam simposium itu turut juga hadir mereka yang bukan dokter, yang hanya sekedar pengurus yayasan sosial atau guru-guru dari sekolah luar biasa. Mereka juga ikut bicara. Berbeda dengan penyakit jantung atau kencing-manis, gejala-gejala penyakit ayan memang memedihkan perasaan. Tubuh kejang, mulut berbusa hilang kesadaran dan setelah serangan menunjukkan tabiat yang aneh, seperti bersikap garang atau malahan sampai melakukan tindakan-tindakan kekerasan, membunuh atau membakar. Namun itu semua bukanlah gambaran yang komplit tentang ayan. "Orang hanya menghubung-hubungkan penderita epilepsi dengan yang negatif. Padahal banyak di antara mereka yang malahan genial. Dostoyevsky misalnya". Sikap yang menyejukkan hati ini datang dari ahli syaraf dan Rektor UI, Mahar Mardjono. Lebih jauh lagi dia beranggapan bahwa "tingkahlaku yang aneh-aneh dari pendedta epilepsi bukanlah akibat dari penyakitnya sendiri, tetapi karena sikap lingkungan, termasuk sikap keluarga dan dokter yang merawatnya". Sebab menurut seorang dokter penderita ayan begitu gampang tersinggung. Perbuatan yang baik bisa berbalik sebagai sikap yang menimbulkan amarah. "Sebuah tepukan di bahu bisa membuat mereka mengamuk", kata dr Karnadi. Karena itu kesabaran dan pengertian dituntut banyak dari sanak famili dan para pengasuhnya, termasuk dokter. Memahami gejala penyakit ini tampaknya adalah satu di antara bekal yang baik dalam menghadapi penderita, begitu pun untuk penderita sendiri. Dinding Bergerak Menurut dr Karnadi menjelang terjadinya serangan berupa kejang dan akan hilangnya kesadaran, si penderita akan mendapat gangguan penglihatan, seperti ukuran benda-benda yang tampak berubah, bisa kelihatan tambah kecil atau tampak amat besar. Benda-benda tampaknya bergerak mundur atau sebaliknya malah mendekati. Suara-suara terdengar menjauh, atau mengeras hingga terdengar ribut dan kacau. Penglihatan kacau, dinding misalnya kelihatan seperti bergerak, hingga si penderita sulit menentukan langkahnya. Si pendeta mengalami perubahan alam perasaan. Dia mengalami serangan kekhawatiran yang kuat, merasa takut yang hebat hingga membuat dia lari karenanya. Kadang-kadang dia merasa putus asa. Perasaan demikian terjadi tanpa alasan dan bisa berlangsung beberapa menit. Rasa gembira jarang sekali. Kalau pun ada hanya rasa hening. Tanda-tanda luar pada fisik mereka kelihatan pada kepala yang terus bergerak-gerak dan mata yang seakan-akan mencari-cari sesuatu. Dia tak dapat beraksi dengan baik terhadap lingkungannya. Ia hilir mudik tanpa tujuan, komat-kamit tak karuan, mulut mengecap-ngecap padahal tak ada yang dimakan. Perangai ini bisa berlangsung sampai 10 menit. Tentang sebab-musababnya dr Soemargo, Kepala Bagian Syaraf RSCM mengatakan: "karena pelepasan tenaga listrik yang berlebihan dari otak". Menurut catatannya anak yang sukar dilahirkan atau terlalu gampang dilahirkan bisa membikin si anak satu ketika dapat serangan ayan. Virus campak, kenghus, kejang-panas dan kecelakaan yang menghantam kepala bisa pula mengakibatkan orang satu ketika akan jadi ayanan, katanya. "Lakilaki lebih banyak menderita dari perempuan", katanya. Tetapi berapa jumlah penderita ayan di negeri ini dia tak bisa mengatakan, karena belum ada pengumpulan data ke arah itu. "Serangan kejang-kejang, mulut berbusa dan hilang kesadaran pada penderita ayan tidak berbahaya, sebab serangan itu akan berhenti sendiri. Yang penting menghindarkan si penderita dari menggigit lidahnya sendiri, dengan jalan memasukkan benda empuk supaya digigitnya", katanya menasihatkan. Tentang apa yang membikin kekacauan listrik otak itu belum ada yang tahu. Tapi itu tak berarti penyakit ayan tak dapat diobati. "Sama seperti kencing-manis atau darah-tinggi kita tak tahu apa sebabnya, tapi kita punya obat penyembuhnya. Begitu pun dengan ayan ini, kita tak tahu penyebabnya, tapi kita punya obatnya", kata Dr Lumbangtobing yang bijak bicara itu. "Dari pengalaman di klinik Cipto Mangunkusumo, 60% dari penderita ayan yang masih kanak-kanak bisa disembuhkan. Namun tak semua penderita ayan dapat kami tolong. Disiplin penderita untuk berobat amat penting, karena pengobatannya bisa memakan waktu 3 tahun", kata Lumbantobing pula. Kalau begitu lumayanlah: ada kemajuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus