Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lho, entah, nol: semuanya bodoh

Putu wijaya tampil dengan karya berjudul "nol". tak beda dengan karya-karyanya "lho" dan "entah". putu dengan tiga karya itu mengajak penonton menghayal, takut dan terpesona.

4 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NOL Lakon: Putu Wijaya Sutradara: Putu Wijaya Produksi: Teater Mandiri *** SEPERTI Lho dan Entah, juga Nol masih dalam tahap Putu Wijaya sekarang: sebuah "teater bodoh". Dengan itu Putu Wijaya kurang lebih mengundang penonton bersikap sebagaimana sewaktu mereka menonton debus, sirkus, sulap, senam indah atau anak-anak bermain bebas di malam hari. Dalam sebuah percakapan, Arifin C. Noer -- yang menyenangi Putu Wijaya sebagai sutradara dalam Entah --mengatakan bahwa Entah ia tonton sebagaimana yang diminta Putu: ia seperti menyaksikan tontonan "rumah hantu" di Disneyland. Masalahnya seakan-akan hanyalah: bagaimana penonton sajabosan atau tidak. Tapi dengan segera terasa, bahwa seperti dalam Lho, dalam Nol pun ketrampilan untuk membikin betah bukanlah satu-satunya niat. Putu Wijaya di situ memberi garis bawah kepada suatu kesenian, yang bermula di pancaindera, lantas menembus ke gudang keamanan kabur kita tentang mimpi dan khayal kita sendiri -- termasuk mimpi dan khayal tentang hal-hal yang membikin kita takut tapi terpesona. Di pentas itu sejumlah laki-laki sibuk dalam cahaya lampu yang hanya terkadang kuning terang, berpakaian seperti sisa-sisa astronaut atau mungkin juga samurai yang ditinggalkan dari peperangan, dalam keadaan rombeng. Mereka diam, tapi bergerak. Sepasang wanita membawa bendera di tiang panjang. Ada jaring-jaring kelambu yang putih, terkadang diangkat melambai-lambai. Suatu ketika seorang pemuda naik ke tempat yang tinggi dan menyanyi lagu Cinta dengan suaranya yang oleng. Sementara itu juga seorang pemuda pendek naik jejangkungan (egrang - Jawa) bambu, dan dengan kedua kaki bambu itu menyepak-nyepak sebuah kepala manusia atau boneka yang berwajah merah dan memasukkannya ke dalam tong. Di suatu saat ada seseorang mengucapkan pesan-pesan, supaya anak-anak tenang, dan ia kemudian ternyata diseret dengan tali ke luar, tanpa menyebabkan ia berhenti menyuarakan pesan-pesannya yang monoton itu. Di saat lain seorang naik sepeda dengan kopor besi tua, berpakaian Jawa dan terjadi suatu upara perkawinan di mana semuanya menyanyi lagu Pengantin Baru . . . Sekali lagi, Putu mengelak dari suatu cerita. Ia telah menggantikan lakon dengan tontonan. Soalnya: apa yang dikehendakinya, sebenarnya? Lho, Entah, Nol-nya adalah kelanjutan dari "minikata" yang dibawa Rendra hampir 10 tahun yang lalu, di mana ia sendiri ikut giat. Hanya ia lebih berwarna, lebih kaya pula dalam permainan imaji, dan lebih efektif dalam menggabungkan ruang dengan gerak, gelap dengan cahaya, lelucon dengan kesunyian dan keseraman. Dan sepenuhnya, ia menampilkan apa yang nampaknya secara khusus bersifat Putu Wijaya: kesukaannya kepada yang rombeng, yang liat, yang kokoh, yang kotor, yang kasar, yang memburu-buru seperti mimpi ganas, antara kekejaman, kesayuan dan nonsens. Putu melukis, atau mungkin pula membuat satu set patung dan perabot, denan semua itu di pentas. Tapi saya telah menonton Lho, dan senang sekali. Melihat Nol rasanya melihat penegasan sekali lagi. Bagi Putu mungkin itu masih perlu. Ia mungkin belum merasa selesai dengan apa yang di dalam hatinya, meskipun untuk mengungkapkan itu ia tak nampak punya tambahan idiom sejak waktu Lho sampai dengan Nol. Idiomnya belum miskin, tapi daya sentuhnya belum majal. Barangkali seperti halnya penonton merasa punya hak untuk menonton suatu cerita lain atau suatu teater lain, juga seorang seperti Putu rasanya punya hak untuk memiliki penonton yang lain-yang tidak itu-itu juga. Ia perlu berjalan. Atau ia perlu untuk tidak terlalu dituntut mementaskan karya baru setiap satu kwartal. Sebab mungkin seorang seniman sebenarnya hanya perlu berkarya satu kali, menurut seutuh dirinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus