NOL
Lakon: Putu Wijaya
Sutradara: Putu Wijaya
Produksi: Teater Mandiri
***
SEPERTI Lho dan Entah, juga Nol masih dalam tahap Putu Wijaya
sekarang: sebuah "teater bodoh". Dengan itu Putu Wijaya kurang
lebih mengundang penonton bersikap sebagaimana sewaktu mereka
menonton debus, sirkus, sulap, senam indah atau anak-anak
bermain bebas di malam hari. Dalam sebuah percakapan, Arifin C.
Noer -- yang menyenangi Putu Wijaya sebagai sutradara dalam
Entah --mengatakan bahwa Entah ia tonton sebagaimana yang
diminta Putu: ia seperti menyaksikan tontonan "rumah hantu" di
Disneyland. Masalahnya seakan-akan hanyalah: bagaimana penonton
sajabosan atau tidak.
Tapi dengan segera terasa, bahwa seperti dalam Lho, dalam Nol
pun ketrampilan untuk membikin betah bukanlah satu-satunya niat.
Putu Wijaya di situ memberi garis bawah kepada suatu kesenian,
yang bermula di pancaindera, lantas menembus ke gudang keamanan
kabur kita tentang mimpi dan khayal kita sendiri -- termasuk
mimpi dan khayal tentang hal-hal yang membikin kita takut tapi
terpesona.
Di pentas itu sejumlah laki-laki sibuk dalam cahaya lampu yang
hanya terkadang kuning terang, berpakaian seperti sisa-sisa
astronaut atau mungkin juga samurai yang ditinggalkan dari
peperangan, dalam keadaan rombeng. Mereka diam, tapi bergerak.
Sepasang wanita membawa bendera di tiang panjang. Ada
jaring-jaring kelambu yang putih, terkadang diangkat
melambai-lambai. Suatu ketika seorang pemuda naik ke tempat yang
tinggi dan menyanyi lagu Cinta dengan suaranya yang oleng.
Sementara itu juga seorang pemuda pendek naik jejangkungan
(egrang - Jawa) bambu, dan dengan kedua kaki bambu itu
menyepak-nyepak sebuah kepala manusia atau boneka yang berwajah
merah dan memasukkannya ke dalam tong. Di suatu saat ada
seseorang mengucapkan pesan-pesan, supaya anak-anak tenang, dan
ia kemudian ternyata diseret dengan tali ke luar, tanpa
menyebabkan ia berhenti menyuarakan pesan-pesannya yang monoton
itu. Di saat lain seorang naik sepeda dengan kopor besi tua,
berpakaian Jawa dan terjadi suatu upara perkawinan di mana
semuanya menyanyi lagu Pengantin Baru . . .
Sekali lagi, Putu mengelak dari suatu cerita. Ia telah
menggantikan lakon dengan tontonan. Soalnya: apa yang
dikehendakinya, sebenarnya? Lho, Entah, Nol-nya adalah
kelanjutan dari "minikata" yang dibawa Rendra hampir 10 tahun
yang lalu, di mana ia sendiri ikut giat. Hanya ia lebih
berwarna, lebih kaya pula dalam permainan imaji, dan lebih
efektif dalam menggabungkan ruang dengan gerak, gelap dengan
cahaya, lelucon dengan kesunyian dan keseraman. Dan sepenuhnya,
ia menampilkan apa yang nampaknya secara khusus bersifat Putu
Wijaya: kesukaannya kepada yang rombeng, yang liat, yang kokoh,
yang kotor, yang kasar, yang memburu-buru seperti mimpi ganas,
antara kekejaman, kesayuan dan nonsens. Putu melukis, atau
mungkin pula membuat satu set patung dan perabot, denan semua
itu di pentas.
Tapi saya telah menonton Lho, dan senang sekali. Melihat Nol
rasanya melihat penegasan sekali lagi. Bagi Putu mungkin itu
masih perlu. Ia mungkin belum merasa selesai dengan apa yang di
dalam hatinya, meskipun untuk mengungkapkan itu ia tak nampak
punya tambahan idiom sejak waktu Lho sampai dengan Nol. Idiomnya
belum miskin, tapi daya sentuhnya belum majal. Barangkali
seperti halnya penonton merasa punya hak untuk menonton suatu
cerita lain atau suatu teater lain, juga seorang seperti Putu
rasanya punya hak untuk memiliki penonton yang lain-yang tidak
itu-itu juga. Ia perlu berjalan. Atau ia perlu untuk tidak
terlalu dituntut mementaskan karya baru setiap satu kwartal.
Sebab mungkin seorang seniman sebenarnya hanya perlu berkarya
satu kali, menurut seutuh dirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini