ADI Cahyo Kartiko, 22 tahun, dulunya sehat-sehat saja secara fisik. Paling tidak sampai ia duduk di bangku kelas tiga SMU. Suatu hari, tiba-tiba ia merasakan wajahnya membengkak. Jika kulitnya digaruk, timbul garis-garis lipatan (striae). Bau badannya pun tidak enak. Tensi darahnya tinggi, sampai 190/130 milimeter merkuri. Lama-lama rambutnya rontok, kulitnya menghitam dan pandangan matanya kabur. "Saya tak bisa berpikir dan seperti orang mabuk," tutur Adi, yang sekarang jadi mahasiswa ekonomi Universitas 17 Agustus Semarang.
Untuk mengetahui penyakitnya, Adi sempat pontang-panting ke sana-kemari. Ia sempat menjalani opname selama setahun. Ia bahkan harus ke Singapura segala untuk pemeriksaan hormon. Beruntunglah, ia kemudian menemukan Dr. Zainal Muttaqin, Ph.D., Sp.B.S., spesialis bedah saraf Rumah Sakit dr. Kariadi, Semarang.
Pertemuan dengan dokter ahli saraf sekitar tiga tahun lalu itu tidak hanya membuatnya tahu bahwa penyakit yang dideritanya adalah tumor hipofisis. Ia juga menjadi pasien pertama yang menjalani operasi tumor di kepalanya tanpa perlu "membuka" tengkorak kepala seperti yang sebelumnya harus dilakukan. Dengan teknik bedah mikro transsphenoid, atau yang biasa disebut TSS, tumornya bisa diangkat hanya dari celah selebar 3-4 sentimeter yang dibuat di sisi dalam bibir atas.
Menurut Zainal, teknologi kedokteran Indonesia sudah cukup maju. Untuk penanganan tumor hipofisis, pasien sebenarnya tak perlu repot-repot ke negeri tetangga, apalagi hanya untuk diagnosis. "Cukup di sini, sehingga biaya bisa ditekan serendah mungkin, bahkan untuk yang tidak mampu," kata Zainal.
Apa itu tumor hipofisis? Penyakit ini memang tak mematikan tapi bukan berarti tidak berbahaya. Tumor yang biasa menyerang orang pada usia produktif 20 sampai 40 tahun ini, bila membesar sampai ukuran beberapa sentimeter, dapat menyebabkan gangguan kesehatan serius, misalnya kebutaan. Ini mengingat letak tumor yang berimpitan dengan saraf optik. Tumor ini juga bisa menjadi salah satu penyebab wanita menjadi tak subur dan sulit mendapatkan keturunan.
Hal itu bisa terjadi karena tumor atau sel-sel yang tumbuh berlebihan di daerah kelenjar hipofisis di sekitar tulang dasar tengkorak, yang mengakibatkan zat yang dihasilkan pun melimpah. Fungsi pengaturan kelenjar hipofisis tak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, kelenjar berukuran 4 x 9 milimeter ini punya hubungan timbal balik dengan pusat otak yang mengatur gerak orang sehari-hari, misalnya berjalan, makan, atau minum.
Kelenjar hipofisis memproduksi berbagai hormon yang bila berlebihan menyebabkan pelbagai penyakit, misalnya gigantisme (pertumbuhan raksasa), akromegali (perubahan raut wajah dan tubuh akibat tulang membesar dan menonjol), penyakit cushing (ditandai oleh hipertensi, striae pada kulit, juga penimbunan lemak di daerah tertentu)—gejala-gejala seperti yang dialami Adi. Selain itu, hipofisis juga menghasilkan hormon prolaktin yang sangat berperan dalam proses ovulasi pada wanita dan pematangan sperma pada pria. Produksi hormon prolaktin yang berlebih, misalnya, dapat menyebabkan seorang wanita mengalami gangguan menstruasi.
Untuk mengatasi tumor itu, tindakan yang harus ditempuh adalah operasi. Sebab, sampai saat ini tak ada satu pun obat yang bisa menghentikan laju perkembangan tumor hipofisis, kecuali memperlambat pertumbuhannya saja. Meski penyakit ini diperkirakan diderita 15 dari setiap 100 ribu orang penduduk Indonesia per tahun, tampaknya informasi tentang operasi ini tak terlalu menjangkau khalayak. Indikasinya paling tidak terlihat di Semarang. Sejak dikembangkan Zainal di ibu kota Jawa Tengah tiga tahun lalu, baru 20 pasien yang ditanganinya.
Teknik temuan Harvey Chusing itu, yang sebenarnya telah ditemukan sejak 30 tahun lalu tapi baru belakangan masuk ke Indonesia, agaknya merupakan teknik yang paling optimal untuk menangani tumor hipofisis. Selain tak berisiko tinggi terhadap terjadinya cedera akibat komplikasi jaringan otak, waktu, dana, dan tingkat keberhasilannya teruji di lapangan.
Dengan TTS hanya dilakukan kuretasi sedikit demi sedikit tanpa menyentuh jaringan otak sama sekali. "Saya telah membuktikannya pada pasien yang saya tangani," kata ahli bedah saraf yang pertengahan tahun lalu sukses memelopori operasi epilepsi pertama di Indonesia itu.
Bedanya dengan teknik konvensional, teknik yang relatif baru ini tak harus membuka sebagian batok kepala untuk mengambil jaringan yang terletak di belakang dasar otak depan. Karena itu, teknik yang lama berisiko lebih besar daripada TTS. Pada teknik lama ada kemungkinan jaringan otak terkomplikasi dan mengakibatkan fungsi otak pasien terganggu.
Kelebihan teknik bedah transfenoid dibanding yang konvensional tak hanya itu. Lama operasi, misalnya, cukup singkat, sekitar empat jam. Padahal, operasi tumor otak pada umumnya membutuhkan waktu 8 sampai 10 jam. Dari segi lama perawatan di rumah sakit, bedah ala Cushing hanya butuh waktu sepekan alias lebih cepat satu minggu ketimbang cara biasa. Biaya yang diperlukan pun lebih sedikit, yakni Rp 1 juta (perawatan di bangsal) hingga Rp 6 juta (perawatan kelas satu).
Adapun tingkat keberhasilan operasi transfenoid tergantung ukuran tumor. Pada tumor yang masih berukuran kecil, kurang dari sepuluh milimeter, angka keberhasilannya seratus persen. Kondisi pasien pasca-bedah pun sejauh ini baik. "Setelah operasi, penyakit saya tidak pernah kambuh lagi. Alhamdulillah, saya sehat sampai sekarang," kata Adi.
Wicaksono, Adi Prasetya (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini