Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NIRMA Suharto baru berusia 29 tahun. Dia merasa bak divonis mati ketika tahu mengidap spinal muscular atrophy (SMA). Penyakit ini sungguh mengerikan. Dia melemahkan sistem otot, membuat penderita sulit berjalan, menggerakkan leher dan kepala, serta bernapas dan menelan. Karena otot pernapasannya terganggu, pasien juga rentan terserang gagal paru-paru.
Kini ia harus duduk di kursi roda. Nirma juga menderita pneumonia. Namun sekilas alumnus Universitas Atma Jaya Jakarta ini tampak sehat-sehat saja. Tapi kondisinya niscaya terus melemah. Menurut dokter, ibu satu anak ini tak punya harapan sembuh. Penderita penyakit langka ini umumnya tak hidup lama. Pengidap SMA tipe 1—jenis yang terparah—hanya bertahan hidup beberapa bulan. Nirma memang ”hanya” mengidap SMA tipe 3, yang membuatnya bisa bertahan lebih lama, hingga belasan tahun.
Gejala penyakit ini sebenarnya sudah lama ada. Sejak kecil dia sudah sulit berjalan. Namun warga Ciganjur, Jakarta Selatan, ini diduga terkena polio, yang gejalanya mirip. Baru ketika dewasa ia tahu penyakit sebenarnya. Meski syok, ia tetap berusaha sembuh. Berbagai jenis pengobatan—medis dan tradisional—telah dilakoninya. Tapi tak ada kemajuan. Otot-ototnya makin lemah.
Sulung dari dua bersaudara ini hampir putus asa. Sampai akhirnya ia mendapat info transplantasi sel inti (stem cell) di Meksiko. Biayanya sangat mahal. Satu kali injeksi sel mencapai US$ 10 ribu (sekitar Rp 94 juta). Belum termasuk ongkos rumah sakit dan biaya hidup selama di sana. Ketika bersiap untuk terbang itulah, ia mendapat kabar baik: transplantasi kini bisa dilakukan di Jakarta. Nirma langsung berkonsultasi dengan dokter untuk mempersiapkan operasinya.
Terobosan baru ini dipaparkan Michael Molnar, pakar transplantasi sel inti, di Hotel Manhattan, Jakarta, pertengahan bulan lalu. Dokter Amerika Serikat kelahiran Slovakia ini datang ke Indonesia untuk berkeliling ke sejumlah fakultas kedokteran membagikan ilmunya.
Sel inti adalah sel makhluk hidup yang memiliki kemampuan membelah diri. Kemampuan inilah yang dimanfaatkan untuk mengobati penyakit kronis yang tak mempan lagi disembuhkan obat. Sejak 1998 hingga kini, pengolahan sel inti hanya dilakukan di laboratorium Bio Cellular Research Organization (BCRO) di Slovakia. Sel inti yang diproduksi di sanalah yang akan dikirim untuk pasien di negara-negara yang sudah mampu melaksanakan transplantasi. Syukur, sejak awal tahun ini, Indonesia sudah bisa melakukannya.
Menurut dokter Suharto, Direktur BCRO Indonesia, transplantasi sel inti sudah dilakukan di Indonesia sejak enam bulan lalu. Tepatnya di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut dokter spesialis olahraga ini, sudah ada 18 orang pasien yang menjalani operasi ini. Sebagian besar mengidap diabetes melitus, namun ada juga yang menderita penyumbatan pembuluh darah jantung dan sejumlah penyakit lain.
Pencangkokan sel inti merupakan buah penelitian dokter Molnar sejak 1976. Dia ingin mencari alternatif pengobatan bagi penyakit yang tak dapat disembuhkan atau yang pengobatannya tak efektif lagi.
Yang bisa disembuhkan dengan sel inti antara lain diabetes tipe 2 dan campuran tipe 1 dan 2 (terutama yang sudah ada komplikasi), kekurangan hormon yang tak bisa ditangani lagi lewat terapi sulih hormon, menopause dini, dan beberapa penyakit kandungan yang parah. Penyakit yang menyangkut sistem kekebalan, seperti AIDS dan kanker, serta penyakit sistem saraf pusat, seperti parkinson, juga bisa disembuhkan dengan terapi ini. Selain itu, transplantasi sel inti bisa mengatasi penyakit down syndrome pada anak.
Pengobatan ajaib? Dokter Molnar sejak awal mengatakan cangkok sel inti bukanlah obat dewa yang bisa begitu saja menyembuhkan segala penyakit. Ia menjelaskan, pada dasarnya tubuh manusia memiliki sekitar 200 macam sel. Masing-masing memiliki kemampuan berbelah, sehingga setiap hari akan muncul sel baru menggantikan yang lama. Usia setiap sel berbeda-beda. Sel darah putih, misalnya, umurnya hanya delapan hari dan sesudahnya berganti dengan yang baru.
Dokter Suharto yang juga Sekretaris Jenderal Perhimpunan Kedokteran Anti-Penuaan Indonesia menambahkan, karena berbagai faktor—termasuk gaya hidup dan kesehatan—kemampuan tiap orang meremajakan sel berbeda-beda. Bahkan ada sel yang salah tumbuh—inilah yang disebut kanker. Nah, transplantasi sel inti dibutuhkan bagi mereka yang tubuhnya tak mampu (atau lambat) memproduksi sel baru lagi.
Sel inti ini memiliki beberapa keuntungan. Tak seperti banyak obat yang mengandung immunosupressan (penekan sistem kekebalan tubuh), stem cell bekerja tanpa melemahkan sistem kekebalan. Selain itu, karena ia adalah makhluk hidup, sel inti tak mendapat penolakan oleh tubuh. Bahkan, kata Molnar, begitu dimasukkan ke tubuh, sel inti secara otomatis akan bergerak ke organ yang rusak atau sakit. Suharto menyebut sel inti sebagai sel yang sangat mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Dokter di Rumah Sakit Pondok Indah ini mengibaratkan bila sel induk masuk kandang kambing, dia langsung mengembik.
Yang kerap menjadi pertanyaan, dari mana asal sel inti ini. Apakah ada sejumlah orang yang menyumbangkan di Slovakia sana? Memang, seperti dikemukakan Molnar, ada tiga jenis transplantasi sel inti. Pertama, sel yang berasal dari tubuh si pasien sendiri. Misalnya, tali pusar yang menghubungkan ibu dan anak. Kedua, sel orang lain. Ketiga, dari hewan. Nah, laboratorium BCRO memproduksi sel inti dari janin kelinci. Hewan ini diternakkan secara khusus dalam koloni tertutup selama 30 tahun. Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam penangkaran khusus yang tak tersentuh dunia luar.
Berdasarkan sejumlah penelitian, kelinci adalah satu-satunya binatang percobaan yang bebas virus. Meski demikian, Molnar mengingatkan, metode transplantasi disesuaikan dengan kondisi tiap-tiap pasien. Penggunaan hewan ini untuk kepentingan medis telah dinyatakan aman dan sah oleh hukum Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya. Dari Tanah Air, Suharto mengatakan—tak seperti babi—sel kelinci tak menimbulkan perdebatan dan sudah diterima kalangan pemuka agama di Indonesia.
Salah satu keuntungan sel inti dari kelinci adalah ia selalu tersedia setiap saat dalam jumlah berlimpah. Berbeda dengan sel inti dari manusia yang terbatas persediaannya. Hingga kini, dokter Molnar telah menangani lebih dari 5.000 pasien—langsung ataupun di bawah supervisinya—di berbagai negara, misalnya Amerika Serikat, Swiss, Jerman, Pakistan, Afrika Selatan, dan Nigeria. Juga negara tetangga, Singapura dan Malaysia.
Karena sel inti ini hidup, penanganannya harus sangat hati-hati. Ia hanya bertahan hidup di luar kulturnya maksimal tiga hari. Maka, waktu pengiriman harus diperhitungkan dengan cermat. Dokter Suharto menceritakan, gara-gara badai di Amerika, pengiriman sel inti ke Tanah Air hampir tertunda. Para dokter dan keluarga pasien di Rumah Sakit Pondok Indah sudah sangat cemas sel ini tidak sampai pada waktunya. Untunglah, sel penyelamat ini akhirnya tiba juga dengan selamat. Operasi pun sukses.
Andari Karina Anom, Vennie Melyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo