Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengisap rokok elektrik juga berisiko terkena COVID-19 lebih tinggi seperti rokok tembakau. Begitu kata dr. Feni Fitriani Taufik, SpP(K) dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyebutkan survei daring pada Mei 2020 terhadap 4.351 orang usia 13-24 tahun menemukan diagnosis COVID-19 lima kali lebih mungkin pada pengguna rokok elektrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tujuh kali lebih mungkin pada dual user (rokok konvensional dan elektrik) dan 6,8 lebih mungkin pada pengguna dual user selama 30 hari terakhir serta gejala terlihat hampir lima kali lebih banyak pada pengguna dual user selama 30 hari terakhir," jelasnya.
Dia pun memaparkan alasan mengapa rokok elektrik bisa meningkatkan risiko terkena COVID-19. Pertama, rokok elektrik dapat merusak paru dan mengganggu sistem imunitas. Ketika paru rusak dan imunitas turun, orang bakal lebih rentan dan lebih mudah terserang virus. Selain itu, aerosol dari rokok elektrik bisa berupa doplet yang mengandung virus.
Perilaku pengguna rokok elektrik juga berisiko, di mana ada kontak dari tangan ke mulut berulang-ulang untuk mengisap rokok. COVID-19 bisa tersebar lewat percikan, orang bisa tertular jika menyentuh permukaan benda yang terkena percikan, kemudian memegang mata, hidung, atau mulut.
Ketika merokok, orang harus membuka masker agar bisa mengembuskan asap sehingga risiko tertular juga lebih besar. Ia mengatakan mitos dan fakta dari rokok elektrik yang biasanya dikonsumsi anak muda dan membantah anggapan rokok elektrik merupakan alat bantu untuk berhenti merokok.
Ada rokok elektrik yang mengandung nikotin. Yang dipakai adalah garam nikotin yang memungkinkan penghirupan dosis nikotin lebih tinggi. Satu minipod nikotin pada rokok elektrik sama dengan 20 rokok konvensional. Nikotin pada rokok elektrik juga bisa menyebabkan ketergantungan.
Dia mengingatkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan rokok elektrik berpotensi jadi pintu gerbang remaja menggunakan rokok konvensional dan narkoba. Kehadiran rokok elektrik menyebabkan perilaku merokok di masyarakat jadi sesuatu yang normal.
Dia memaparkan rokok elektrik memang menarik hati generasi muda karena penampilan, alat, hingga rasa. Namun, pengguna rokok elektrik justru cenderung bisa menggunakan rokok konvensional kelak.
"Dari penelitian, pengguna rokok elektronik selama sebulan, kemungkinan tujuh kali lebih besar merokok konvensional di masa depan. Ujung-ujungnya jadi perokok juga," tuturnya.
Zat yang terkandung dalam larutan rokok elektrik antara lain nikotin, propilen glikol, dietilen glikol, gliserol, dan perisa. Inilah yang membuat rokok elektrik menarik bagi anak muda karena punya varian rasa beragam dan mereka pula yang disasar oleh produsen. Menurut WHO, ada sekitar 8.000 jenis perisa.
"Aslinya bahan-bahan ini yang biasa dimasukkan untuk makanan, tapi begitu dimasukkan sebagai perisa pada rokok elektrik juga berbahaya bagi saluran napas," paparnya.
Kandungan-kandungan dalam cairan rokok elektrik berdampak buruk pada kesehatan, seperti nikotin, yang menimbulkan kecanduan, juga zat-zat lain yang bisa mengiritasi saluran napas dan paru, peradangan paru, jantung, sistemik, kerusakan sel, dan karsinogen. Dia menyimpulkan rokok elektrik juga berbahaya untuk kesehatan.
"Jangan mulai merokok karena Anda tidak tahu kapan bisa berhenti. Berhenti merokok apa pun jenisnya merupakan pilihan terbaik demi kesehatan jangka panjang," imbaunya.
#CuciTangan #JagaJarak #PakaiMasker