Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bikin Hidup Lebih Hidup

Klub petualangan yang berbasis milis makin banyak peminat. Sebuah arena pertemanan yang cukup seru.

21 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada yang lebih megah dari pentas alam. Cairan lava meleleh, kawah bergolak mengepulkan asap, juga suhu membeku di puncak gunung. Segalanya serba ajaib dan menakjubkan. "Membuat kecanduan," kata Budiono Mangunsaponco.

Lelaki 36 tahun ini sudah kecanduan mendaki gunung sejak usia sangat muda: delapan tahun. "Gara-gara suka manjat pohon sawo," kata Budiono, yang menghabiskan masa kecil di Kampung Ngadiwinatan, Yogyakarta. Di ranting-ranting pohon sawo inilah, Budiono sering melihat kilauan lahar merah di puncak Gunung Merapi pada malam hari.

Sejak itu pesona gunung datang padanya. Bersama beberapa kawan sebaya, ditemani seorang kakak yang juga pendaki gunung, Budi kecil menuju puncak Merapi. "Pendakian pertama saya," katanya bangga.

Merapi adalah langkah awal. Budiono tumbuh dipenuhi rasa penasaran ingin menghampiri puncak-puncak gunung lain. Argopuro, Semeru, Merbabu, Salak, Slamet, Gede Pangrango, Rinjani, Dempo, Kerinci, telah dia daki. Begitu seringnya mendaki, Budi sampai hafal karakter khas gunung di sebuah wilayah. Pegunungan di Jawa Tengah, contohnya, menyuguhkan medan yang terjal menantang. Sedangkan gunung di Jawa Timur lebih landai, tidak terlalu terjal, dengan bentang alam (landscape) yang luar biasa indah. Misalnya, kita bisa menjumpai hamparan padang rumput savana di tengah hutan lebat. "Perjalanan mendaki gunung di Jawa Timur enggak bakal ngebosenin," katanya, "Banyak kejutan menanti."

Dua tahun terakhir, Budiono melanjutkan, kegiatan mendaki gunung terasa lebih menyenangkan. Sebab, "Saya menemukan komunitas pendaki yang sangat asyik," katanya, "namanya Pangrango."

Pangrango bukan klub konvensional. Komunitas virtual, berdiri pada 2001, ini memanfaatkan fasilitas mailing list yang disediakan Yahoo. Sampai pekan lalu, tercatat 572 orang menjadi anggota milis yang mewakili model baru klub petualangan ini. Bersama Pangrango juga terdapat sederetan milis terkemuka, misalnya Pendaki, Jejak Alam, Jejak Petualang, Merbabu, Argopuro, High Camp, Gunung, Higapala, dan Indonesia Adventure. Kegiatan outdoor yang ditawarkan juga beragam, mulai dari panjat tebing, arung jeram, menyelam, mendaki gunung, menyusuri gua, bersepeda, sampai berburu obyek foto di alam bebas.

Betul, klub petualangan sama sekali bukan cerita baru. Pendakian gunung pernah sangat populer setelah Soe Hok Gie, tokoh aktivis mahasiswa, meninggal tercekik gas beracun di Mahameru, puncak Gunung Semeru. Kemudian, pada era 1980 dan 1990, hampir semua cerpen remaja di majalah Gadis, Hai, Aneka, mengisahkan romansa para pendaki gunung yang memetik serumpun bunga edelweis untuk sang pacar.

Namun ada yang membedakan klub-klub pencinta alam yang ada sekarang dengan generasi pendahulunya. Pada tahun 1980 dan 1990-an, basis klub adalah perguruan tinggi atau sekolah seperti mahasiswa pencinta alam (mapala) di berbagai kampus. Perekrutan anggota klub semacam ini biasanya dilakukan sekali setahun. Prosesnya juga dilengkapi ujian, gojlokan (inisiasi), dan pembekalan teknik yang tak bisa dilalui semua calon anggota dengan mulus.

Sementara itu, pada zaman sekarang, klub pencinta alam bersifat lebih terbuka dan egaliter. Pendaftaran anggota dibuka setiap saat. Prosedurnya pun amat gampang, tinggal klik kolom formulir Join This Group yang tersedia di http://groups.yahoo.com. Penggojlokan anggota baru? "Enggak laku di sini," kata Budi Mulyana, 24 tahun, moderator milis Pendaki.

Mengingat proses perekrutan yang begitu terbuka, menurut Budi Mulyana, otomatis anggota milis juga datang dari latar belakang yang amat beragam. Ada yang sudah terbiasa mendaki sejak kecil, seperti Budiono Mangunsaponco, tapi tidak sedikit anggota yang sama sekali buta teknik pendakian gunung. Kerap terjadi, dalam sebuah aktivitas pendakian, ada anggota yang salah kostum, mengenakan sandal mencorong berhak tinggi. "Kayak pergi mejeng ke mal aja," kata Budi sambil tertawa.

Beragamnya kemampuan anggota juga tampak dalam perjalanan menyeberangi laut dan mendaki Rakata, anak Gunung Krakatau. Perjalanan yang juga diikuti tim TEMPO ini digelar milis Jejak Alam, awal Juni lalu. Tiga puluh peserta datang dari beragam profesi, ada pegawai negeri, karyawan swasta, jurnalis, fotografer, sampai aktivis lingkungan hidup.

Rentang kemampuan fisik dan teknis para peserta ini amat luas. Ada yang sudah menyerah bahkan sebelum perjalanan menca-pai separuh, ada yang cukup puas sampai di tengah dan menyaksikan Rakata dikepung biru laut, tapi beberapa orang terus mendaki sampai ke puncak tertinggi. "Sensasional. Bisa menapak Gunung Rakata yang sedang tumbuh," kata Tries Razak, anggota Jejak Alam yang sukses mendaki sampai ke puncak Rakata.

Puas menyambangi Rakata, rombongan Jejak Alam kembali ke kapal bermotor dan melanjutkan pelesir ke Krakatau Besar. Di pesisir gunung induk Rakata ini, rombongan menikmati pasir putih, terumbu karang, serta ikan warna-warni yang berseliweran. "Ini yang gue tunggu dari tadi," kata Tries, yang bangga disebut Miss Terumbu Karang.

Begitu perahu merapat, gadis manis ini dengan sigap mengenakan kostum renang dan kaca mata khusus snorkeling. Tubuhnya yang lincah nyemplung ke laut menelusuri labirin terumbu karang. "Sini, siapa yang mau dibantuin snorkeling?" Tries berteriak menawarkan pertolongan. Dia paham betul, sebagian kawan rombongannya tak bisa berenang, apalagi snorkeling atau menyambangi terumbu karang dari permukaan laut.

Sabat Dilpamayo, 27 tahun, anggota aktif milis Pangrango, merasakan betul iklim persahabatan di milis petualangan. Kegiatan di alam terbuka, dengan segenap tantangannya, memang memunculkan relasi yang akrab di antara sesama anggota. Keakraban yang antara lain terwujud dalam bentuk guyonan seru yang diwarnai saling cela di antara anggota. "Benci tapi rindu, gitu," kata Sabat yang karyawan perusahaan farmasi ini.

Keakraban makin nyata karena latar belakang anggota yang sangat berwarna. Mayoritas anggota milis Pangrango, Sabat menjelaskan, adalah para profesional yang gemar kegiatan di alam terbuka. Bersepeda, panjat tebing, arung jeram, menyelam, snorkeling, dan tentu saja mendaki gunung adalah menu utama di masa-masa kuliah. Zaman ketika hidup bisa dinikmati dengan leyeh-leyeh, leluasa dan nyaman.

Namun, apa boleh buat, rutinitas dunia kerja membuat banyak kesenangan jadi menguap. Kegiatan outdoor jadi tereliminasi dari jadwal sehari-hari. Hidup seperti diserap penuh oleh pekerjaan rutin. "Teman-teman masa kuliah, yang dulu sering jalan bareng, juga sudah pada hilang dari peredaran," kata Sabat.

Pada titik inilah milis petualangan amat bergu-na. Para begundal—istilah khusus untuk anggota Pangrango—lantas berbagi informasi di ruang maya, bertukar canda, dan merancang perjalanan bersama. Dua tahun lalu, misalnya, Pangrango bersama milis Pendaki dan OGKL (Orang Gunung Kuala Lumpur, dari Malaysia) menggelar pendakian bareng ke Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP). Pernah pula Pangrango mengadakan kegiatan sosial "Operasi Bersih" rute pendakian menuju puncak Gunung Gede. Terakhir, Mei 2003, Pangrango menggelar perjalanan mendaki puncak Gunung Kerinci, Sumatera Selatan, yang diikuti 40 peserta.

Berbagai kegiatan pendakian inilah yang akhirnya memunculkan tali persaudaraan yang erat di antara peserta. "Ke mana pun kita pergi, selalu ada kawan," kata Budi Mulyana dari milis Pendaki. Pergi ke Surabaya, Sumatera, Sulawesi, ada anggota milis yang dengan suka cita menyediakan diri untuk jadi guide dan teman jalan. "Tidak bakal kesepian," kata Budi.

Fachry alias Abah, juga begundal Pangrango, membenarkan betapa erat persahabatan di kalangan anggota milis. "Seperti saudara dekat," katanya, "suka kangen kalo lama enggak ketemu." Itulah sebabnya, beberapa milis—terutama High Camp, Pendaki, Pangrango, dan Jejak Alam—kerap menggelar aktivitas pertemuan offline. Kerap kali, kopi darat itu berupa pendidikan praktis mengenai pendakian, pelatihan teknik survival di alam, pelatihan fotografi, atau sekadar camping bersama di perkemahan.

Ada lagi aktivitas kopi darat yang tak kalah seru. Setiap Rabu dan Jumat malam, 30-40 orang anggota milis bertemu di Pasar Festival, Jalan Rasuna Said, Jakarta. Di sini mereka melatih kemampuan fisik dengan latihan memanjat dinding. Latihan biasanya dilanjutkan dengan berkumpul di Pintu VII Gelora Bung Karno, Senayan. "Kita lari beberapa putaran," kata Fachry.

Tentu saja bukan panjat dinding dan lari benar yang jadi daya pikat utama. Guyonan, ketawa-ketiwi, dan kebersamaan dengan kawan-kawan sehati itulah yang dinanti para begundal. Kata Fachry, "Bikin hidup lebih hidup."

Mardiyah Chamim


Alamat Milis Petualangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus