Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila Aditya Utama malas makan, Hartiti, sang ibu, tak sulit membujuknya. Gampang. Anak lelaki tiga tahun itu tinggal diajak makan di rumah kakek—sebuah restoran cepat saji yang punya simbol wajah orang tua—pasti langsung bergegas. ”Makan lahap minta tambah,” kata Hartiti. Menunya satu paket dengan minuman manis bersoda yang tersedia. Pola makan Aditya seperti itu praktis berjalan setiap hari.
Bagi Hartiti, resep itu sangat praktis. Tak usah repot-repot mencari variasi masakan yang menggugah selera. Restoran kakek bisa dicapai dengan menyeberang jalan dari rumahnya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Aditya tetap sehat, badannya pun gembil. ”Gemuk malah lucu,” katanya.
Hartiti boleh tenang-tenang saja, tapi para dokter gizi medik tidak. Kebiasaan makan dan minum Aditya yang tinggi kadar gula dan lemak tapi minim serat itu bisa memicu kelebihan gizi. Ketika kekurangan gizi masih menjadi momok di negara ini, kelebihan gizi ternyata sudah lebih mengancam. Berbeda dengan kurang gizi, kelebihan gizi lebih tak pandang bulu. Anak orang dengan status ekonomi pas-pasan pun bisa terkena. ”Tidak cuma menyerang anak kaya, tapi juga anak miskin, bahkan yang di desa-desa,” ujar Hardinsyah, guru besar ilmu gizi Institut Pertanian Bogor.
Semua itu dipicu oleh lingkungan, dengan ketersediaan makanan dan minuman tinggi gula di pasaran yang disukai anak-anak seperti Aditya. Masalah tersebut menjadi perhatian khusus dalam Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) di Semarang akhir pekan dua minggu lalu. ”Masalah gizi berlebih tak kalah serius,” kata dokter Saptawati Bardosono, Sekretaris Jenderal PDGMI, di sela kongres.
Wujud nyata kelebihan gizi adalah obesitas. Dalam kongres dibahas bahwa kegemukan yang mengkhawatirkan adalah yang dipicu oleh ketidaktahuan atau tidak hirau terhadap asupan makanan—makanan cepat saji, yang sering disebut makanan ”modern”, atau minuman kemasan dengan kadar gula tinggi, yang menjadi favorit anak-anak. Sebab, obesitas seperti itu merupakan salah satu faktor utama yang memicu penyakit non-infeksi (non-communicable diseases), seperti hipertensi, stroke, dan diabetes.
Obesitas berikut risikonya sudah marak di negara maju dan berkembang—biasa disebut sindrom dunia baru (new world syndrome). Di Indonesia, ancaman itu kian disadari setelah data hasil Riset Kesehatan Dasar pada 2007 menunjukkan setidaknya 19,1 persen kasus berat badan berlebih dan obesitas berdasarkan indeks massa tubuh pada penduduk berusia di atas 15 tahun. Angka itu melebihi angka kekurangan gizi dan gizi buruk pada anak berusia di bawah lima tahun, yang besarnya 18,4 persen.
Nah, bila gizi berlebih sudah dialami sejak kanak-kanak, tentu sangat mengkhawatirkan karena sama halnya dengan menyiapkan generasi yang rentan. Beragam studi yang dikutip ahli gizi dari Universitas Gadjah Mada, Hamam Hadi, menunjukkan adanya kecenderungan anak obesitas tetap mengalami obesitas pada masa dewasanya. Menurut hasil survei yang dilakukan terpisah di sejumlah kota besar Indonesia, prevalensi gizi berlebih anak-anak dan remaja berada di kisaran 7-20 persen.
Obesitas secara umum adalah kondisi tidak normal karena timbunan jaringan lemak berlebih. Standar obesitas bisa dari indeks massa tubuh, yakni perbandingan berat dalam kilogram dan tinggi badan satuan meter kuadrat di atas angka 30. Pada anak, ada kurva standar yang biasa digunakan. ”Di atas angka 100 sudah kategori obesitas,” kata dokter spesialis anak dari Rumah Sakit Internasional Bintaro, Nita Ratna Dewanti.
Untuk jangka pendek, obesitas pada anak ini memunculkan gangguan ortopedis pada tulang. Karena beban pada tulang terlalu berat, aktivitas fisik pun terganggu. Beban sangat dirasakan terutama pada tulang penyangga seperti tulang belakang dan kaki. ”Masa kanak-kanak seharusnya waktunya tumbuh dan berkembang. Itu bisa terhambat sehingga berkembang tidak normal saat besar,” kata Nita.
Untuk jangka panjang, ada berderet potensi penyakit yang mengancam seturut obesitas pada anak-anak. Diabetes melitus tipe dua, misalnya, datang lebih dini karena itu. Penyakit ini adalah gangguan metabolisme karena kekurangan insulin atau kerja insulin tidak optimal. Insulin adalah hormon yang dilepas pankreas untuk mempertahankan kadar gula darah yang meningkat setelah makan-minum. Pola gangguannya hampir sama dengan gangguan pada tulang. Obesitas membuat sel beta pankreas kelelahan sehingga kerja insulin tidak optimal.
Gangguan kesehatan lain yang menanti adalah yang terkait dengan pembuluh darah (kardiovaskuler). Memang pangkal masalahnya adalah perlemakan yang menjalar akibat timbunan yang berlebih. ”Lemak menempel di pembuluh darah,” ujar Nita. Tempelan lemak itu akan menimbulkan plak-plak sehingga pembuluh darah menyempit. Dari sini, berbagai penyakit muncul sesuai dengan pembuluh darah mana yang menyempit itu, bisa di jantung, otak hingga stroke, juga gangguan ginjal.
Namun penyakit-penyakit tersebut tidak muncul dalam waktu dekat, tapi lima sampai sepuluh tahun kemudian. ”Jika obesitas keterusan sampai dewasa dan pertahanan tubuh lain tidak dikendalikan,” kata Nita. Saat masih kanak-kanak, organ-organ tubuh masih dalam kondisi baik sehingga memungkinkan terjadinya kompensasi atas kerusakan-kerusakan.
Mencegah ancaman obesitas itu bisa dilakukan sejak awal, yakni dengan mengendalikan obesitas sebagai akar masalahnya. Untuk itu, Hardinsyah menunjuk orang tua sebagai penanggung jawab utama. ”Yang mengajarkan asupan yang tidak bagus, ya, orang tua,” katanya.
Hardinsyah tidak asal main tuduh. Sebelumnya, para peneliti dari UCLA Center for Health Policy Research, Amerika Serikat, menegaskan temuan bahwa anak cenderung makan dan minum mengikuti orang tuanya. Pilihan anak mau makan sayuran dan buah atau makanan cepat saji berikut minum soda bergantung pada kebiasaan orang tua di rumah.
Obesitas terjadi karena asupan energi tinggi dan tidak diimbangi dengan keluaran energi—makan-minum berlebih, tapi aktivitas fisik kurang. Ini soal gaya hidup yang tidak sehat. Kebiasaan minum manis, misalnya. Dari sisi pemasukan sumber energi, ini menjadi kontraproduktif karena asupan minuman itu tidak menghilangkan asupan makanan. ”Kalorinya sebenarnya sudah cukup, tapi bagaimanapun tetap butuh makan,” kata Hardinsyah. Kelebihan glukosa dari hasil pencernaan makanan itu akan diubah menjadi lemak yang terus tertimbun.
Asupan tanpa perhitungan pengeluaran energi itu terkait dengan mekanisme seluruh tubuh, termasuk kontrol otak. Dalam hal ini, ada hipotesis umum bahwa tubuh manusia mempunyai pertahanan lebih kuat untuk melawan kekurangan gizi dan kehilangan berat badan dibanding pertahanan untuk melawan konsumsi yang berlebih dan kelebihan berat badan.
Kondisi itu menjadi makin parah dengan kebiasaan seperti kasus Aditya di atas: rutin mengkonsumsi makanan cepat saji tinggi kalori dengan kadar lemak dan garam tinggi. Tentang hal ini, hasil penelitian Hamam Hadi dan tim tujuh tahun lalu sudah membuktikannya: perbandingan angka obesitas pada anak remaja di perkotaan dan di pedesaan di Yogyakarta yang tajam, yakni 7,9 dan 2 persen, dengan pengaruh utama kebiasaan makan makanan cepat saji itu. Anak remaja yang mengalami obesitas tercatat dua hingga tiga kali lebih sering mengkonsumsi masakan cepat saji.
Setelah makanan habis, penutupnya pun minuman berkalori tinggi. Seberapa pekat kadar kemanisan minuman ringan, dokter Saptawati punya gambaran. ”Seperti minum dengan 12 sendok gula,” katanya. Memang, sepertinya minta makan ke ”rumah” kakek perlu dibatasi. ”Bolehlah, tapi sesekali,” kata Saptawati.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo