Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dari BRIC ke IBRIC?

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri*

Xavier Sala-i-Martin nama ekonom itu. Mungkin tak dikenal luas di Indonesia. Tapi di kalangan ekonom—terutama yang mempelajari soal pertumbuhan ekonomi—Sala-i-Martin bukan orang asing. Bersama Robert Barro, bukunya yang berjudul Economic Growth menjadi rujukan klasik dalam studi tentang pertumbuhan ekonomi. Selain itu, bersama Elsa Artadi, ia menulis Global Competitiveness Report yang terkenal itu, yang kerap dijadikan rujukan sejauh mana perbaikan daya saing berbagai negara, termasuk Indonesia. Awal November 2010 ini Profesor Xavier Sala-i-Martin akan datang di Jakarta dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Bank Mandiri. Saya tak tahu persis bagaimana pandangan dia tentang Indonesia. Tapi lepas dari pesimisme yang ada, Indonesia punya potensi untuk menempatkan diri dalam jajaran elite perekonomian global. Mampukah kita menjadi negara berikut yang masuk dalam kategori BRIC, atau apakah BRIC akan menjadi IBRIC?

Modigliani dan Blumberg pernah menulis soal Life-cycle hypothesis, yang menyebutkan bahwa pola konsumsi dan tabungan akan dipengaruhi oleh siklus umur manusia. Pada masa kanak-kanak—karena tidak ada pendapatan—tingkat tabungan akan negatif (orang tua membiayai anaknya). Dalam periode produktif (15-65 tahun), orang berpotensi memiliki tabungan, karena pendapatannya lebih besar dibanding konsumsinya. Adapun pada kelompok usia lanjut (65+), tingkat tabungan yang ada akan digunakan untuk masa pensiunnya. Karena itu, tingkat tabungan dan konsumsi akan dipengaruhi oleh transisi demografi.

Transisi demografi itu juga akan berpengaruh terhadap tabungan pemerintah. Meningkatnya angka ketergantungan (dependency ratio), akibat meningkatnya porsi usia lanjut (aging), akan membawa dampak negatif pada tabungan pemerintah. Sebab, pengeluaran negara untuk pensiun dan jaminan kesehatan meningkat, sedangkan penerimaan negara mengalami penurunan. Meningkatnya rasio ketergantungan juga akan menurunkan produktivitas, yang pada gilirannya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan Kim dan Lee (2008) menunjukkan bahwa dampak dari perubahan demografi pada negara G-7 adalah menurunnya tabungan, memburuknya transaksi berjalan, yang berakibat pada menurunnya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di negara G-7.

Sebaliknya, Indonesia justru akan memperoleh bonus demografinya pada 2025. Inilah alasan penting mengapa Indonesia memiliki potensi menjadi the next BRIC. Pada 2025, Indonesia akan memiliki dependency ratio yang lebih rendah dibanding banyak negara Asia. Dari sisi ini, Indonesia akan menjadi lebih cepat dalam mengatasi ketertinggalannya terhadap negara maju. Karena itu, ada alasan untuk melihat Indonesia akan masuk menjadi IBRIC (Indonesia, Brasil, Rusia, India, dan Cina) bahkan lebih jauh menjadi salah satu negara yang penting dalam perekonomian dunia, setidaknya di Asia.

Negara dengan penduduk muda seperti Indonesia akan cenderung memiliki konsumsi yang relatif lebih tinggi dibanding negara dengan usia lanjut. Penduduk muda yang baru memasuki awal kariernya akan melakukan konsumsi lebih banyak untuk membeli sepeda motor, mobil, rumah, dan sebagainya. Adapun negara dengan penduduk yang relatif tua akan mulai lebih menitikberatkan pada tabungan. Karena itu, saya melihat bahwa konsumsi di Indonesia akan tetap kuat di masa depan. Itu sebabnya, perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada konsumen memiliki kinerja yang relatif baik di Indonesia. Dengan permintaan yang tinggi ini, ekonomi akan bergerak, karena porsi konsumsi mencapai 65 persen di Indonesia.

Selain itu, jangan lupa Indonesia memiliki energi dan komoditas. Di masa depan, permintaan terhadap komoditas dan energi akan terus meningkat. Dan dengan semakin mahalnya minyak bumi, banyak komoditas pangan juga berfungsi sebagai sumber energi. Ini berarti era pangan dan energi murah sudah berakhir. Dengan kondisi ini, negara yang memiliki potensi untuk memproduksi kedua jenis produk tersebut akan memiliki peluang di masa depan. Melihat potensi tersebut, maka memang ada alasan yang kuat untuk percaya bahwa Indonesia akan menjadi bagian dari BRIC atau BRIC berubah menjadi IBRIC.

Namun itu tak mudah, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, menjaga stabilitas makro. Dari sisi makro, dengan defisit anggaran yang terjaga, rasio stok utang pemerintah terhadap produk domestik bruto akan terus mengalami penurunan menjadi 24 persen pada 2014. Ini jelas berbeda dengan yang dialami negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Dengan kondisi seperti ini, kesinambungan fiskal akan terjaga, sehingga stabilitas makroekonomi juga terjaga. Di sisi lain, bonus demografi yang dimiliki Indonesia juga akan membawa dampak pada stabilitas makroekonomi serta mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Memang, dalam jangka pendek, ada soal antisipasi dalam arus modal masuk. Arus modal yang terus mengalir ke Indonesia, karena risiko relatif yang menurun, membuat Indonesia menjadi negara tujuan investasi portofolio yang penting. Di sini dibutuhkan instrumen yang cukup untuk mengantisipasinya. Biaya dari sterilisasi akan mahal jika rupiah harus diintervensi. Namun rupiah yang terlalu kuat juga akan memukul ekspor. Sebaliknya, tanpa sterilisasi, tekanan inflasi akan menguat.

Kedua, aspek pembiayaan. Pemerintah Indonesia menyampaikan bahwa untuk mencapai pertumbuhan 7,7 persen pada 2014, dibutuhkan investasi Rp 2.000 triliun per tahun. Artinya, sampai 2014 dibutuhkan investasi Rp 10 ribu triliun. Melihat kapasitas tabungan domestik yang ada, maka sulit sekali diharapkan sepenuhnya investasi itu akan dibiayai oleh domestik. Tidak ada pilihan lain bagi perekonomian Indonesia kecuali menjadi terbuka terhadap investasi asing langsung (FDI) dan portfolio investment. Untuk itu, berbagai hambatan investasi, seperti persoalan iklim investasi, harus diperbaiki.

Ketiga, fokus pada infrastruktur. Dalam sebuah negara kepulauan seperti Indonesia, biaya transaksi, terutama biaya logistik, relatif lebih tinggi dibanding negara daratan, yang pada gilirannya akan membuat biaya produksi menjadi lebih mahal. Dengan kondisi seperti ini, untuk banyak daerah di Indonesia, logistik adalah kunci pembuka ke arah kemakmuran. Sayangnya, kemajuan dalam pembangunan infrastruktur amat lambat—kalau kita malu menyebutnya tidak ada. Hambatan yang muncul terkait dengan masalah pembebasan tanah, masalah proses lelang yang rumit dan panjang serta koordinasi di antara institusi pemerintah menyangkut soal infrastruktur.

Keempat, kualitas sumber daya manusia. Transisi demografi yang terjadi akan memiliki perubahan yang signifikan dalam perekonomian global dan juga regional. Untuk dapat memanfaatkan bonus demografi tersebut, Indonesia harus memperbaiki kualitas sumber daya manusianya. Perbaikan dalam sumber daya manusia mencakup soal kesehatan dan juga pendidikan. Sayangnya, Indonesia relatif tertinggal dalam kedua hal ini. Artinya, untuk mengatasi ketinggalan ini, ke depan penekanan pada investasi dalam pendidikan dan kesehatan merupakan hal yang amat penting. Woo and Hong (2010) mengatakan bahwa ke depan Indonesia harus menekankan peran science based economy. Indonesia memang pernah mencoba melakukan lompat katak, tapi gagal. Sebab, yang kita lakukan masuk dalam high technology dengan mencoba membuat pesawat. Yang kita butuhkan adalah teknologi dalam pertanian, misalnya varietas baru (termasuk agro-biotechnology), pendekatan baru dalam pengelolaan air dan lingkungan, serta mekanisasi, perbaikan dalam bibit unggul untuk produk peternakan, dan infrastruktur yang mendukung pertanian.

Masalahnya, untuk memenuhi semua prasyarat itu dibutuhkan reformasi yang signifikan. Masalah jalan tak akan selesai jika soal tanah tak terselesaikan. Masalah tanah adalah soal yang peka dengan isu politik. Masalah listrik tak akan selesai bila tak ada rasionalisasi dalam soal tarif. Masalah hambatan birokrasi dan kepastian hukum tak akan selesai bila reformasi hukum dan aparat hukum tak dilakukan. Artinya, proses reformasi yang harus dilakukan tak mudah. Ia butuh dukungan politik. Dilema dari sebuah reformasi adalah pengorbanannya dirasakan seketika, tapi manfaatnya baru terasa beberapa tahun kemudian. Contoh yang paling nyata adalah kenaikan harga bahan bakar minyak. Dan ini bukan soal mudah. Dibutuhkan kemauan dan keberanian politik karena setiap pilihan ada pengorbanannya. Saya jadi teringat Nigel Lawson yang mengatakan, ”To govern is to choose. To appear to be unable to choose is to appear to be unable to govern.” Saya tidak tahu apa yang akan dikatakan ekonom Sala-i-Martin di sini bulan depan. Tapi rasanya, prasyarat itu semua harus dipenuhi agar BRIC bisa menjadi IBRIC, dan salah satu ”I”-nya adalah Indonesia.

*) Pendiri CReco Research Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus