Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jreng, jreng...! Sembari berbaring, jemari Ahmad Ni’am Muchoyar, 11 tahun, sibuk memetik senar gitar. Bunyi tak beraturan terdengar dari alat musik itu. ”Saya memang tak bisa main gitar,” ujar Ni’am, ”gitar ini untuk melatih tangan dan jari saya.”
Suara jrang-jreng-jrong itu tak membuat Ulin Nuha dan Wahyu Murti Utomo, orang tua Ni’am, kesal. Mereka malah tersenyum lebar. ”Bisa memegang dan memetik gitar saja sudah syukur,” kata Ulin Nuha, 42 tahun.
Menurut cerita Ulin kepada Sohirin dari Tempo, awal bulan lalu, tangan dan jari anaknya dulu lemas tak bertenaga. Kedua kaki Ni’am pun sami mawon. Siswa kelas V Sekolah Dasar Pelem Kerep, Kecamatan Mayong, Jepara, Jawa Tengah, ini lumpuh. Dia hanya bisa berbaring.
Lumpuhnya Ni’am terjadi sejak tujuh bulan lalu. Ia sempat dia dirawat di Rumah Sakit Kariadi, Semarang. Kata dokter, Ni’am terserang spondilitis tuberkulosis, yakni tuberkulosis yang menyerang tulang belakang.
Lazimnya, koloni kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru. Entah kenapa, kali ini kawanan bakteri itu memilih menclok di tulang belakang, tepatnya di bagian belakang leher Ni’am. Kawanan kuman itu terus merangsek, merusak struktur tulang, dan menjepit syaraf-syaraf motorik penting. Jalinan halus benang syaraf yang memandu gerak tangan dan kaki Ni’am jadi tak berfungsi. Walhasil, tangan dan kaki si buyung tak lagi bisa digerakkan.
Kasus Ni’am menunjukkan betapa kuat daya rusak tuberkulosis. ”Kuman ini mengikuti aliran darah,” kata Darmawan Budi Setyanto, ahli respirologi dari IDAI. Ini berarti, serangan kuman bisa mengenai seluruh organ jenis apa pun di sekujur tubuh.
Kuman tuberkulosis ini menggempur apa saja yang terlewati. Tulang belakang, tulang panggul (koksitis tuberkulosis), atau sendi lutut (gonitis tuberkulosis) tak ada yang lolos. Unit Kerja Koordinasi Respirologi, Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), mencatat kejadian tuberkulosis tulang sekitar 1-7 persen dari keseluruhan kasus tuberkulosis. Departemen Kesehatan memperkirakan, saban tahunnya ada 500 ribu kasus tuberkulosis baru di Indonesia.
Selain perkasa, tuberkulosis tulang juga tak pandang bulu. Dia menyerang siapapun, tua juga muda. Gejalanya muncul sangat perlahan. Begitu juga kerusakan tulang yang ditimbulkan. Kawanan kuman tuberkulosis menggerus sel demi sel tulang dengan amat pelan. Begitu pelannya, sampai si pasien tak sadar ada yang tak beres dengan tubuhnya. Buntutnya, saat ketahuan, serangan sudah berada pada fase lanjut. Tidak jarang pasien jadi lumpuh karena syaraf-syaraf penting mungkin terjepit tulang.
Jadi bagaimana pasien bisa waspada bahwa tuberkulosis sudah datang? Hati-hati saja bila di tulang belakang dijumpai sebuah benjolan, tetapi warnanya tidak merah meradang. Seperti benjolan tetapi tidak merah meradang. ”Warna benjolan sama dengan kulit di sekitarnya,” kata Darmawan. Benjolan yang disebut Gibus ini tidak nyeri bila kita tekan. Susahnya, gejala ini tidak dijamin selalu ada, sehingga penyakit lebih susah dikenali.
Tulang belakang Ni’am, misalnya, tidak menunjukkan adanya benjolan. Postur tubuhnya juga tidak membengkok. Tapi, dampak yang dialami Ni’am tak kalah berat karena ada syaraf motorik yang terjepit. Si bocah yang aktif dan lincah, kini hanya bisa berbaring.
Demi mengusir sepi, kini Ni’am ditemani televisi 14 inchi di kamar. Setumpuk majalah majalah anak-anak dan berbagai mainan juga menemani hari-harinya. Tentu, semua itu tak sebanding dengan keceriaan yang dulu dia dapat saat bermain dengan teman-temannya. ”Saya sudah kangen masuk sekolah,” katanya.
Mata Ni’am menerawang. Mencoba mengingat kembali petaka yang menimpanya. ”Saya jatuh waktu mau pergi ke warung,” katanya mengenang kejadian pada pertengahan April, tahun lalu. Tak ada lecet di tubuh, tapi lehernya tak bisa menoleh. Kenger, bahasa Jawa-nya. Seluruh badannya harus ikut dibelokkan bila hendak menoleh. Dikira hanya salah urat, Ni’am dicarikan tukang pijit. Tapi, sebulan sudah berlalu, lehernya tetap saja kaku.
Bulan berikutnya kembali Ni’am terjatuh di rumah. Kali ini, jidatnya berdarah terbentur lantai. Bukan darah yang membuatnya kaget, tapi kedua kakinya. Mereka tak bisa digerakkan. Tulang dan sendi kakinya terasa linu dan lemas. Ni’am bingung tak karuan, apalagi saat itu ia sendirian di rumah.Dengan susah payah, bocah ini merangkak ke meja telepon untuk menghubungi ibunya yang sedang mengajar di kelas.
Sang ibu segera membawa Ni’am ke puskesmas terdekat yang akhirnya dirujuk ke RS Kariadi, Semarang. Setelah serangkaian pemeriksaan, dokter mendiagnosis Ni’am terkena spondilitis tuberkulosis. Ketika itu, Ulin baru sadar, leher Ni’am yang kenger sebenarnya sedang menyampaikan kabar tentang adanya gangguan di tulang belakang. Sayang, teriakan tubuh ini tidak ditanggapi serius.
Ni’am kemudian menjalani rawat inap di RS Kariadi. Laiknya pengidap tuberkulosis, dia juga minum obat antituberkulosis rifampisin, INH (isonikotinik hidrazil), PZA (pirazinamid), dan etambutol. Obat-obatan wajib diminum rutin sesuai periode yang ditetapkan dokter, ada yang setahun, ada yang dua bulan. Tak boleh bolos minum obat, demi terbasminya seluruh koloni kuman.
Leher Ni’am juga harus dipasangi kolar, alat penyangga supaya tulang belakang leher yang terserang kuman tak mudah goyah.
Hampir dua bulan berlalu, kondisi Ni’am tak menunjukkan perbaikan. Akhirnya, keluarga memilih membawa pulang si bocah. ”Biar ngirit biaya, berobat jalan saja” kata Wahyu, ayah Ni’am, yang juga guru taman kanak-kanak.
Dokter Gunadi, spesialis bedah syaraf RS Kariadi, menyarankan agar keluarga Ni’am mencari pendapat pembanding dari ahli lain. Ali Shahab, spesialis bedah syaraf Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, yang ditunjuk. ”Dia dokter senior dan sudah berpengalaman menangani kasus seperti ini,” kata Gunadi.
Saran itu diikuti. Pemeriksaan lanjutan oleh Ali Shahab memastikan bahwa Ni’am memang terkena spondilitis tuberkulosis. Tindakan operasi dibutuhkan untuk membebaskan syaraf yang terjepit sehingga lumpuh bisa dipulihkan. Lalu, agar tulang tidak kembali menjepit syaraf, sebuah plat akan dipasang untuk menopang tulang belakang yang disebut posterior cervical fixation.
Jadual operasi telah ditetapkan, 6 Desember lalu, di RSPAD Gatot Subroto. Tapi, rencana itu batal. Keluarga Ni’am mundur. Mereka merasa jeri karena tak punya biaya. Serangkaian operasi yang dibutuhkan Ni’am bisa menelan ongkos Rp 90 sampai 100 juta. ”Uang sebesar itu dapat dari mana?” kata Wahyu yang hingga kini terus mencari pembeli untuk tanah dan rumahnya di kampung.
Ali Shahab menyayangkan pembatalan operasi itu. Menurutnya, informasi yang diterima Ulin tak sepenuhnya benar. Dokter ini sudah berniat memberikan layanan gratis operasi pemasangan plat penopang tulang belakang. Keluarga Ni’am hanya perlu membayar ongkos kamar operasi dan obat-obatan. ”Mungkin mahal, tapi tidak semahal yang diduga,” kata Ali yang masih membuka pintu bila Ulin berubah pikiran.
Kini, keluarga Ni’am sedang menimbang langkah selanjutnya. Selain rutin kontrol di RS Kariadi, Ni’am juga menjalani terapi alternatif dengan tanaman obat tradisional. Rebusan daun alpukat, sirih, akar pinang, dan asam kawak adalah menu keseharian Ni’am.
Hasilnya lumayan. Kondisi Ni’am menunjukkan kemajuan meski dia masih tetap terbaring. Wajahnya tak lagi pucat. Ia juga sudah bisa duduk dan bermain lebih dari satu jam. Genggaman tangannya lebih kuat. Jari-jarinya kini lebih kokoh memetik senar gitar.
Dwi Wiyana, Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo