Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bencana dari Hulu Leuser

Banjir menenggelamkan tujuh kabupaten di wilayah timur Aceh. Dalam setahun terakhir, perampokan kayu di Gunung Leuser menggila.

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERING telepon seluler membangunkan Indra: pukul 2 dini hari, Kamis dua pekan lalu. Suara kakaknya di seberang telepon terdengar bergegas, ”Kreung (Sungai) Tamiang meluap, cepat menyingkir!” Telepon langsung ditutup.

Indra meloncat dari ambin, membangunkan istrinya. Pria 35 tahun itu menyambar anak sulungnya yang berusia lima tahun. Istrinya menggendong si bungsu, yang baru berumur setahun. Beberapa helai baju masih sempat diselamatkan. Mereka menghambur keluar rumah sambil berteriak membangunkan para tetangga. Beberapa orang ternyata sudah di luar rumah, siap mengungsi.

Peringatan dini sang kakak menyelamatkan Indra dan keluarganya. Sang kakak tinggal di Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam, sekitar tujuh jam perjalanan sungai dari rumah Indra di Desa Pahlawan Bawah, Kecamatan Kota Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Aceh Timur merupakan hulu Sungai Tamiang yang sedang meluap.

Indra, bersama 155 warga Desa Pahlawan Bawah, berlarian ke dataran yang lebih tinggi. Kurang dari setengah jam, mereka sudah berkumpul di Gedung Nasional, menanti dengan cemas air bah yang sedang menuju desa mereka.

Dekat pukul 4, anak-anak sudah melanjutkan tidurnya yang terpenggal. Perlahan Sungai Tamiang naik ke permukaan, dan terus meninggi. Gemuruhnya mulai terdengar bersama kayu gelondongan yang terbawa arus. Sebanyak 20 rumah di tepian sungai tercabut dari lahannya. Seratusan rumah lainnya dindingnya somplak. Genangan air melebar. Untungnya, pelataran Gedung Nasional hanya terendam setinggi betis.

Banjir sudah menjadi langganan Kota Kuala Simpang setiap musim penghujan. Seingat Indra, banjir lumayan besar terjadi 10 tahun lalu, itu pun tidak sampai masuk rumah. Bahkan anak-anak masih berani berenang dan bermain di pinggiran sungai. Kali ini sudah di luar bayangan. ”Belum pernah sebesar ini, airnya sangat deras,” kata Indra.

Hari-hari berikutnya hujan tak pernah absen. Air menggenangi 12 kecamatan di tujuh kabupaten dan kota di wilayah timur Provinsi Aceh. Hingga seminggu setelah banjir pertama, hampir 10 ribu rumah rusak parah, 400 ribu orang mengungsi, dan tercatat 70 orang meninggal. Empat sungai besxar yang lewat kawasan ini: Tamiang, Peusangan, Tripa, dan Jambo, semuanya meluap. Jika dirunut, semua sungai itu berhulu sama, yakni Pengunungan Leuser, yang berada di tengah Provinsi Aceh.

Menurut Wiratno, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Lauser, banjir di kawasan timur Aceh disebabkan pembalakan haram hutan di Kawasan Gunung Leuser. ”Banjir di Aceh jelas karena illegal logging,” kata Wiratno, mantap. Perambahan hutan itu telah berlangsung beberapa tahun, dan terjadi pembiaran oleh aparat keamanan.

Setelah bencana tsunami dua tahun lalu, pembabatan makin parah. Sekitar 3.000 orang korban tsunami dari pantai barat mengungsi dan bermukim di dalam Taman Nasional Gunung Leuser. Jamal M. Gawi dari Yayasan Leuser, yang mengelola kawasan taman nasional, mengatakan kerusakan makin parah setelah nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ditandatangani, Agustus tahun lalu. ”Dulu pembalak liar takut karena masih ada GAM. Setelah damai, pembalakan liar makin menjadi-jadi,” katanya.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menunjukkan, data luas hutan Aceh setiap tahun tergerus akibat pembalakan liar. Tahun ini saja hutan yang lenyap sekitar 266 ribu hektare atau empat kali luas Jakarta. Jumlah ini 10 kali lipat dari pembalakan liar tahun-tahun sebelumnya.

Pemicu kerusakan lainnya adalah pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan seluas 637 ribu hektare. Juga, pembukaan Jalan Ladia Galaska yang mengkonversi kawasan hutan lindung di Aceh sepanjang 91,3 kilometer dan Kawasan Ekosistem Leuser sepanjang 79,7 kilometer. ”Selain itu ada konsesi perkebunan sawit yang mencapai 300 ribu hektare di kawasan tersebut,” kata Dewa Gumay, Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Banda Aceh.

Perampokan kayu besar-besaran itu kini tidak lagi bisa ditutupi. Air tak lagi bisa disimpan dari hulu sungai di Kawasan Pegunungan Leuser. Luapannya telah mengisolasi beberapa kecamatan hingga menyulitkan penyaluran bantuan. Menurut pengakuan Indra, para pengungsi di Gedung Nasional Kota Kuala Simpang hingga lebih sepekan baru dua kali mendapat bantuan beras. ”Bantuan memang tak cukup, tapi lumayan daripada tak ada,” katanya.

Menurut Bupati Aceh Tamiang, Syahbuddin, bantuan disalurkan melalui satu pintu, yaitu camat, kemudian ke masing-masing kepala desa. ”Tidak melalui organisasi apa pun.”

Di Kota Lintang, Aceh Tamiang, sempat terjadi kekacauan penyaluran bantuan. Sekitar seratus ibu-ibu menyerbu posko bantuan bencana dan berniat merampas bantuan yang bertumpuk di sana. “Mana camat yang menyalurkan? Sudah enam hari kami tak mendapat bantuan apa pun!” seorang ibu berteriak. Beberapa jeriken air sudah sempat diambil sebelum para pengunjuk rasa dibubarkan.

Agung Rulianto, Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran MA (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus