Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bola Halus Pembasmi Kanker

Agar tak merusak sel tubuh yang sehat, obat kemoterapi dikemas dalam butiran berukuran nanometer.

19 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indra Prasetya melewati hari ulang tahun ke-35, Juli tahun lalu, dengan galau. Benjolan di sisi kiri lidah dia terus membesar dan mengganjal. Beberapa hari setelah ulang tahun, Indra pun memeriksakan kelainan itu ke dokter. Dua dokter senior di dua rumah sakit swasta di Jakarta berkesimpulan sama: benjolan di lidah Indra adalah kanker. Dokter bilang lidah Indra harus dipotong. Karena ukuran kanker lumayan besar, sewaktu operasi, ujung bibir kiri Indra juga harus dibelah hingga pipi dan dagu. "Waktu itu saya sangat syok," ujar Indra kepada Tempo pekan lalu.

Operasi itu mungkin bisa menyelamatkan nyawa Indra, tapi jelas setelah itu ia tak akan bisa berbicara dan mengecap rasa makanan. Bahkan makan pun dia akan kesulitan. Ke sebuah rumah sakit ternama di Singapura, Indra mencoba mencari solusi lain. Tapi rekomendasi dokter dari Negeri Singa pun tak berbeda. Indra makin kehilangan gairah hidup. "Saya mengurung diri di rumah," kata auditor bank itu.

Beruntung Indra masih mendapat dukungan penuh keluarga. Adik kandungnya terus mencari informasi soal pengobatan mutakhir kanker. Mereka mendapat titik terang dari Cina. Akhir Juli tahun lalu, Indra pun berobat di Rumah Sakit Kanker Fuda, Guangzhou.

Dari Indonesia, Indra membawa catatan medis dan hasil pemeriksaan dokter. Tapi, di Guangzhou, dokter kembali memeriksa penyakitnya. Panjang tumor ganas itu ternyata sudah 4 sentimeter, lebar 3 sentimeter, dan tebal 2 sentimeter. Sel kanker pun telah menjalar ke kelenjar getah bening. Tim dokter di Fuda juga menyatakan lidah Indra harus dioperasi. Tapi, agar operasinya tak terlalu besar dan berisiko, ukuran tumor diperkecil lewat sejumlah terapi.

Setelah membandingkan berbagai terapi, Indra memilih kemoterapi berteknologi nano sebagai pengobatan utama. Indra percaya kepada penjelasan dokter bahwa terapi yang disebut cancer microvessel intervention (CMI) itu lebih efektif. Selain itu, menurut Kepala Departemen Radiologi Rumah Sakit Fuda, Profesor Xianghao Piao, kemoterapi nano adalah salah satu terapi minim risiko (non-invasive) dalam pengobatan kanker.

Kemoterapi adalah hal biasa yang dijalani para penderita kanker, terutama mereka yang baru menjalani operasi pengangkatan sel kanker. Dalam kemoterapi tradisional, obat disuntikkan lewat cairan infus, menyebar ke seluruh tubuh, tak hanya diam di sekitar jaringan tumor. Obat yang bekerja dengan membelah sel darah itu pun merusak sel kanker. Sayangnya, karena obat masuk lewat pembuluh darah, sel sehat pun ikut sekarat. Kemoterapi itu ibarat menuang segentong racun ke kolam ikan. Semua ikan mati, tanpa pandang bulu. Akibatnya, perut mual, badan lemas, bahkan rambut rontok, lazim dialami mereka yang menjalani kemoterapi.

Sebenarnya ada penyempurnaan dari kemoterapi tradisional. Masih memakai obat cair, hanya tidak dimasukkan begitu saja ke dalam tubuh. Kemoterapi lokal ini menggunakan kateter untuk mengantarkan obat langsung ke area tumor. Di ujung pembuluh pemasok darah ke tumor, obat kemoterapi baru disemprotkan. Dengan cara itu, obat akan terkonsentrasi lebih lama di dalam sel kanker. Hanya, obat cair tak selamanya bertahan dalam sel tumor. Sisa obat pada akhirnya terseret kembali ke aliran darah. Jadi, meski risikonya tak seberat kemoterapi biasa, kemoterapi lokal dengan obat cair tetap merugikan sel-sel sehat di luar area kanker.

Nah, apa yang dicari oleh Indra ke Cina adalah teknologi mutakhir dari kemoterapi. CMI menggunakan teknologi nano untuk menghantar obat tepat ke sel kanker. Tak lagi menggunakan cairan, obat dikemas dalam bola-bola supermini berukuran 100 nanometer (satu nanometer sebanding dengan rambut dibelah 50 ribu). Partikel nano disusupkan melalui celah-celah pada pembuluh darah mikro di sekitar kanker, yang jumlahnya lebih banyak ketimbang di bagian tubuh normal.

Konsentrasi partikel nano dalam waktu lebih lama meningkatkan tekanan darah di jaringan kanker. Akibatnya, aliran darah yang keluar-masuk tumor pun terhenti. Karena tak mendapat asupan makanan yang diantar darah, perlahan sel kanker mengering. Setelah itu barulah butiran nano pecah, obat tertahan selamanya dalam jaringan tumor.

Karena amat terkonsentrasi, obat yang digunakan pun tak banyak. Dalam kemoterapi tradisional, untuk mengobati tumor seberat 50 gram, biasanya disuntikkan sekitar 150 miligram obat kemoterapi. Dari dosis itu, hanya 0,125 miligram yang bertahan dalam jaringan tumor. Adapun dalam kemoterapi nano, untuk ukuran tumor yang sama, biasanya hanya dipakai 15 miligram obat. Tapi obat yang bertahan dalam jaringan kanker bisa mencapai 5 miligram. "Konsentrasi obat lebih dari 40 kali lipat," kata Piao, lulusan Universitas Kedokteran Militer Cina.

Sejumlah negara maju sebenarnya sudah lama merancang obat dalam kapsul nano untuk kanker. Sebut saja Amerika Serikat, Jepang, dan Israel. Tapi sejauh ini para ahli di luar Cina masih sibuk di laboratorium. Mereka baru memakai binatang, seperti tikus, sebagai obyek percobaan. Sedangkan di Fuda, Piao dan kawan-kawan sudah memakai teknologi itu untuk mengobati manusia, termasuk Indra. "Kami tidak membuat obat baru. Kami hanya mengemasnya," kata Piao. "Kami pastikan semuanya aman."

Soal keefektifan teknologi ini sudah bisa dirasakan Indra dalam hitungan hari. Dua puluh hari setelah kemoterapi pertama, benjolan di lidah Indra berkurang sekitar dua pertiganya. Tiga pekan setelah kemoterapi nano kedua, sisi kiri lidah Indra malah sudah rata seperti biasa. Tapi, bila diraba, benjolan masih ada. Pada September tahun lalu, Indra menjalani operasi untuk menghilangkan sisa tumor yang tinggal sedikit. Sepertiga lidahnya dipotong untuk mengangkat tumor hingga akarnya. "Makanya bicara saya agak cadel," ujar Indra.

Masalahnya, terapi ini masih mahal. Sekali menjalani terapi, Indra harus mengeluarkan 30 ribu yuan atau sekitar Rp 42 juta. Padahal, setelah operasi, Indra harus menjalani empat kemoterapi lagi. Untuk mengirit, Indra pun memilih kemoterapi lokal yang menggunakan kateter itu. Biayanya hanya separuh kemoterapi nano. Tapi, setelah menjalani terapi dengan kemoterapi lokal, Indra merasakan ada yang beda. Dia merasa perutnya lebih tidak enak. Karena kehilangan selera makan, Indra terserang maag parah. Setelah menjalani kemoterapi nano, Indra juga biasa merasakan perutnya tidak enak. Selera makan dia pun berkurang, tapi tak sehebat kali ini.

Jera dengan kemoterapi obat cair, Indra pun akhirnya kembali pada kemoterapi nano dalam kemoterapi keempat dan kelima. Hasilnya sejauh ini positif. Belum sempat Indra menjalani kemoterapi keenam yang disarankan dokter, lidah dia dinyatakan bersih dari tumor. Operasi kelenjar getah bening tak jadi dilakukan karena sel kanker di sana pun menghilang. "Saya sudah masuk kerja seperti biasa," kata Indra.

Jajang Jamaludin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus