Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arianto A. Patunru*
Masih segar dalam ingatan kita perdebatan seputar penyelamatan Bank Century beberapa tahun lalu. Telinga kita dipaksa akrab dengan berbagai istilah dan semantik seperti "krisis keuangan", "krisis ekonomi", "bank gagal", "dampak sistemik", dan lain-lain.
"We have been here before," kata Reinhart dan Rogoff dalam buku bestseller mereka, This Time is Different (2009). Meneropong krisis demi krisis sejak era Cina pada abad ke-12 dan Eropa abad pertengahan hingga krisis subprime Amerika Serikat pada 2007, mereka mengingatkan bahwa sudah terlalu sering kita mengalami masalah yang sama.
Negara-negara dilanda berbagai kemelut keuangan. Sovereign default atau gagalnya sebuah pemerintahan membayar utang, krisis perbankan ketika bank mengalami insolvency (tak mampu bayar utang), dan krisis nilai tukar saat mata uang suatu negara terjun bebas tak terkendali.
Pada masa-masa awal pendiriannya, Prancis pernah bangkrut delapan kali. Spanyol telah bangkrut 13 kali sebelum abad ke-19. India dan Indonesia pernah bangkrut pada 1960-an. Kita juga telah menyaksikan krisis yang mendunia: Great Depression pada 1930-an dan krisis global sejak 2007. Pesan Reinhart dan Rogoff jelas: perlu pengaturan, pengawasan, dan koordinasi yang lebih baik. Tak bisa kita selalu berdalih bahwa kali ini krisisnya berbeda. Yang dibutuhkan adalah sistem yang lebih kuat untuk menghadapi problem yang sesungguhnya sama sejak delapan abad lalu.
Kita bersyukur bahwa Indonesia berhasil melewati krisis global 2007/2008 dengan cukup baik. Sukar untuk menghitung dengan pasti berapa rupiah yang kita selamatkan. Namun perbandingan yang mungkin relevan adalah dengan krisis Asia 1997/1998. Saat itu perekonomian Indonesia jatuh dari 6 persen ke 13 persen.
Saat krisis global 2008, perekonomian Indonesia jatuh dari 6 persen ke 4 persen. Kerugian Indonesia dari krisis Asia 1997/1998 dihitung dari potensi pertumbuhan yang hilang adalah sekitar US$ 46 miliar dalam setahun, sementara krisis global "hanya" sekitar US$ 19 miliar (McLeod dan Patunru, 2009).
Kita masih ingat upaya penyelamatan ekonomi Indonesia dalam menghadapi krisis global mencakup keputusan kontroversial atas Bank Century—yang sampai saat ini masih dipermasalahkan. Kita tentu tidak bisa memastikan apakah keputusan tersebut yang menyelamatkan Indonesia atau kebijakan yang lain. Yang pasti, kita berhasil menghindari "dampak sistemik" dalam sektor keuangan.
Berkaca pada kasus Bank Century dan beberapa kasus lain, kita mafhum pentingnya pengawasan dan koordinasi. Anwar Nasution mengingatkan, lemahnya koordinasi antara Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terlihat pada keterkaitan antara Bank Century, PT Antaboga Delta Sekuritas, PT Century Mega Investindo, dan PT Century Super Investindo (Kompas, 8 November 2011).
Kita juga khawatir, absennya sistem atau perangkat otoritatif membuat pengambilan keputusan akan selalu bersifat diskresioner. Tuntutan demi tuntutan akan datang pasca-pengambilan keputusan—terlepas apakah keputusan tersebut telah menyelamatkan perekonomian atau tidak. Kita jengah dengan akrobat politik menghakimi keputusan yang justru sangat strategis. Padahal krisis mungkin datang lagi.
Maka kita menyambut OJK, Otoritas Jasa Keuangan, yang sebentar lagi terbentuk. Ia—bersama Jaring Pengaman Sistem Keuangan—merupakan upaya untuk "pengaturan, pengawasan, dan koordinasi yang lebih baik" dalam skala nasional, dan untuk bisa mengantisipasi pengaruh atau guncangan finansial dari luar.
Undang-Undang Bank Indonesia sudah memandatkan sebuah institusi yang melakukan tugas pengawasan sektor jasa keuangan selambat-lambatnya akhir 2002. Pada 2004, undang-undang ini direvisi dan batas waktu pembentukan institusi pengawasan itu digeser ke akhir 2010.
Rancangan Undang-Undang OJK akhirnya disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada Oktober tahun lalu. Otoritas ini akan mengambil alih fungsi pengawasan Bank Indonesia dan Bapepam-LK secara efektif pada 2013. Pengawasan dilakukan agar regulasi sektor finansial dijalankan dengan disiplin dan akuntabel.
Tujuan dari regulasi sektor finansial adalah 1) untuk mempertahankan stabilitas sistemik, 2) mempertahankan keamanan dan keteraturan, dan 3) melindungi konsumen (Llewellyn, 1999). Alasan rasional dari regulasi finansial sendiri berfokus pada ketidaksempurnaan pasar dalam sektor keuangan (misalnya eksternalitas, moral hazard atau aji mumpung, dan adverse selection atau salah sasaran).
Ambil contoh sifat bank sentral sebagai lender of last resort (tumpuan terakhir untuk meminta bantuan pinjaman) sering dapat disalahartikan oleh bank sebagai malaikat yang pasti selalu menolong. Untuk mengatasi kegagalan pasar ini, dibutuhkan regulasi dan pengawasan. Regulasi dapat terbagi menjadi regulasi prudensial dan regulasi atas praktek bisnis.
Regulasi prudensial berfokus pada kesehatan para pelaku pasar keuangan, sementara regulasi praktek bisnis lebih melihat ke bagaimana perusahaan keuangan berinteraksi satu sama lain dan dengan konsumen mereka. Dalam hal pengawasan, akan lebih efisien jika badan pengawasnya bersifat tunggal dan independen, karena sistem seperti ini akan memperlancar koordinasi dan dapat memanfaatkan skala ekonomi dari proses pengawasan (Briault, 1999).
Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terlepas dari pentingnya Undang-Undang OJK, naskahnya masih mengandung ambiguitas (McLeod, 2011). Misalnya pasal 37 menyebutkan, "OJK dan Bank Indonesia dapat berkoordinasi dan bekerja sama dalam pengawasan bersama atas kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan" (ayat 2).
Pasal yang sama juga menyebutkan, "BI dapat melakukan pengawasan langsung dan/atau pengawasan tidak langsung terhadap bank" (ayat 4). Di sini timbul kesan ketidaktegasan. Seperti dikhawatirkan McLeod, ini berarti tidak terjadi transfer fungsi pengawasan dari Bank Indonesia ke OJK—seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3/1999, tapi duplikasi. Ini tentu berpotensi menimbulkan kebingungan atau tumpang-tindih dalam fungsi koordinasi.
Pasal ini juga menyebutkan peran forum stabilitas sistem keuangan. "Forum" ini tidak didefinisikan dalam ketentuan umum (pasal 1). Dengan demikian, kita dapat berasumsi bahwa yang dimaksud dengan forum ini adalah FSSK, yang dibentuk pada 2005 (dan direvisi pada 2007) berdasarkan keputusan bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.
Forum ini dimaksudkan untuk menunjang tugas Komite Koordinasi ("dalam rangka pengambilan keputusan terhadap bank bermasalah yang ditengarai sistemik"), yang diketuai oleh Menteri Keuangan, dengan anggota Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner LPS. Lantaran alur koordinasi dalam Undang-Undang OJK tidak begitu jelas, kita berharap peraturan pelaksanaannya akan jauh lebih tegas dan disiplin.
Selain penyempurnaan dalam perangkat hukum serta sistem pengawasannya, perlu juga terus mengikuti perkembangan di level global. Kita maklum, OJK dibentuk dengan model Financial Service Authority (FSA) di Inggris. Namun lembaga ini banyak dikritik karena dianggap tidak mampu melindungi sektor perbankan dan keuangan Inggris dari terjangan krisis global. Bahkan FSA sedang ditinjau lagi untuk penyempurnaan lebih lanjut. Saat ini belum ada konsensus tentang bagaimana sebenarnya bentuk ideal dari pengawas keuangan independen.
Penyempurnaan aturan perbankan di level internasional masih terus dilakukan. Basel III pun masih terus diperbaiki. Beberapa ekonom, seperti Yoshino dan Hirano (2011), mengusulkan persyaratan modal minimum sebaiknya didasarkan pada faktor ekonomi, seperti produk domestik bruto, pertumbuhan kredit, harga saham, tingkat bunga, dan harga tanah; ukuran ini bisa berbeda-beda antarnegara.
Dengan kata lain, syarat modal minimum akan bersifat counter-cyclical: tinggi pada saat perekonomian booming dan rendah pada saat perekonomian lesu. Hal ini dapat membuat praktek pemberian pinjaman oleh perbankan menjadi lebih stabil. Namun tentu bukan tanpa kesulitan. Akan susah membangun ukuran yang konsisten dan dapat diperbandingkan antarnegara untuk tujuan pengawasan.
Akhirnya, kita berharap OJK dapat bekerja dengan efektif. Semoga Indonesia dapat lebih kuat menghadapi tantangan di sektor keuangan dan perbankan, baik dari dalam maupun luar negeri.
* Dosen FEUI, peneliti senior LPEM-FEUI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo