Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zen Hae*
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2001) menjelaskan -nya sebagai "bentuk terikat yang merupakan varian pronomina persona ia/dia dan pronomina benda yang menyatakan milik, pelaku, atau penerima". Kaum linguis menyebut -nya sebagai enklitik, yakni "klitik yang terikat dengan unsur yang mendahuluinya" (Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, 1982).
Jika saja setiap akan berbicara atau menulis kita mengecek ke dalam kamus kata-kata yang meragukan, mungkin salah kaprah berikut tidak perlu berlangsung hingga hari ini. Begitulah, ketika berbicara di depan banyak orang, pun ketika menutup surat, kita kerap mengatakan, "Terima kasih atas perhatiannya." Atau, kepada orang yang berpakaian bagus, seseorang bisa mengatakan, "Bajunya bagus."
Kepada siapakah enklitik -nya itu dikembalikan? Kepada orang yang diajak bicara atau kepada orang lain di luar percakapan?
Sejatinya, enklitik -nya dalam dua kalimat di atas mengacu kepada orang ketiga tunggal (ia, dia), bukan orang kedua (kamu, kau, kalian). Maknanya, "perhatian yang ia punya" atau "yang ia beri" atau "baju yang ia punya". Perhatiannya dan bajunya selaras dengan simpatinya, bukunya, senyumnya.
Namun kita juga paham bahwa si pembicara atau si penulis menujukan ucapan itu kepada kita, subyek yang diajak bicara atau yang membaca suratnya, bukan orang lain yang entah di mana. Tapi kita juga akan lebih paham jika si pembicara atau penulis mengganti perhatiannya dengan perhatianmu, perhatian anda; bajunya menjadi bajumu atau baju anda. Bukankah dengan kata-kata pengganti itu komunikasi kita terasa lebih langsung dan akrab?
Begitulah, dengan bentukan perhatiannya atau bajunya tanpa sadar kita sudah menggeser orang yang kita ajak bicara menjadi orang ketiga yang tidak hadir dalam komunikasi. Tapi kita terus-menerus menariknya ke dalam wilayah percakapan kita.
Selanjutnya mari kita periksa kalimat berikut ini: "Kami sama sekali belum ada gerakan untuk membahas koalisi," katanya. (Koran Tempo, 11 Mei 2014). Ini adalah jawaban Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua ketika ditanya wartawan ke mana arah koalisi Partai Demokrat.
Apa makna katanya dalam kalimat ini? "Kata milik dia", "kata dia", atau "ia berkata/mengatakan"? Apakah katanya selaras dengan perhatiannya dan bajunya? Ternyata tidak. Dalam penulisan berita atau dialog dalam karya sastra, katanya digunakan sebagai padanan dari she/he said dalam bahasa Inggris. Makna sebenarnya adalah "ia berkata" atau "ia mengatakan". Variasinya: tegasnya, ujarnya, serunya. (Bandingkan dengan kalimat-kalimat berikut: Katanya, di rumah tua itu ada hantu; Tegasnya Wakil Gubernur kita ini.)
Salah kaprah ini sebenarnya belum terlalu jauh. Dengan sedikit terpaksa kita bisa menerima bahwa kata-kata yang diujarkan itu adalah milik atau dari dia, si pengujar, bukan milik orang lain. Tapi begitu kita mengganti katanya dengan tegasnya, akan tampak kacaulah logika kalimat itu. Tegas adalah bentuk dasar dan kata sifat, tidak mungkin digabungkan dengan enklitik -nya yang bermakna "memiliki". Agar masuk akal, kata dasar itu mesti diubah dulu menjadi ketegasan. Akan tetapi ketegasannya bermakna "ketegasan miliknya", bukan "ia menegaskan/ia menandaskan". Maka tegasnya dalam kasus ini mengalami proses morfologis seperti ini: "ia menegaskan" (pronomina sebagai subyek) à "tegas ia" (pendasaran, inversi) à "tegasnya" (varian pronomina sebagai enklitik).
Apakah ia menegaskan atau ia berkata berterima dalam penulisan berita atau dialog dalam karya sastra? Rasanya tidak, tapi bukan tidak mungkin. Bentukan ini lebih banyak dipakai di awal kalimat tidak langsung, amat jarang digunakan dalam kalimat langsung. Dalam bahasa media massa yang cenderung serba-ekonomis, bentukan itu masih dianggap terlalu panjang. Maka digunakanlah bentukan yang lebih ringkas, dan kita seakan-akan sudah maklum maknanya.
Kasus enklitik -nya yang lain terjadi dalam puisi. Dalam puisi "Derai-derai Cemara" (1949) karya Chairil Anwar kita temukan satu larik: Aku sekarang orangnya bisa tahan…. Maksud si penyair, kurang-lebih, adalah si aku sekarang menjadi orang yang bisa menahan pelbagai hal (derita, rindu, penyakit, dan seterusnya). Tapi kenapa ia menggeser si aku dari orang pertama ke orang ketiga? Atau, mendeskripsikan orang pertama sebagai orang ketiga?
Bentukan ini sejajar dengan orangnya dalam kalimat berikut: Dia orangnya galak atau Orangnya tinggi, pakai kacamata, kan? Bedanya, dalam dua kalimat terakhir ini -nya berdiri dalam posisinya yang wajar. Ia menjadi enklitik dari subyek yang notabene orang ketiga tunggal, bukan orang pertama atau orang kedua. Orangnya dalam puisi Chairil Anwar itu tampaknya diserap dari bahasa Jawa. Contoh mutakhir, Aku wonge rapopo nan-sebagaimana tertulis dalam satu akun Twitter. Dalam puisi-puisinya, Chairil memang menyerap pelbagai ragam cakapan, bukan hanya dari bahasa Melayu (Medan), tapi juga Melayu Jakarta dan bahasa Jawa.
Dalam puisi Chairil Anwar atau percakapan sehari-hari, kata orangnya digunakan untuk dua kepentingan, yakni untuk mendeskripsikan orang pertama (yang berbicara) dan untuk orang ketiga (yang dibicarakan). Maknanya bukan lagi "kepemilikan", tapi untuk kepentingan "penyifatan". Dia orangnya galak bisa bermakna "Dia orang yang galak".
Dalam puisi Chairil Anwar, penggeseran orang pertama ke orang ketiga punya makna yang dalam. Di sini aku telah menjadikan dirinya ia dan karena itu aku menjadi lebih berjarak dengan dirinya sendiri; dengan begitu ia bisa melakukan otokritik. Chairil juga telah menjadikan ragam bahasa cakapan/lisan setara atau memperkuat ragam bahasa tulisan. Ini licentia poetica, bukan salah kaprah. Untuk urusan yang satu ini, kata sang penyair, "Yang bukan penyair tidak ambil bagian." l
*) Penyair, Kritikus Sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo