Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Buat Apa Minum Vitamin dan Suplemen?

Ada sejumlah suplemen dan vitamin yang tak perlu dikonsumsi, bahkan berbahaya. Pencegahan penyakit dengan minum vitamin dosis tinggi dianggap mitos.

3 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap malam, menjelang tidur, Danang Saparudin, 30 tahun, mengemut tablet isap vitamin C dosis 500 miligram. Dua-tiga hari sekali, pegawai negeri di bagian keuangan ini menenggak kapsul multivitamin, kombinasi vitamin B kompleks dan C. "Minum multivitamin biasanya pas mau ujian, kerjaan numpuk, atau menjelang deadline tugas," ujar Danang, yang dihubungi via telepon. Itu semua akan membuat tubuhnya seperti telepon seluler yang baru disetrum: full.

Tambahan asupan vitamin C itu sudah dijalani sejak awal kuliah, satu dekade lalu. Kebiasaan tersebut masih berlanjut karena kesibukannya selama ini: kerja kantor dan menulis buku fiksi. "Saya konsumsi buat daya tahan tubuh. Efeknya bisa berbulan-bulan enggak terserang flu," katanya. Tentu Danang sadar mengkonsumsi sayur dan buah lebih baik daripada menenggak atau mengisap pil vitamin. Tapi jumlah vitamin yang dikonsumsi dia rasa belum cukup mengimbangi kerja kerasnya. "Daripada sakit, mahal obatnya," ucapnya.

Suplemen dan vitamin kemudian menjadi ramuan sakti penangkal segala macam penyakit. Padahal, menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan, suplemen adalah produk pelengkap makanan. "Karena namanya suplemen, seharusnya menutupi kekurangan. Kalau tidak ada kekurangan, ya, tidak ada manfaatnya," ujar dokter spesialis penyakit dalam Ari Fahrial Syam, yang ditemui di RSCM Kencana, pertengahan Januari lalu.

Menurut Ari, ada kesalahkaprahan tentang fungsi suplemen dan vitamin. Seperti yang terjadi pada Danang, Ari melihat banyak orang Indonesia menganggap suplemen adalah pencegah penyakit. Iklan produk-produk tersebut memang agak tak wajar. "Jaminan kata-kata yang berlebihan, setelah minum vitamin ini dan itu, bisa menyembuhkan," tutur konsultan gastroenterologi ini.

Situasi serupa terjadi di Amerika Serikat, yang paparannya dimuat dalam jurnal kesehatan ilmu penyakit dalam, Annals of Internal Medicine, edisi 17 Desember 2013. Judul laporan itu sangat mengejutkan: "Enough is Enough: Stop Wasting Money on Vitamin and Mineral Supplement". Disebutkan, pada 2003-2006, hampir separuh penduduk Amerika mengkonsumsi suplemen, baik multivitamin maupun multimineral. Pendapatan yang bisa diraup dari penjualan suplemen per tahun mencapai US$ 28 miliar (sekitar Rp 340 triliun). 

Tren setipe terjadi di Inggris, yang pada 2008, berdasarkan survei Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food Standar Agency), hampir sepertiga warganya mengkonsumsi suplemen. Bahkan 15 persen di antara yang makan suplemen tersebut mengkonsumsi jenis dosis tinggi. Tujuannya untuk menjaga kesehatan. Tentu saja yang diuntungkan dalam situasi ini adalah industri, karena total angka penjualan pada 2009 mencapai 674,6 juta pound sterling (sekitar Rp 13,6 triliun). 

Sebenarnya tak jadi masalah jika dari uang sebanyak itu kita mendapatkan kesehatan seperti yang kita duga. Namun ternyata mengkonsumsi vitamin dan suplemen tidak memberi efek kesehatan. Penelitian yang dilakukan jurnal itu menyebutkan konsumsi multivitamin tidak bisa menghilangkan gangguan fungsi kognitif pada manusia di atas 65 tahun. Bahkan konsumsi vitamin E dosis tinggi, vitamin A dosis tinggi, dan beta karoten dosis tinggi bisa meningkatkan risiko kematian. Adapun konsumsi antioksidan, asam folat, vitamin B, dan suplemen mineral yang digunakan untuk mencegah kematian akibat penyakit kronis dinyatakan juga tidak efektif.

Vitamin E dan A dosis tinggi memang berbahaya bagi tubuh. Dua jenis vitamin yang larut lemak itu, menurut dokter gizi klinis Inge Permadi, kalau berlebihan susah dibuang oleh tubuh. "Karena larut lemak, biasanya disimpan tubuh dalam bentuk lemak," ujar pengajar di Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini. Maka ia bisa menjadi racun yang jika terakumulasi lama menjadi mematikan. 

Beda dengan vitamin yang larut lemak, khusus untuk vitamin larut air, seperti B dan C, tubuh lebih mudah membuangnya. "Biasanya sih lewat kencing, tapi bisa juga lewat keringat," kata Inge. Meski bisa larut, tetap saja kedua vitamin ini tidak boleh dikonsumsi berlebihan. Organ pertama yang bekerja lebih berat karena kelebihan vitamin dan mineral adalah hati atau ginjal. Kalau hati sudah rusak, otomatis asupan bahan-bahan beracun ke tubuh tak ada lagi yang menyaring.

Belakangan ini Ari kerap didatangi pasien yang lemas seperti ponsel kehabisan baterai. "Mereka datang dengan kondisi lemah," ujarnya. Padahal mereka bukanlah orang berusia lanjut. Mereka rata-rata berusia di bawah 50 tahun dan berbadan tidak gemuk. Setelah dicek, ada gangguan fungsi hati, tapi mereka tidak memiliki riwayat hepatitis B dan C. Ketika diperiksa dengan ultrasonogram pun tidak terlihat ada kelemahan hati. "Itu mudah diduga pasti karena konsumsi suplemen," katanya.

Pasien-pasien tersebut tidak ada masalah kesehatan sebelumnya. Menurut Ari, mereka hanya mengkonsumsi suplemen yang sebenarnya tidak dibutuhkan tubuh. Suplemen, ia melanjutkan, memang cocok untuk mereka yang habis menderita sakit berat, mereka yang memiliki pekerjaan dengan beban tinggi, atau mereka yang kesulitan mengkonsumsi makanan secara normal. "Misalnya orang tua yang mempunyai masalah gigi untuk mengunyah," ucap Inge.

Bagaimana dengan orang yang merasa kekurangan vitamin seperti yang dirasakan Danang? Tubuh sebenarnya menunjukkan sendiri kalau terjadi defisiensi zat gizi mikro. "Seperti pegal-pegal karena penumpukan asam laktat," ujar ahli gizi Firlia Ayu Arini. Kalau sudah begitu, memang perlu tambahan vitamin B kompleks atau B12. Bisa pula dilihat dengan munculnya sariawan atau masalah di mulut, indikasi yang mengarah pada kebutuhan suplai vitamin C. "Yang terbaik adalah dengan sumber-sumber alami," kata Kepala Program Studi Ilmu Gizi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta ini. Tapi, kalau tidak bisa dipenuhi cepat, masuklah suplemen.

Penutup dari jurnal yang ditulis oleh Eliseo Guallar, Saverio Stranges, Cynthia Mulrow, Lawrence J. Appel, dan Edgar R. Miller III menyatakan suplemen tidak perlu bagi mereka yang normal. "Dan mungkin berbahaya (bagi yang normal). Vitamin-vitamin ini sebaiknya tidak digunakan untuk pencegahan penyakit kronis karena cukup adalah cukup."

Dianing Sari


Apalagi yang Ilegal

JIKA suplemen atau vitamin yang resmi saja bisa menimbulkan bahaya, apalagi yang belum dites dan belum mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Badan ini, lewat situs www.pom.go.id, sebenarnya telah melansir produk-produk yang sudah dites dan layak dikonsumsi. Kita bisa melihatnya di bagian produk teregistrasi. Sebab, kalau tidak memiliki izin edar, dipastikan produk belum aman dikonsumsi. Tapi kita terkadang malas mengeceknya.

Data Badan Pengawas Obat dan Makanan menunjukkan, sampai 2013, ada enam produk suplemen yang positif mengandung tadalafil dan sildenal sitrat. Dua zat kimia tersebut mudah ditemui di suplemen stamina pria dan obat pelangsing serta dinyatakan berbahaya untuk dikonsumsi.

Melalui surat elektroniknya, Badan Pengawas menyatakan saat ini sepertiga suplemen yang beredar adalah produk impor. Termasuk yang beredar lewat multilevel marketing. Badan Pengawas memperingatkan, dalam tiga tahun terakhir, ada tiga produk tanpa izin edar dan tiga produk yang izin edarnya sudah habis. Sedangkan pelaku usaha diberi peringatan keras. "Sesuai dengan Undang-Undang Pangan, suplemen berfungsi melengkapi asupan untuk memelihara atau mengurangi suatu risiko penyakit, bukan untuk pengobatan," tulis Budi Djanu Purwanto, Kepala Biru Hukum dan Humas BPOM.

Dianing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus