Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Burung, Kucing, atau Manusia?

Virus flu burung sudah menjangkiti 20 persen kucing liar. Namun, belum ada bukti virus itu bisa menular dari kucing ke manusia atau antarmanusia.

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Burung, Kucing, atau Manusia?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Beleid pemerintah melarang unggas di wilayah permukiman tak membuat Chairil Anwar Nidom merasa senang. Peneliti di Avian Influenza (AI) Laboratory Tropical Disease Center, Universitas Airlangga, Surabaya, ini ragu upaya tersebut bisa memutus mata rantai penularan virus maut tersebut. ”Cara itu cuma mampu mengurangi jumlah virus, bukan menghentikan penyebarannya,” ujarnya.

Di laboratoriumnya, Nidom akrab dengan virus mematikan itu. Dia mengenali perilaku dan tabiatnya. Selama ini dia berpegang pada teori bahwa virus flu burung tidak bisa hinggap begitu saja ke tubuh manusia. Perbedaan suhu tubuh antara burung dan manusia menjadi penghalangnya.

Tubuh burung bersuhu 41 derajat Celsius, lima derajat lebih panas dibanding manusia. Untuk menyambung perbedaan suhu ini, si virus perlu jembatan penghubung. Bentuknya mamalia yang punya suhu tubuh mirip manusia seperti kucing dan babi. Hewan-hewan ini, menurut Nidom, bisa berfungsi sebagai mata rantai tengah penyebaran flu burung sebelum akhirnya hinggap ke tubuh manusia.

Setelah bersarang di tubuh manusia, tentu lebih mudah bagi si virus untuk meloncat ke tubuh manusia yang lain. ”Kita harus sadar bahwa virus flu burung bisa menular antarmanusia,” Nidom mengemukakan teorinya.

Ia sempat melakukan pembuktian teori lewat serangkaian penelitian. Pada awal 2005, Nidom menemukan virus H5N1 pada sejumlah babi di wilayah Tangerang, Banten. Babi-babi di sana memang dipelihara bercampur dengan ayam. Babi diketahui memiliki dua spesifitas reseptor virus, yakni alfa 2,3 seperti pada burung dan alfa 2,6 yang dimiliki manusia.

Dengan kedua reseptor ini, virus di tubuh burung dan manusia bisa berpindah ke tubuh babi. Begitu pula sebaliknya. ”Tapi saya yakin babi bukan satu-satunya hewan yang digunakan virus untuk beradaptasi,” katanya.

Untuk mencari tahu, Nidom lantas melakukan penelitian dengan mengambil sampel 500 ekor kucing liar di Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta, Tangerang, dan Lampung. Sepanjang September–Desember 2006, kasus kejadian flu burung di kota-kota itu tergolong tinggi.

Kucing-kucing yang menjadi sampel adalah kucing yang biasa berkeliaran di rumah sakit rujukan pasien flu burung dan pasar yang menjual ayam. Setelah hasil usapan pada nasofaring dan anus kucing diperiksa, diketahui ada 20 persen kucing yang terinfeksi virus H5N1.

Nidom menduga virus flu burung masuk ke tubuh kucing liar pasar lewat daging ayam yang dimakannya. Adapun kucing-kucing yang berkeliaran di rumah sakit diduga tertular dari pasien flu burung. ”Kalau benar, berarti ada kemungkinan kucing juga punya dua reseptor virus,” katanya.

Dugaan Nidom tak disetujui Tjandra Yoga Aditama. Ahli paru dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, ini menegaskan, didapatinya virus flu burung pada kucing liar bukanlah penemuan baru. Peneliti asal Jerman dan Thailand pernah mengungkapkan hal yang sama. ”Cuma apakah kucing dapat menularkan ke manusia, kita belum tahu,” ujarnya.

Tjandra mengakui, secara teoretis, virus dari kucing memang lebih mudah berpindah ke manusia. Namun, dalam kasus flu burung, teori ini belum tentu benar. Satu hal yang ia yakini, penularan flu burung lewat unggas sudah tak perlu diragukan lagi. Terbukti sekitar 80 persen pasien yang terinfeksi virus maut ini memiliki riwayat kontak dengan unggas.

Yang belum jelas hingga kini adalah bagaimana cara virus maut itu menginfeksi manusia. Sejumlah tanda tanya masih menggantung. Mengapa tidak semua orang yang berinteraksi dengan unggas yang sakit terpapar virus? Memang, ada orang yang sakit, tapi tak sedikit yang tetap sehat walafiat. Adanya kesamaan reseptor virus sebagai syarat proses infeksi juga belum terbukti.

Maka, Tjandra pun tak sependapat sudah terjadi penularan antarmanusia. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Triono Soendoro, bersuara serupa. ”Kalau bisa menular antarmanusia, semua orang di Rumah Sakit dan tetangga yang membawanya pasti tertular juga. Kenyataannya kan tidak,” ujarnya.

Kabut misteri memang masih membungkus proses penularan virus maut ini.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus