Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayam, bebek, dan burung kini tak punya hak hidup di Kampung Mangga Besar, Kota Madya Tangerang, Banten. Unggas peliharaan yang berkeliaran atau dikurung ini ditangkapi untuk dipotong dan dibakar. Tak ada yang aman. Semua menghitam, termasuk kandang-kandangnya. Histeria penduduk terjadi setelah dua warga kampung sebelah, Riyah dan Ani Afriani, meninggal akibat terpapar virus flu burung pertengahan bulan ini.
Kematian dua orang tersebut, menurut Abdul Karim, ketua rukun warga di Kampung Mangga Besar, menyebarkan rasa takut. Mereka khawatir virus maut itu telah menyeberang ke kampungnya.
Inisiatif swadaya pemusnahan unggas itu disambut baik oleh Bayu Krisnamurthi, Ketua Pelaksana Harian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza. ”Itu merupakan kemajuan,” katanya. Aksi seperti ini sejalan dengan fokus kebijakan pemerintah memutus rantai virus flu burung dari unggas ke manusia.
Rantai penyebaran ini ingin dipapras setelah virus flu burung kembali mengganas pada awal tahun ini. Setelah hampir dua bulan penyakit ini ”tidur semu” dan membuat banyak pihak terlena karena tak ada korban jatuh, tiba-tiba lima warga Jakarta dan Tangerang positif terpapar. Empat di meninggal. Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian, Musni Suatmodjo, mengaku kecolongan. Pemerintah, menurut dia, terlambat menguji daerah-daerah yang dicurigai sebagai sarang virus flu burung.
Sedangkan Bayu punya pendapat lain. Sejak September lalu, ia sudah menduga serangan virus ini bakal muncul kembali. ”Cuma, tidak diketahui kapan dan di mana,” ujarnya. Katanya, selama masih ada kontak langsung unggas dan manusia dalam kondisi sanitasi permukiman yang buruk, virus itu akan terus bertahan hidup. Suara Bayu mungkin berbeda dengan Musni, tapi intinya sama: tak ada tindakan preventif pemerintah untuk menahan penyebaran virus ini.
Baru belakangan pemerintah bereaksi. Pekan lalu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie menginstruksikan larangan memelihara unggas di pekarangan rumah. Larangan segera diterapkan di tiga provinsi dengan kasus flu burung terbaru, DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Delapan provinsi yang berisiko tinggi terkena flu burung segera menyusul, yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
Instruksi pusat itu disambut Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dengan sigap. Rabu pekan lalu, ia menerbitkan peraturan gubernur soal larangan memelihara unggas di permukiman. Warga Jakarta diberi waktu dua minggu membersihkan pekarangannya dari unggas. ”Mereka boleh mengkonsumsinya, menjual, atau memusnahkan,” katanya. Setiap unggas yang dimusnahkan akan diganti uang Rp 12.500. Pada 1 Februari, tak boleh lagi ada unggas berkeliaran di pekarangan warga Jakarta.
Tindakan preventif tak hanya menggusur unggas dari permukiman, tapi pemerintah juga gencar melanjutkan program vaksinasi. Menurut Bayu, pemerintah Indonesia memang konsisten mengedepankan vaksinasi untuk menghadang penyebaran virus, berbeda dengan Thailand dan Vietnam yang mengandalkan metode pemusnahan unggas.
Sayang, sikap konsisten ini tidak dibarengi dengan penyediaan stok vaksin di Departemen Pertanian. Tahun ini, mereka hanya bisa menyediakan 60 juta vaksin flu burung. Padahal diperkirakan ada 300 juta unggas yang perlu diberi serum. Tahun lalu unggas yang divaksin pun baru sekitar 78 juta ekor.
Apalagi vaksinasi itu pun sesungguhnya tidak cukup sekali. ”Minimal tiga atau empat kali per tiga bulan,” kata Memed Zoelkarnaen Hasan, Kepala Urusan Komunikasi Publik Unit Manajemen Kampanye Flu Burung Departemen Pertanian.
Agar berhasil dalam perang melawan flu burung, pemerintah idealnya harus menyediakan 1,2 miliar vaksin. Tapi, karena stok tipis, Departemen Pertanian terpaksa mengirit vaksin dengan fokus pada unggas di permukiman, terutama di 11 provinsi dengan risiko tinggi flu burung.
Pekerjaan rumah lain yang masih terbengkalai adalah pengawasan dan pengaturan lalu-lintas ternak, produk ternak, dan kotorannya. Perkara ini terhambat lantaran belum ada peraturan. ”Ini memang tidak bisa diselesaikan dalam dua-tiga hari,” kata Bayu.
Betul. Tanpa perlawanan total, perang melawan flu burung bakal berlipat kali lebih lama dari dua-tiga hari.
Sapto Pradityo, Ewo Raswa, Joniansyah, Yudha Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo