Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kecolongan Flu Burung

Setelah dua bulan reda, avian influenza menelan empat korban jiwa dalam waktu kurang dari sepekan. Pemerintah dianggap lengah dan reaktif.

22 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hantu blau ini bernama flu burung. Tak sampai sepekan, Januari ini, sudah empat nyawa melayang karenanya. Puluhan pasien lain yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta sedang dalam perawatan serius karena diduga tersambar flu yang satu ini.

Muhammad Arif, 18 tahun, contohnya. Lebih dari sepekan dia tergolek lemah di ruang isolasi Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Kadar sel darah putih dan trombositnya merosot. Foto rontgen menunjukkan, paru Arif meradang pertanda serangan virus avian influenza. Arif juga demam tinggi, lemas, hampir selalu tak sadar, dan tak bisa bergerak.

Syukurlah, kondisi Arif berangsur membaik. Pekan lalu, kesadarannya mulai timbul, tangannya sudah bisa bergerak. ”Radang parunya stabil, tidak meluas ke bagian yang lain,” kata dokter Muchtar Ichsan, Ketua Tim Penanggulangan Flu Burung RS Persahabatan.

Bagi Muchtar, setiap detik perkembangan Arif sangat bermakna. Maklum, dari lima pasien positif flu burung yang dirawat di Persahabatan, Arif satu-satunya yang sanggup bertahan hidup. Nyawa empat pasien yang lain sudah tercabut, termasuk Nyonya Riyah, 37 tahun, ibunda Arif yang meninggal persis pada hari pertama Arif dirawat di rumah sakit. Tiga pasien lain yang meninggal secara berurutan adalah Randy (14 tahun, warga Kalideres, Jakarta Barat), Zulfa (27 tahun, warga Mampang, Jakarta Selatan), dan Ani Afriani (22 tahun, penduduk Panunggangan, Tangerang).

Maut di bulan Januari itu berdampak serius. Posisi Indonesia semakin kukuh sebagai negara terbanyak korban avian influenza yang meninggal, yakni 61 orang dari total kasus 79 pasien positif flu burung. Negeri ini kian menjadi titik panas kegawatan flu burung di dunia.

Pemerintah pun seperti kebakaran jenggot. ”Kami kecolongan,” kata Musni Suatmodjo, Direktur Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian. Pengakuan serupa dilontarkan Bayu Krisnamurthi, Ketua Pelaksana Harian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza. ”Kami tak menduga secepat ini serangannya,” kata Bayu.

Sepanjang November–Desember 2006, memang tak satu pun muncul kasus flu burung pada manusia. Akibatnya, Bayu mengakui, tak ada program pencegahan yang cukup agresif digeber sepanjang Desember lalu. Mendadak di awal tahun ini, pasukan H5N1, virus penyebab avian flu, kembali menggebrak (lihat infografik Serangan di Awal Tahun).

Benar, pada penghujung tahun lalu, secara umum profil flu burung lebih jinak. Pada rentang Maret–Juli 2006, rerata kasus infeksi flu burung adalah 5,6 dengan kematian 4,7 per bulan. Angka ini turun menjadi 3,8 pada Agustus-Desember 2006 dengan kasus kematian 2,6 per bulan.

Tren penurunan ini rupanya membikin para petinggi lengah. Padahal, laju penurunan hanya semu dan cenderung menyesatkan. Harap periksa, dalam dua bulan terakhir 2006, ada 25 ribu unggas tewas kena flu burung. Nah, ”Sepanjang masih ditemukan binatang yang terinfeksi, maka potensi penularan kepada manusia tetap tinggi,” kata dr. Tjandra Yoga Aditama, ahli paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan.

Patut digarisbawahi, negeri ini pun masih lekat dengan aneka faktor yang membuat virus nyaman berkembang. Kesadaran masyarakat akan kesehatan belum oke. Jika menelusuri pojok-pojok gang sempit di Jakarta, Anda mungkin akan menjumpai para pencinta merpati yang sedang mencumbu burung piaraan mereka—secara harfiah! Paruh si merpati dikulum. Entah apa saja yang bertukar antara burung dan manusia itu selain air liur.

Nah, dengan segenap kondisi tersebut, seharusnya kewaspadaan pemerintah tak boleh kendur. Namun, cerita ”kecolongan” telah terjadi. Dan, seperti biasa, pemerintah bertindak seperti pemadam kebakaran.

Pekan lalu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie merilis instruksi larangan keberadaan unggas nonkomersial—kurang dari 10 ekor—di permukiman. Soal teknis pelaksanaan di lapangan diserahkan kepada daerah, baik provinsi maupun kota madya dan kabupaten (lihat Tak Ada Kukuruyuk di Pekarangan).

Bagi C.A. Nidom, peneliti dari Universitas Airlangga, Surabaya, menyerahkan teknis pemusnahan unggas permukiman kepada daerah bukan langkah bijaksana. Daerah bisa berimprovisasi, terutama bila menyangkut keterbatasan dana. Risikonya tidak main-main, upaya mengerem laju flu burung bisa amburadul. Bahkan, karena tidak dilakukan sama rata, katanya, ”Program ini bisa memicu sinisme masyarakat.” Seharusnya, apabila menyangkut sistem kesehatan (hewan, apalagi manusia) kebijakan harus dikomando dan dibiayai pusat. Rakyat pun wajib patuh. ”Tak boleh ada tawar-menawar,” kata Nidom.

Lepas dari urusan teknis pelaksanaan, harus diakui bahwa unggas di permukiman memang berperan penting dalam lakon flu burung. Sebagian besar korban, sekitar 80 persen, dilaporkan sakit setelah berinteraksi dengan unggas di sekitar rumah mereka. Artinya, mengatur keberadaan unggas di permukiman memang penting demi memutus rantai penyebaran virus.

Namun, beberapa pihak menilai pelarangan unggas di permukiman adalah reaksi panik dan ketakutan berlebihan. ”Mestinya, pemusnahan unggas dilakukan selektif. Bukan seperti sekarang, tak peduli sakit atau sehat, unggas di permukiman tetap disikat,” kata seorang pejabat yang enggan disebut jati dirinya. Pemerintah pun, menurut dia, sebaiknya tetap teguh menjalankan sikap bahwa vaksinasi yang utama.

Persoalannya, program vaksinasi unggas selama ini tidak berjalan efektif. Tahun ini, Departemen Pertanian hanya sanggup menyediakan 60 juta vaksin flu burung. Jumlah ini dipastikan jauh dari cukup mengingat ada 300 juta unggas yang perlu disuntik. Belum lagi jika diingat bahwa unggas perlu divaksin dua-tiga kali dalam setahun.

Tampaknya, bukan soal biaya yang membuat program vaksinasi tak bergigi. Sumber Tempo mengisahkan, pejabat Departemen Pertanian sudah berulang kali ditawari sejumlah dana untuk pengadaan vaksin unggas oleh pemerintah dan lembaga donor, tapi tawaran ini tak pernah konkret lantaran kurang siapnya perencanaan.

Musni Suatmodjo, Direktur Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian, membenarkan ketidaksiapan tersebut. Menurut Musni, pihaknya memang berencana mengajukan angka tambahan dana kepada pemerintah untuk pengadaan vaksin. Cuma, berapa persisnya dia belum tahu. ”Kami belum menghitung,” katanya.

Ketidaksiapan juga ada pada jajaran Departemen Kesehatan. Tahun lalu, pemerintah telah menunjuk 44 rumah sakit sebagai rujukan pasien di berbagai provinsi. Namun, menurut pengecekan Tempo di lapangan, kondisi sebagian rumah sakit rujukan masih jauh dari harapan.

RS Umum Undata Palu, Sulawesi Tengah, contohnya. Peralatannya sangat terbatas di sini. Tak ada ventilator (alat bantu pernapasan), tenaga kesehatan pun cuma satu orang. Lain lagi problem RS Umum Jambi. Ruangan dan tim medisnya memang lebih siap, tapi rumah sakit ini hanya sanggup menangani dua pasien flu burung. Kondisi RS Umum Ternate lebih parah lagi. Tak ada ruangan dan sarana untuk pasien flu burung. ”Kalau ada pasien, kami akan kirim ke rumah sakit rujukan di Manado dan Makassar yang fasilitasnya lebih lengkap,” kata dokter Idhar Sidi Umar, Direktur RSU Ternate.

I Nyoman Kandun, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan, tak menampik keterbatasan tersebut. Pihaknya berjanji akan terus membenahi kekurangan, baik sarana maupun ketenagaan. ”Kami akan segera mengecek di lapangan,” katanya.

Kandun sepakat bahwa kesiapan adalah harga mutlak bagi pencegahan penyebaran flu burungd8. Ancaman penyakit ini tak bisa dipandang enteng. Jurnal The Lancet terbaru menyebutkan, ada 62 juta penduduk bumi yang berisiko terinfeksi flu burung jika pandemi terjadi. Perkiraan lebih lanjut: Indonesia ditaksir akan kehilangan 1,3 juta orang jika benar pandemi flu burung datang (lihat Jika Pagebluk Terjadi).

Benar, pandemi flu burung baru bersifat taksiran ilmiah. Walau begitu, ada baiknya pemerintah bersungguh-sungguh mengetatkan koordinasi di semua lini agar skenario terburuk itu tak terjadi. Seperti kata Nidom, ”Tak boleh ada kecolongan lagi.”

Dwi Wiyana, Sapto P, Ewo Raswa, Sofian (TNR), Syaipul Bakhori (Jambi), Darlis Muhammad (Palu), Rachman Samiun (Ternate)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus