Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyerangan terhadap Ahmadiyah, pemaksaan pembubaran, dan pengusiran pengikutnya melukiskan geger keagamaan. Sekurangnya hal itu menunjuk model keberagamaan, rendahnya tingkat kepercayaan publik, dan ketidaksiapan warga dalam kehidupan yang semakin terbuka. Reformasi yang membuka berbagai persoalan yang selama ini tertutup membawa ekses: munculnya konflik keagamaan yang disertai kekerasan.
Konflik semakin tajam dalam dinamika politik (lokal, nasional, global) seiring gencarnya penayangan pornografi dan mistik dalam televisi dan pers. Sementara pemikiran Islam tidak berkembang secepat perubahan sosial dan perkembangan iptek, umat Islam seperti kehilangan pemandu hidup. Kesalehan sepertinya harus dicapai, termasuk menolak paham lain.
Dari sini kita bisa memahami kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah yang juga percaya bahwa Muhammad adalah khataman nabiyyin. Pemeluk Islam meyakini Muhammad SAW sebagai nabi penutup, Ahmadiyah memandangnya sebagai nabi termulia yang memberi ruang bagi nabi lain dengan kualitas lebih rendah. Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908), pendiri Ahmadiyah, diyakini sebagian pengikut Muhammad dan telah menerima wahyu yang menandai pengangkatannya sebagai Al-Mahdi.
Meskipun wahyu yang diterima Ghulam Ahmad diyakini tidak sekelas wahyu yang diterima Muhammad SAW, kelahiran Ahmadiyah (1889) mengundang debat sengit, bahkan di antara pengikutnya sendiri. Dipelopori Kwaja Kamaluddin dan Maulwi Muhammad Ali, tahun 1914 lahir Ahmadiyah Lahore, yang memandang Ghulam Ahmad sebagai mujaddid (pembaru). Sedangkan yang meyakini Ghulam sebagai Al-Mahdi dikenal sebagai Ahmadiyah Qodian. Fatwa sesat MUI terhadap Ahmadiyah tidak tegas membedakan dua kelompok itu.
Ahmadiyah yang masuk ke Indonesia sejak sebelum kemerdekaan itu terus berkembang. Pemimpin tertinggi Ahmadiyah yang berpusat di London, Mirza Thahir Ahmad, tahun 2000 pernah berkunjung ke Indonesia berbicara dalam seminar internasional yang diprakarsai UGM dan International Forum on Islamic Studies (IFIS).
Penganut Ahmadiyah meyakini Ghulam Ahmad menerima wahyu, dan status kenabian Ghulam masih berlangsung. Pemeluk Islam lainnya meyakini wahyu telah selesai dengan Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Wajar jika keyakinan Ahmadiyah itu dipandang merusak akidah dan menyimpang dari Islam.
Beda paham antar-pemeluk beda agama, sesama pemeluk Islam, bahkan di antara pengikut sebuah organisasi Islam semakin tajam di tengah arus deras globalisasi. Penyelesaian sengketa keagamaan akibat beda paham cenderung dilakukan dengan aksi pengerahan massa disertai kekerasan. Seolah Islam hanya bisa ditegakkan dengan teror dan kekerasan.
Keyakinan Islam sebagai ajaran sempurna dan tunggal sering menyebabkan sebagian umat menempatkan diri sebagai tangan Tuhan yang berhak menghakimi siapa saja yang berbeda, jika perlu dengan kekerasan. Pemeluk Islamagama yang santun dan damaitampaknya perlu berdamai dengan pemeluk Islam lainnya.
Karena itu, toleransi keagamaan bagi kemuliaan kemanusiaan, bukan mengubah keyakinan, semakin penting untuk dikembangkan. Penyelesaian sengketa akibat beda paham harus diletakkan pada sistem kehidupan bersama dalam kerangka negara-bangsa. Tuhan sendiri berfirman, jika Dia berkehendak, maka seluruh manusia akan memeluk satu agama dengan paham yang seragam. Tapi Dia biarkan semua berlangsung alami untuk menguji siapa yang terbaik.
Ahmadiyah sendiri perlu lebih terbuka: mengkomunikasikan pandangannya atas wahyu dan kenabian, termasuk makna Al-Mahdi. Para pihak yang memandang Jemaah Ahmadiyah sebagai aliran sesat perlu melakukan tabayyun (klarifikasi) melalui dialog guna menemukan titik kesepahaman. Kesediaan melakukan dialog secara terbuka itu semakin penting guna menemukan yang terbaik bagi kemanusiaan di tengah arus deras globalisasi, sehingga Islam benar-benar memberi rahmat bagi semua orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo