Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) Budi Haryanto mengatakan dampak polusi udara terhadap kesehatan fisik maupun mental manusia dapat dibagi menjadi dua yaitu jangka pendek dan panjang. "Sebanyak 60 persen penyakit yang diidap seseorang pada umumnya berasal dari paparan polusi udara. Bandingkan dengan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi lewat mulut. Itu hanya sekitar 15 persen,“ kata Budi dalam keterangan di Jakarta, Rabu 10 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat berbincang dengan Katadata Green di Lab Multidisiplin UI, Budi mengatakan dalam jangka pendek penyakit pada orang yang terpapar polusi udara berupa batuk, flu, dan radang tenggorokan. Sementara penyakit jangka panjang berpotensi lebih kronis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi menjabarkan pencemar kimia dapat tersimpan di dalam paru-paru dan organ lain, seperti otak, ginjal, dan jantung, melalui saluran peredaran darah. Timbunan pencemar dapat menyebabkan gangguan jantung, ginjal, kanker paru-paru, bahkan stroke.
Selain penyakit fisik, lanjutnya, polusi udara juga salah satu pemicu penyakit mental. Timbunan pencemar di otak dapat memicu gangguan kecemasan, demensia, dan depresi. “Ini disebabkan senyawa kimia seperti merkuri, timbel, dan kadmium, serta logam-logam berat berbahaya lainnya yang terkandung, terbawa dalam udara,” ungkapnya.
Paparan polusi udara tidak hanya berpengaruh di luar ruangan atau bangunan, tetapi juga bisa di dalam ruangan. Pencemar yang terbawa masuk ke dalam ruangan tersebut dampaknya dapat mempengaruhi kesehatan, bahkan kinerja orang-orang di dalamnya.
Budi Haryanto mengatakan polusi udara yang terbawa ke dalam ruangan berasal dari pergerakan pekerja dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Dalam perjalanan, pencemar dari emisi kendaraan dan kondisi sekitar dapat menempel di pakaian pekerja dan menyebar di dalam ruangan tertutup. “Pekerja keluar-masuk dari rumah, naik sepeda motor, kemudian di jalan tertempel pencemar kimia dari kendaraan lain atau virus dan bakteri dari jalan, sehingga saat di kantor pencemar yang menempel di sepatu atau pakaiannya bisa menyebar,” katanya.
Pencemar biologis maupun kimiawi dapat menempel pada pekerja maupun orang yang ada di dalam ruangan tertutup. Ada juga pencemar dari kegiatan perkantoran, seperti penggunaan mesin cetak dan fotokopi, membuat polusi udara di dalam ruangan menjadi lebih parah.
Fenomena gedung perkantoran yang memiliki tingkat konsentrasi polusi udara yang tinggi disebut sick building syndrome. Kondisi ini dapat diperparah oleh ketiadaan ventilasi yang baik.
Sebelumnya publikasi jurnal ilmiah PubMed Central melaporkan polusi udara berkaitan dengan berkurangnya tingkat kebahagiaan dan meningkatkan tingkat gejala depresi. Sementara jurnal Environmental Pollution mencatat kaitan antara paparan jangka panjang pada Particulate Matter (PM) 2,5 terhadap peningkatan risiko depresi.