PENERIMA transfusi darah dewasa ini agaknya bagai menghadapi simalakama. Kurang darah sakit, tambah darah pun bukan jaminan bebas dari penyakit. Di Amerika Serikat, misalnya, akhir tahun 60an ditemukan sepertiga dari darah yang disimpan untuk transfusi mengandung virus hepatitis. Dan pada awal 1980an, ribuan warga Amerika penerima transfusi darah mengidap virus penyebab AIDS, yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV). Sebenarnya, ada beberapa teknik untuk menghidari masuknya bibit penyakit yang dibawa lewat transfusi darah, seperti dimuat mingguan Newsweek terbitan awal bulan ini. Misalnya, dengan cara menyimpan darah sendiri, mendaur ulang, mempercepat produksi sel darah merah, maupun mensterilkan darah tersebut dengan meramu bersama bahan kimia. Namun, dari semua metoda itu, menurut Dokter Bernard Horowizt, Wakil Presiden Pusat Darah di New York, AS, yang paling aman adalah dengan memakai darah sendiri. Cara itu biasa disebut autologous transfusion, yaitu menggunakan darah pasien sendiri yang sebelumnya disimpan di bank darah. Teknik seperti itu kini telah diterapkan pada sekitar 5% dari total transfusi yang terjadi di AS. Dan tampaknya sistem ini sulit diharapkan bisa melebihi 30%. Karena, para korban kecelakaan dan bayi prematur, misalnya, tidak bisa melakukan cara tersebut. Selain itu, darah juga tak bisa disimpan selamanya. Sel darah merah, komponen vital pembawa oksigen, hanya bisa bertahan 42 hari bila didinginkan, atau 10 tahun bila dibekukan. Dan orang yang menderita penyakit serius, terlalu lemah untuk menyediakan darahnya sendiri. Teknik lain untuk mengamankan transfusi, dengan cara mendaur ulang darah yang telah terpakai. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan cell saver, yaitu mesin yang bisa menampung sel darah merah dari pasien yang menjalani operasi. Setelah dicuci, darah pasien dimasukkan kembali ke tubuhnya. Bisa juga dengan mempercepat produksi sel darah merah. Pemberian erythropoietin (EPO) -- hormon yang mengatur pembuatan sel darah merah -- bisa membantu tubuh mengatasi kekurangan darah. Ini biasa dilakukan terhadap bayi prematur. Dan beberapa ahli mengemukakan bahwa pemberian EPO sebelum pembedahan bisa membantu mencegah terjadinya tranfusi di ruang operasi. Namun, teknik semacam ini mahal, yakni sekitar US$ 1.000 per pasien. Perkembangan terakhir menyelamatkan darah donor adalah dengan sterilisasi. Beberapa bahan kimia bisa digunakan untuk mencuci darah agar bebas virus, seperti pemakaian unsur pembeku pada kasus-kasus hemofilia. Hanya saja, proses ini bersifat meracuni sel darah merah. Karena itu, para ahli kini mengembangkan teknik sterilisasi sebagai cara yang lebih aman. Dr. Alan Rubinstein dari University of Southern California telah membuktikan bahwa kombinasi antara sodium chlorite dan lactic acid dapat membunuh virus tanpa merusak sel darah merah. Dan para peneliti di Albert Einstein College of Medicine New York menemukan hasil yang menjanjikan. Yaitu, bahan kimia bernama butylurea, yang kabarnya mampu melawan HIV di dalam darah. Bahkan, Future Medical Products, sebuah perusahaan yang memegang paten bersama universitas tersebut, kini sedang melakukan persiapan untuk memasarkan prosedur tersebut ke bank-bank darah. Menurut Prof. Ari Harryanto, baik kombinasi sodium chloride dan lactic acid, maupun butylurea, sifat kerjanya hanyalah menghambat pertumbuhan virus, bukan membunuhnya. Artinya, kata hematolog Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, itu darah donor yang bervirus tetap berbahaya untuk ditransfusikan. Temuan itu paling tidak akan melengkapi alat penyaring darah yang diproduksi Asahi Chemical Industry, Jepang. Alat yang diberi nama Bemberg Microporous Membrane itu, konon, mampu menyaring darah sehingga bebas dari virus hepatitis dan HIV (TEMPO, 28 September 1991). Bagaimana di Indonesia? Tiap tahun sekitar 210.000 liter darah ditransfusikan ke pasien yang membutuhkannya. Darah itu, menurut Kepala Pelayanan Usaha Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat, Jakarta, Dokter Masri Rustam, sebelum disimpan telah diuji kebersihannya dan ditanggung bebas virus. PMI Jakarta, misalnya, menurut Masri, sejak 1985 sudah melakukan pengecekan virus hepatitis B dalam darah donor. Sedangkan pengecekan HIV dilakukan sejak 1989. Cara untuk melacak HIV, misalnya, dengan dipstic yang baru diterapkan tahun lalu. Dan bahan baku dari metode ini belum lama ini berhasil dirakit Laboratorium Hepatika di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Prinsip kerja dipstic merupakan tes imunologi atas dasar reaksi antigenantibodi. Sebagai indikator dipakai reagensia signal, karena mampu memberikan perubahan warna. Jika perangkat sisir, yang merupakan bagian perlengkapan metode ini, dicelupkan dalam sample darah yang mengandung HIV, maka melalui proses tertentu, membuat ujung sisir menjadi berwarna merah kecoklatan (TEMPO 2 Mei 1992). Jaminan darah transfusi benar-benar bebas virus ini sungguh penting, mengingat sekitar dua milyar penduduk dunia kini diperkirakan terinfeksi hepatitis B. Dan sekitar 12 juta yang mengidap virus penyebab AIDS. Selama ini, semua darah donor yang ketahuan mengandung virus biasanya dibuang. Jadi, kalau metode pembersihan virus tersebut terbukti ampuh, tidak perlu darah milik orang yang berhati luhur itu terbuang percuma. Gatot Triyanto dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini