KAPTEN Eman Djuhana kini terbaring lemah di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta. Lambungnya penuh perban, dan lengan kirinya digips. Itulah luka-luka yang dideritanya setelah diberondong anak buahnya sendiri, Kopral Satu Margioto, 30 tahun, Senin malam pekan silam. Margioto menembak atasannya yang berusia 50 tahun itu dengan senjata laras panjang jenis US Carabine dalam jarak satu meter, di pekarangan rumah dinas Kapolsek Pondok gede itu. Sedikitnya empat peluru menghajar Eman. Yaitu, tiga peluru menghancurkan lengan kirinya, dan sebutir mengoyak lambung kirinya, tembus ke kanan. Sesudah itu, Margioto kembali ke Kantor Polsek yang jaraknya beberapa meter. Di situ ia mengambil satu senjata lain, jenis SKS. Margioto menembak pula Sersan Dua Joni, 30 tahun, yang mencoba membujuknya. Joni ambruk, setelah kaki kirinya ditembus peluru. Sebelum diamankan, hampir dua jam Margioto menguasai Kantor Polsek Pondokgede. Ia baru meletakkan senjatanya setelah mendengar perintah dari Kapolres Bekasi, Letnan Kolonel Basyir Ahmad Barmawi, yang disampaikan melalui radio SSB (single side band). Dan lewat pesawat itu pula ia menyampaikan "maaf" kepada Kapolres, sekaligus menitipkan anak dan istrinya. Kapolres kemudian menyita dua senjata, lima butir selongsong peluru, berikut 115 peluru utuh. Eman tidak menyangka anak buahnya berbuat nekat. Menurut dia, hubungan mereka selama ini baikbaik saja. "Antara saya dengan Margioto tidak ada masalah pribadi," kata Eman, dengan suara masih lemah, kepada TEMPO. Yang diingatnya bahwa enam bulan silam ia pernah menghukum Margioto lantaran tidak serius mengikuti apel. Ketika itu Margioto memakai seragam lusuh dan tidak berkaos kaki. Akibat kesalahannya itu, Margioto dihukum loncat jongkok dengan tangan di kepala (squat jump) sepuluh kali. Tapi, Eman tak yakin bila hukuman itu membuat Margioto menyimpan dendam kepadanya. Sejak sebelas bulan menjabat Kapolsek, yang diketahuinya anak buahnya itu pendiam. Ternyata pada malam itu Margioto meledak. Sebelum ia pulang ke rumahnya, Eman menegur Margioto lantaran dalam bertugas memakai sandal. Sekitar pukul 20.00, saat Eman duduk di depan kantor, muncul Margioto dengan berpakaian preman. "Selamat malam, Pak. Malam ini saya piket," katanya. "Silakan tugas, tetapi kamu kok pakai sandal? Ayo, pulang dulu ambil sepatu," begitu Eman Djuhana menjawab bawahannya itu. Margioto tidak memakai sepatu karena eksim di kakinya kambuh. Teguran itu membuat Margioto meninggalkan posnya. Ia kemudian mampir di warung kopi yang tidak jauh dari Kantor Polsek. Di situ ia menenggak minuman beralkohol. Setelah itu, bapak satu anak ini kembali ke Kantor Polsek. Ia mengambil senjata dan beberapa butir peluru. Margioto terkesiap dan menyelinap ke rumah atasannya. "Kapolsek, Kapolsek, keluar kau," teriak Margioto, sambil sekali melepaskan tembakan ke atap rumah. Eman, yang sedang menyimak tayangan Dunia Dalam Berita dari TVRI, kontan mencelat keluar. Ia melihat anak buahnya itu menyender di dinding dengan senjata laras panjang menggantung di pinggang. Margioto segera melepaskan tembakan beruntun. Beberapa timah panas menerjang tubuh Kapolsek itu sehingga membuatnya roboh. Dengan sisa tenaganya, Eman berjalan tertatih-tatih. Dan atas bantuan seorang tetangga serta istrinya, Eman lalu dibawa ke RS Harum, kemudian dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo, dan terakhir diboyong ke RSPAD Gatot Subroto. Sersan Dua Joni yang berusaha menenangkan Margioto ketiban sial. Ia terkena sasaran timah panas yang ditembakkan Margioto. Kenapa Margioto senekat itu? Menurut Kapolda Metro Jaya, Mayor Jenderal M.H. Ritonga, sebenarnya masalahnya menyangkut kemelut dalam keluarga polisi itu. Margioto yang sudah berkeluarga itu, tambah Ritonga, hingga kini masih menumpang pada mertuanya. Kabarnya, ia merasa hidupnya tertekan setelah satu setengah tahun serumah dengan mertuanya. Ditambah lagi dengan penyakit eksim yang dideritanya. Margioto yang ditemui di tahanan Provost Polda Metro Jaya, tak banyak berkomentar. "Semua itu sudah terjadi. Tolonglah, saya jangan diganggu dulu," katanya kepada TEMPO. Didampingi istri, saat itu Margioto menggendong putranya yang berusia enam bulan. "Saya menyesal, ketika itu saya memang khilaf," kata lelaki tinggi besar itu. Istrinya juga menolak bicara. "Sudahlah, tolong kami jangan diganggu dulu," pinta wanita ayu itu. Pasangan muda tersebut selama ini tinggal di rumah di kawasan Jatirahayu, Pondokgede, Bekasi, Jawa Barat. Mereka mendiami rumah ukuran 70 meter persegi. Selintas, menurut tetangganya, hubungan Margioto dengan mertuanya baik-baik saja. Karena itu Nyonya Ohan, ibu mertua Margioto, menolak dikatakan menantunya stres akibat masalah keluarga. Kalau menyangkut penyakit eksim di kaki, diakuinya, Margioto menderita. Dan ia malu. Belakangan, menurut sang mertua, Margito memang ingin mandiri. Namun, keuangannya belum mencukupi. Penghasilan kopral satu yang masa kerjanya sudah 10 tahun itu sekitar Rp 200.000. Maksud mandiri itu tidak pernah dicetuskannya kepada atasannya. Agaknya, keinginan yang tidak kesampaian itu membuat Margioto memilih murung dan pendiam. Akibatnya, penderitaannya menumpuk, dan makin lama makin dirasanya berat. Kemudian baru meledak kepada atasannya dan teman sejawatnya, yang dipilihnya menjadi sasaran penembakan. Gatot Triyanto dan Taufik T. Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini