NYONYA Poppy Maryati, 53 tahun, anti berurusan dengan ruang operasi. Tapi, baginya tidak ada pilihan, empedunya yang sudah lima tahun merongrong dirinya itu harus diangkat. Ia dimasukkan ke ruang bedah RS Husada, Jakarta, Jumat pekan silam. Selesai diangkat, dalam empedunya ditemukan 15 batu sebesar biji pepaya. Sehari usai operasi, Poppy tampak cerah. Penyakitnya enyah. Di perutnya tak ada luka sayatan yang lebar. Yang ada, empat luka kecil yang ditutup plester. "Dan tak nyeri," ujarnya sembari mengunyah biskuit. Begitu siuman, ia boleh makan dan diizinkan berjalan-jalan. Pembedahan yang dilakukan pada Poppy adalah cara baru. Tanpa pisau, tanpa darah. Sayatan lebar tak diperlukan lagi. "Boleh dikatakan ini revolusi pada teknik pembedahan," kata Ibrahim Ahmadsyah, 47 tahun, ahli bedah perut yang menangani Poppy. Teknik baru ini disebut minimally invasive surgery, alias bedah laparaskopik. Tangan dokter tidak usah lagi mengaduk isi perut dan dada pasien untuk memotong dan menjahitnya. Kerja itu dilakukan di luar dengan batang laparaskopik, yang dikontrol di layar video. Bedah laparaskopik, menurut Ibrahim, menjanjikan kenyamanan. Dan pasien cepat pulih. Mereka tidak lama diteror rasa sakit sebagaimana dialami pasien yang dioperasi secara konvensional, atau bedah laparotomi. Bekas luka (parut) setelah bedah laparaskopik ini kecil, dan tak mengganggu keindahan perut -- hal yang penting bagi pasien wanita. Meski ada sayatan yang minim, pendarahan tidak terjadi. Jadi, pasien tidak perlu tranfusi. Selain itu, menurut Mohan Chellapa, ahli bedah laparaskopik Singapura, bedah minimum bisa memberi jawaban bagi ketakutan orang akan bahaya penularan AIDS dan hepatitis lewat transfusi darah. Teknologi bedah minimum itu berkembang di AS sejak lima tahun lalu. Di sana orang yang mengalami persoalan di perut dan dada minta dibedah secara laparaskopik. Chellapa mengakui dirinya yang pertama membawa teknologi baru itu ke Asia, dan sejak dua tahun lalu dikembangkan di Mount Elizabeth Hospital Singapura. Ia datang ke Jakarta dua pekan lalu untuk berdiskusi tentang bedah laparaskopik. Chellapa telah melakukan bedah laparaskopik terhadap 600an pengidap batu empedu dan sepuluh penderita kanker usus. Di Indonesia bedah laparaskopik muncul setahun lalu. Bedah ini juga sudah berkembang untuk mengoperasi hernia, menambal tukak lambung, dan mengangkat usus. Ada 20 dokter bedah laparaskopik, sepuluh di antaranya di Jakarta, dan sisanya di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya. Peralatan bedah laparoskopik yang harganya Rp 150-175 juta itu telah dimiliki beberapa rumah sakit. Tapi, biaya bedah minimum itu tidak minim. Untuk operasi empedu diperlukan Rp 2-5 juta. Di Singapura, biayanya US$ 4-5 ribu. Biaya operasi konvensional sekitar US$ 5.000. "Dibanding dengan bedah laparatomi, bedah laparaskopik belum banyak peminatnya," kata Ibrahim Ahmadsyah. Ahli bedah minimum pertama di Indonesia ini telah melakukan operasi itu 166 kali. Pasiennya berusia 19-82 tahun. Untuk membedah pasien yang dihinggapi batu empedu, misalnya, ia perlu waktu 30-40 menit. Sayatan sepanjang 20 cm, seperti pada bedah konvensional, tak dilakukannya lagi. Sebagai gantinya, ia membuat tiga atau empat sayatan kecil, yang lebarnya 0,5-1,2 cm. Sayatan pertama tepat di bawah pusar, disebut camera port. Dari lubang ini kemudian dimasukkan trokar (slang), yang pada ujungnya terdapat kamera. Kamera itu lalu dihubungkan ke layar video. Sayatan kedua (1 cm) dilakukan di atas pusar dekat dada, yang disebut working port. Dari lubang ini dimasukkan bergantian perkakas seperti gunting mini, klip penjepit pembuluh darah, jarum jahit, pisau elektrik, atau batang pisau laser. Sayatan ketiga dan keempat dilakukan di bagian kiri perut, yang berfungsi sebagai lubang pembantu, misalnya, untuk memasukkan batang kait yang bisa mendekatkan organ sasaran ke gunting. Pada penderita yang akut, organ empedu harus dibuang. Pisau elektrik dipakai untuk memotong saluran empedunya. Bila organ ini menempel di organ sekelilingnya, sinar laser dipakai untuk membongkar perekatan itu. Lantas, organ empedu itu dikeluarkan secara perlahan lewat camera port. Batang kamera dipindah ke working port. Terhadap kasus kanker usus, praktek bedah laparaskopik kurang lebih sama. Persoalan baru muncul bila bongkahan sel kanker yang harus diangkat berukuran besar. "Lubang camera port atau working port tidak cukup untuk dipakai sebagai pintu keluar," kata Chellapa. Bila menemukan kesulitan tersebut, biasanya ia memakai salah satu lubang itu dengan memasukkan kantong plastik kecil. Kemudian, bongkahan sel kanker yang sudah copot dari usus dipotong-potong dengan laser, dan serpihannya dimasukkan dalam plastik. "Baru setelah itu, plastik tadi dikeluarkan lewat working port," ujar Chellapa. Pasien yang akan menjalani bedah laparaskopik hanya enam jam puasa -- tidak dua hari seperti pada pasien bedah konvensional. Dan pasien bedah konvensional boleh makan setelah satu atau dua hari diinfus. Dengan bedah laparaskopik, pasien batu empedu butuh istirahat satu dua hari di ruangan rawat. Setelah itu, ia oleh pulang. Sesudah istirahat seminggu, ia dibolehkan kerja lagi. Pada bedah konvensional, pasien diharuskan istirahat 10 hari di rumah sakit, dan setelah 2-3 bulan baru bisa bekerja kembali. Putut Tri Husodo dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini