PAGI itu saya bersepeda di sekitar Weesp, tak jauh dari Amsterdam. Bersama saya adalah Oom A., yang telah tinggal di sini bertahun-tahun dan selalu menyukai udara Mei, seraya mengenang Tanah Pasundan di dalam hati. Kami melintasi rumah-rumah tani Belanda yang tua dan necis, Sungai Vecht yang ditempeli kebun dan perahu, hutan yang terawat dengan deretan pinus yang membentang. Tiba-tiba ban sepeda yang saya pakai kempis. Bocor, rupanya. Di sekitar tak ada rumah, tak ada orang lain. Maka, sebuah keputusan diambil: sepeda itu harus dituntun sambil kami bergantian memboncengkan. Oom A. sudah berumur 70 tahun. Tenaganya masih kuat, tapi jantungnya pernah dioperasi. Maka, tiap beberapa kilometer, proses bonceng-memboncengkan itu harus diselingi pause. Di sebuh tikungan, kami turun dari sepeda untuk mengunyah permen. Lalu peristiwa itu pun terjadi. Dari sebelah kiri, dari balik belokan, seorang anak belasan tahun muncul deras di atas sebuah bromfiets. Ia dengan sigap menghindari menabrak kami, tapi apa lacur: dari jurusan yang berlawanan, seorang pemuda bersepeda balap meluncur. Tabrakan terjadi. Kedua orang itu terpelanting. Setelah kami reda dari kaget, dan menolong, tampaklah: kereta angin sang pemuda praktis hancur. Pelipisnya luka. Untung ia, bekas pemain polo air tim nasional Belanda, masih bisa tegak. Si penabrak lebih beruntung, meskipun kaca matanya remuk. Di jalanan sepi itu, hanya ada kami berempat. Tak ada polisi. Tapi jelas: harus ada seseorang yang harus membayar kerugian si pemain polo air. Toh tidak ada pertengkaran mulut. Si pemain polo, yang melihat si belasan tahun mengerang, menawarkan sebatang rokok. Si belasan tahun, yang sedang kaget dan takut telat ke tempat pertandingan bola, menerimanya. Perkara kemudian beres setelah Oom A. mengusulkan perdamaian: sepeda si pemain polo akan diperbaiki dengan uang asuransi Oom A., yang merasa ikut bersalah karena tadi berhenti di tikungan, hingga tabrakan itu terjadi . . .. Apakah peradaban, sebenarnya? Dusun petani yang necis, mungkin. Sungai yang telah dijinakkan, barangkali. Hutan yang dipiara untuk memperoleh kembali alam, keutuhan, dan kesunyian? Waktu senggang yang cukup untuk berolah tubuh dan menikmati keindahan dengan gezellig? Tidak, barangkali. Bukan. Peradaban, pagi itu terasa bagi saya, bukanlah cuma sebuah ketenteraman ala Belanda. Peradaban, pagi itu bagi saya, ialah sesuatu yang lain: kemampuan untuk menyelesaikan konflik dengan adab. Reaksi pertama setelah sebuah tabrakan bukanlah memaki atau mengancam atau mengirimkan tinju atau peluru kepada pihak yang kita anggap bersalah. Peradaban ialah menawarkan sebatang rokok kepada seseorang yang, dalam sebuah sengketa, berada di pihak "sana". Datang dari Indonesia, datang dari sebuah negeri yang selalu punya matahari, buah dan kembang dan keriangan-keriangan yang menakjubkan, saya tibatiba merasa kekurangan. Masyarakat saya sebenarnya penuh dengan orang ramah dan sopan, tetapi saya, sejenak termangu di tepi jalan dekat Weesp itu, tiba-tiba sadar: peradaban tampak berhenti di sebuah titik di Indonesia -- di jalanjalan raya. Jalan-jalan raya Indonesia adalah sebuah peperangan yang terus-menerus. Peradaban berhenti sebelum garis zebra dan lampu lalu lintas. Busbus antar kota yang besar, seperti gergasi yang dikejar hantu, menyisihkan kendaraan lain dari jalur mereka. Sedan-sedan yang merasa nyaman di dalam, dengan kaca gelap, merasa tak harus peduli untuk memberi kesempatan bagi orang lain di atas aspal. Mikrolet, helicak, jip, truk gandeng, prahoto barang, semuanya berada dalam keadaan siaga secara konstan. Semua tahu: betapa banyak orang tewas di sini. Betapa banyak orang berkelahi. Betapa sering orang frustrasi karena perkara tak selesai, mual karena harus mempermainkan keadilan. Ada yang berkata, sebabnya adalah ketiadaan disiplin. Tapi masyarakat yang beradab bukanlah sebuah tangsi militer. Disiplin sebuah peradaban bukanlah disiplin dengan ketakutan, melainkan dengan kebebasan. Maka, mungkin keterangannya bukan terletak dalam disiplin, tapi dalam keyakinan: bahwa tanpa tinju dan peluru -- tanpa kekuatan kasar -- orang toh bisa mencapai apa yang diinginkannya. Ada rasa terjamin bahwa setiap orang, setiap warga, punya hak untuk mendapat apa yang bisa didapat, di antaranya rasa nyaman. Ada keyakinan bahwa soalnya hanya soal giliran, seperti orang antre di depan loket bioskop. Juga ada rasa terjamin bahwa hukum -- mekanisme untuk menyelesaikan konflik -- dan institusi yang menopang hukum itu, adalah sebuah wadah yang melindungi, bukan mengancam. Tidakkah persepsi "terancam" dan bukannya "terlindungi" itu, yang bertahun-tahun mengendap dalam kepala kita, yang menyebabkan hukum diabaikan? Seorang teman mengiyakan: memang begitu -- dan itu pula sebabnya sebuah undang-undang lalu lintas, yang mencoba membuat jalan raya menjadi lebih beradab, kini ditanggapi dengan rasa takut, cemas. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini